Monday, October 17, 2011

kitab fadhail amal jamaah tabligh

Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari

Kitab Fadhail Amal atau dikenal pula dengan nama Tablighi Nishab adalah kitab pegangan suatu jama’ah yang dikenal dengan nama Jama’ah Tabligh. Kitab ini karya Syaikh Muhammad Zakariyah AI Kandahlawi salah satu tokoh Jama’ah Tabligh.
Kitab ini selain telah tersebar di kalangan mereka juga di kalangan masyarakat luas, padahal kitab tersebut memuat hal-hal yang menyimpang dari syariat. Lantaran itu banyak ulama yang menyingkap penyimpangan­nya agar kaum muslimin berhati-­hati. Di antaranya adalah Ustadz Muhammad Aslam Al-Bakistani (Pakistan) dalam risalah Jama’atut Tabligh, ‘Agidatuha wa Afkaru Masyayikhiha, Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah dalam kitab Al-Qaulul Baligh fir Raddi’ala Jama’atut Tabligh, Ustadz Sa`d Al-Husain, Atase Arab Saudi di Yordania dalam risalahnya kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Falih Al-Harbi dalam Ad-Dienun Nashihah.

Tulisan berikut menukil dari dua kitab yaitu Zawabi’ fi Wajhis Sunnah Qadiiman wa Hadiitsan, bab Penjelasan Sebagian Kitab yang Sarat dengan Hadits-Hadits Dha’if dan Palsu, Syaikh Shalahuddin Maqbul Ahmad dan kitab Jama’atut Tabligh fi Syibhil Qaratil Hindiyyah, ‘Aga’iduhata’rifuha karya Syaikh Abu Usamah Sayyid Thalibur Rahman cet. Dar Bayan li Nashr wat Tauzi’ Islamabad Pakistan.
Pembahasan ini ringkas, sehingga untuk mudahnya dibagi dalam beberapa sub bagian.
Banyak memuat hadits-hadits dhaif dan palsu.

Memang penulis kitab ini, Syaikh Muhammad Zakariya Al-­Kandahlawi menyebutkan derajat hadits-hadits dengan menukil perkataan para ulama, seperti keterangan Ustadz Tabasy Mandi. Kata beliau, “Yang sangat mengherankan, kedudukan kitab ini di sisi penulis tidak sepenting anggapan para pembacanya.

Sebab usai membawakan riwayat hadits, penulis menyebutkan hukum dari hadits-­hadits tersebut, shahih, dhaif, palsu, batil, tidak dapat dijadikan sandaran atau pada sanadnya terdapat rawi pendusta. Akan tetapi kami tidak memikulkan kesalahan di pundak pembaca, sebab mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Penulis hanya menyebutkan riwayat dalam bahasa Urdu tanpa disertai hukum hadits seperti pada edisi bahasa Arabnya.” (Tablighi Nishab, Dirasat Naqdiyyah ha1.15 Maktabah Al-Iman Deobandi).[1]

Hadits-hadits tersebut diantaranya :
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”: Ketika Adam berbuat dosa, dia menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, “Aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. “Alloh lantas mewahyukan kepadanya. Adam berkata, “Maha Tinggi namaMu, tatkala Engkau ciptakan aku, aku angkat kepala ke Arsy ternyata di sana tertulis. Maka mengertilah aku, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi kedudukannya di sisiMu dibanding orang yang namanya Engkau sandingkan dengan namaNya.

Alloh lantas mewahyukan kepadanya, “Wahai Adam, dia adalah nabi terakhir dari keturunanmu. Andaikan bukan karena dia niscaya Aku tidak ciptakan kamu.”
Syaikh Muhammad Zakariya berkata, “Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir, Al-Hakim, Abu Nua’im dan Baihaqi pada kitab Dala’il karya keduanya, dan Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Dur Dalam Majma’ Zawaid, Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Ausath dan Shaghir, pada sanadnya terdapat rawi yang aku tidak kenal.” (Fadhail Dzikr haI.95­-96). Katanya,” Al-Qari dalam Al-­Maudhu‘ah Al-Kabirah berkata, “Palsu.” (Fadhail Dzikr ha1.96)
Imam Dzahabi rahimahullah dalam Talkhish Mustadrak 2/615 berkata, “Palsu.” Begitu pula Imam Al-­Albani rahimahullah dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah 1/38 berkata, “Palsu.”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berduka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Aku melihat engkau bersedih, ada apa denganmu?” Jawabnya. “Wahai Rasulullah, tadi malam aku berada di rumah fulan, sepupuku. Dia menipu dirinya sendiri.” Kata Nabi “Apakah engkau talqin dia dengan lailahaillalloh?” Jawab Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, “Aku telah lakukan itu wahai Rasulullah.” Tanya beliau. “Apakah dia mengucapkannya?” “Ya,” jawab Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Kata Nabi “Dia masuk surga.” Tanya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Rasulullah, apa manfaat kalimat ini bagi yang masih hidup?” Jawab beliau “Dia menghapus dosa-dosa mereka, dia menghapus dosa­-dosa mereka.” Dikeluarkan oleh Dailami dalam Tarikh Hamdan, Rafi’i, Ibnu Najaar seperti termaktub dalam Muntakhab Kanzul Umal. Hanya saja Suyuthi meriwayatkannya dalam Dzail Lala’i dan membicarakan sanadnya. Katanya, “Semua sanadnya gelap, para rawinya dituduh berdusta.” Kata Syaikh, “Ada riwayat lain yang semakna dan marfu’ tetapi mereka menghukuminya palsu seperti dalam Lala’i.” (Fadhail Dzikr ha1.102-103).[2]

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang menziarahiku maka wajib masuk surga.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Daruquthni. Nawawi berkata, “Dan berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Manasik, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahihnya. Dishahihkan oleh sekelompok orang seperti Abdul Haq dan Taqiyuddin As-Subki. Al-Qari dalam Asy-Syifa’ berkata, “Dishahihkan oleh sekelompok ahli hadits.”

Hadits ini Palsu, lihat Dha’if Jami’ karya Syaikh Al-Albani rahimahullah 5618[3]
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang berhaji ke Baitullah namun tidak menziarahiku sungguh dia telah melecehkanku.

Diriwayatkan lbnu Adi dalam AI-Kamil seperti dikatakan dalam Syifa’ul Asgam.[4] Dalam Syarhu Lubab dikatakan, “Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dengan sanad hasan. Pemilik kitab Ithaf membahas panjang lebar takhrijnya dan berkata, “As-­Suyuthi membantah Ibnul Jauzi karena memuat hadits ini dalam Maudhu’at, dan berkata, “Dia salah.” Al-Qari dalam Syarhu Syifa’ berkata, “Hadits ini diriwayatkan Ibnu Adi dengan sanad yang dapat dipakai hujjah.”[5]

Memuat Khurafat dan Hikayat Sufiyah
Yang paling aneh, cerita yang dinukil dari Al-Hawi karya As­-Suyuthi, bahwa Sayyid Ahmad Rifa’i berziarah ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai berhaji tahun 555 H, lantas menyenandungkan bait syair : Di kala jiwaku menjauh, akau ,kirimkan dia
Diterima oleh kubur (Nabi) dan dia adalah wakilku.
Ini orang yang menjulurkan tangannya telah hadir
Julurkan tangan kananmu agar dikecup kedua bibirku
Maka terjulurlah tangan beliau dari dalam kuburnya yang mulia lalu dicium oleh Ar-Rifa’i.

Syaikh Muhammad Zakariya menambahkan dari kitab Bunyan Musyayyad, bahwa peristiwa tersebut dihadiri oleh sembilan puluh ribu orang. Dihadiri pula oleh wali Quthub Syaikh Abdul Qadir Jailani. (Fadhail Hajj 137­-138, akhir basal sembilan, hikayat no.13)
Syaikh Al-Kandahlawi bermimpi diperintah untuk menggabungkan qasidah (syair) ke dalam kitabnya Fadhailush Shalat ‘ala Nabi. Terlintas pada pikirannya yang dimaksud adalah qasidah Maulana Jaami. Qasidah ini merupakan bentuk istighatsah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bait pertama isinya : Karena berpisah denganmu nafas terakhir seluruh alam berembus
Rahmatilah wahai Nabi Alloh, rahmttillah
Usai itu menuturkan, suatu kali Maulana Jaami berhaji. Dia ingin pergi ke Madinah untuk menyenandungkan qasidah ini di sisi kubur Nabi. Nabi memerintahkan penguasa Makkah dalam mimpinya agar melarang Maulana Jaami pergi ke Madinah. Sebabnya, bila dia bersyair di sisi kuburku maka tanganku akan keluar dari kubur untuk menyalaminya, hal itu akan menimbulkan fitnah.”

Kata Kandahlawi, “Aku yakin adanya kisah ini, namun aku tidak mengetahui di mana letaknya. Siapa yang tahu hendaknya memberitahukanku. Bila aku sudah mati hendaknya menuliskan pada catatan pinggir kitab ini. “Katanya lagi, “Tidak ada yang dapat membatalkan kisah ini karena kisah Sayid Ar-Rifa’i sudah dikenal. Telah berlalu pula penyebutan dalam kita ini kisah lain berupa jawaban salam dengan suara yang keras dari makam Nabi yang mulia. Beberapa temanku berpendapat, pembenar dari mimpiku adalah qasidah burdah ini.” Syaikh banyak menyebutkan bait syair berikut ini sampai lima puluh kali dalam Fadhail Shalat.
Wahai Rabb, berilah shalat dan salam yang langgeng kepada kekasihMu, manusia terbaik. (Fadhail Shalat `ala Nabi ha1.109-119 kisah no.50)

Syaikh Abul Khair Al-Aqtha’ bertutur, “Dulu aku pernah kelaparan selama lima hari, tidak makan sesuatu pun. Usai bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidur di Raudhah yang suci sebagai tamu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bermimpi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua syaikh ; Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu disertai Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangiku. Beliau memberiku roti lantas aku makan separuhnya. Ketika aku terbangun separuh roti itu masih ada di tanganku.” (Fadhail Hajj ha1.133) Syaikh Syamsuddin Ash­-Shawwab, mantan kepala pelayan Masjid Madinah, bercerita, “Sekelompok orang dari Halb (Syiria) menyogok penguasa Madinah agar diizinkan mem­bongkar kubur Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk dibawa jasadnya. Malam hari empat puluh orang datang disertai para pembantu mereka. Tiba-tiba mereka semua ditelan bumi. Penguasa Madinah berkata kepada Ash-Shawwab, “Engkau jangan sekali-sekali membuka rahasia ini, kalau tidak kupenggal kepalamu!” (Fadhail Hajj ha1.141) Dan masih banyak khurafat, kebatilan, bid’ah seperti ini.
Sikap Syaikh Al-Kandahlawi terhadap hadits palsu (421-427)

Syaikh membawakan hadits pada Fadhilah Shalat :
Siapa yang menjamak dua shalat tanpa alasan berarti dia telah mendatangi salah satu pintu dosa-­dosa besar.

Lantas berkata, “Riwayat Al-Hakim, Hunsyun adalah Ibnu Qais, dia terpercaya. Tetapi Al-­Hafizh berkata, “Dia justru dha’if, tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Hushain bin Numair. Inilah yang termaktub dalam At-Targhib… lantas menyebutkan kalau hadits ini memiliki penguat dalam kitab Al-Lala’i. Katanya, hadits tersebut dikeluarkan oleh Tirmidzi. Khunsyun dha’if, didha’ifkan oleh Ahmad dan selainnya. Hadits seperti ini diamalkan menurut ahlil ilmi.” Lantas mengisyaratkan bahwa hadits dapat terangkat karena adanya ucapan ulama. Banyak orang menegaskan, termasuk petunjuk keshahihan hadits adalah ucapan ahlu ilmi meskipun hadits itu tidak memiliki sanad yang dapat dijadikan sandaran.”
Dengan begitu syaikh yang dianggap ahlu hadits ini telah merobohkan kaidah ilmu hadits!

Syaikh juga membawakan hadits pada bab Fadhail Shalat ;
Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Siapa yang meninggalkan shalat sehingga habis waktunya lalu menqadha’nya maka akan diadzab di neraka selama haqban. Haqbu adalah delapan puluh tahun, setahun adalah tiga ratus enam puluh hari. Satu hari lamanya sama dengan seribu tahun.
Lantas mengalikan angka-­angka tersebut. Katanya, “Satu haqbu adalah dua puluh delapan juta dan delapan ratus ribu tahun. Namun aku tidak mendapati hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang aku miliki”. (Tablighi Nishab ha1.355)
Ketika salah seorang yang fanatik kepada Jama’ah Tabligh mengatakan, “Hadits tersebut didha’ifkan oleh sebagian orang, maka tidak layak apabila dimuat dalam kitab dan lebih baik dihilangkan saja. Apa pendapat anda? Syaikh Kandahlawi menjawab, “Andaikan orang yang lemah ini (dirinya) menyebutkan sebelumnya tentu dia akan menghapus hadits itu. Tetapi selama dia menukil dari kitab terpercaya maka tidak mengapa untuk disebutkan sebagai peringatan bagi manusia kendatipun hadits itu dha’if. Selain itu, pahala shalat berjama’ah dilipatkan tiga ratus juta seperti kami sebutkan dalam hadits kedua pada Fadhail Shalat. Maka tidak aneh bila siksa orang yang meninggalkan shalat seberat itu pula. Aku telah meminta pendapat sahabat-sahabatku, namun aku belum mantap untuk menghapus hadits tersebut.” (Al-Isykalat wal Ajwibah ha1.131)

Pikirkanlah wahai para pembaca, semoga Alloh merahmati kalian. Di muka Syaikh berkata, “Aku tidak mendapati hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang aku miliki”, kemudian membantah dirinya sendiri dengan mengatakan, dia telah menukil dari kitab terper­caya. Lantas bolehkan hal semisal ini disandarkan kepada Rasulullah yang shadiq mashduq (jujur dan benar sabdanya dan dibenarkan wahyu yang disampaikannya).

Kata Syaikh Kandahlawi, “Para ulama telah menyebutkan hadits yang marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bershalawat kepadaku dalam suatu kitab, senantiasa malaikat akan memintakan ampunan baginya selama namaku tertera dalam kitab tersebut.” Hadits ini meskipun dha’if tetapi layak untuk disebutkan pada tempat ini. Tidak usah pedulikan Ibnul Jauzi yang memasukkan hadits ini dalam kitab Maudhu’at (kitab yang berisi hadits-hadits palsu–pen), sebab hadits ini memiliki banyak jalan yang menunjukkan bahwa hadits ini memiliki asal-asul.”

Begitulah Syaikh hadits ini, membuat kaidah yang menyelisihi metode Para ahli hadits. Perlu diketahui bahwa Imam Dzahabi rahimahullah menghukumi hadits ini sebagai hadits batil. (Mizanul I’tidal 1/320). (no.3 ini diambil dari kitab Jama’atut Tabligh, Sayyid Thalibur Rahman, ha1.436-427)

Inilah sekelumit pembahasan tentang kitab Fadhail Amal atau Tablighi Nishab dengan harapan menjadi bahan renungan bagi kaum muslimin agar tidak membaca kitab tersebut dan kitab yang semisalnya. Pepatah mengatakan, “Cukuplah isyarat itu bagi orang yang cerdik”. Allohu a’lam.

Oleh: Abu Nu’aim Al-Atsari rahimahullah
Sumber : Majalah Al Furqon. Srowo, Sidayu, Gresik, Jatim. Edisi 1 Tahun V / Sya’ban 1426 H
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Catatan Kaki:

[1] Tetapi yang saya dapati pada cetakan Indonesia (terjemah) edisi revisi terbitan Ash Shaft Yogyakarta tidak semuanya seperti dikatakan Syaikh Tabasy. Ada hadits yang oleh penulis sekedar dikatakan, “Seperti tercantum dalam Dur Mantsur”, Silakan lihat hal. 224, 228, 235, 262, bahkan ternyata ada yang haditsnya sangat dhaif, lihat hal. 262. Ada juga yang belum diberikan hukum pasti, seperti pada hal. 381, “Dikeluarkan oleh Thabrani seperti tercantum dalam Dur Mantsur dan Majma Zawaid. Dikeluarkan Thabrani dalam Ausath dan perawinya ditsiqahkan’. Keterangan seperti ini dapat menipu pembaca karena melihat perawinya ditiqahkan berarti hadits shahih, padahal belum tentu demikian. Terlebih Penerjemah tidak menerjemahkan derajat hadits yang dipaparkan oleh penulis. Ini lebih berbahaya lagi karena para pembacanya kebanyakan tidak mengerti bahasa Arab dan husnuzhan kepada pengarang sehingga menyangka semua haditsnya adalah shahih atau boleh diamalkan.

Yang dipertanyakan adalah dimuatnya banyak hadits dhaif dan palsu. Kalaulah maksudnya sebagai landasan fadhail amal, jelas tidak benar, karena suatu amalan ibadah harus didasarkan pada hadits yang maqbul, diterima baik shahih atau minimal hasan. Andaikan boleh, harus disertai syarat-syarat yang tidak ringan dan kenyataannya tidak mungkin diamalkan para pengamalnya. Lebih-lebih lagi hadits maudhu’ alias palsu! Allohul Musta’an. Dari sinilah bermunculan bidah-bidan itu.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tabyiinul Ujab hal 3-4 berkata, “Telah masyhur bahwa ahlu ilmi bermudah-mudah membawakan hadits-hadits untuk fadhilah aural meskipun hadits tersebut dhaif selama tidak palsu. Namun seharusnya disertai syarat ; pengamalnya harus meyakini bahwa hadits itu dhaif, tidak memasyhurkannya agar tidak ada orang yang beramal dengan hadits dha’if tersebut yang berakibat pensyariatan suatu amalan padahal tidak disyariatkan, atau sebagian orang jahil memandang bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang benar. Yang menegaskan hal ini adalah ustadz Abu Muhammad bin Abdis Salam dan selainnya. Hendaknya seseorang itu waspada agar tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang membawakan suatu hadits dariku, dipandang hadits itu dusta maka dia termasuk dua pendusta”. Lantas bagaimana dengan orang yang mengamaikannya ?! Tidak ada bedanya apakah hadits itu diamalkan pada masalah hukum-hukum atau fadhilah amal, karena semuanya adalah syariat”. Usai membawakan nukilan tadi, al Muhaddits, “Ironisnya, kami melihat banyak ulama apalagi orang awam, melalaikan syarat-syarat tadi. Mereka mengamalkan hadits tanpa mengerti hadits itu shahih atau dhaif. Jika tahu kedhaifannya, tidak tahu tingkatan dhaifnya, apakah dhaif ringan atau berat yang dilarang mengamalkannya. Selain itu mereka memasyhurkannya dalam amalan. Layaknya hadits shahih ! Oleh karena itu banyak sekali muncul ibadah yang tidak benar ditengah kaum muslimin. Ibadah ini memalingkan mereka dari ibadah yang benar yang didasari sanad yang shahih”. (Tamamul Minnah, hal. 36-37)
[2] Hadits ini juga termuat dalam Dhu’afa’ karya Al-Uqili 2/81 no. biografi 531.
[3] Al-Hafizh Muhammad bin Abdil Hadi dalam Sharimul Munki fir Raddi ‘alas Subki hal.20 menilai hadits ini mungkar. Lantas menginformasikan bahwa Al-‘Uqaili memasukkan hadist ini dalam Dhu’afa 4/170, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, begitu juga Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman menilai mungkar.

[4] Nama kitab, Syifa’us Saqam fi Ziyarati khairil Anam, karya As-Subki.
[5] Al-Hafizh Muhammad bin Abdil Hadi dalam Sharimul Munki fir Raddi ‘alas Subki ha1.87 berkata, “Hadits tersebut sangat mungkar, tidak ada asalnya, bahkan termasuk hadits yang dibuat-buat dan palsu. Hadits ini didustakan atas Imam Malik. Syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzi telah benar dengan memuatnya dalam Maudhu’at.” Cacat hadits ini karena ada rawi Muhammad bin Muhammad bin An Nu’man, tertuduh berdusta dan memalsukan hadits dari kakeknya, An-Nu’man bin Syibl. Ibnu Hibban memuatnya dalam kitab Majruhin 3/73. Kata Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi pada ha1.89, “Shalih bin Ahmad bin Abi Muqatil, guru Ibnu Adi, dikenal dengan Al-Qiirathi tertuduh berdusta, memalsukan, dan mencuri hadits …. Daruquthni berkata, “Dia matruk, pendusta, dajjal, kami menjumpainya tetapi kami tidak menulis darinya. Dia menceritakan hadits yang tidak dia dengar.” Ibnu Adi berkata, “Dia mencuri hadits-hadits, merafa’kan hadits mauquf, menyambung hadits mursal, keadaanya sangat jelas”. Ibnu Hibban berkata,”Kami mencatat darinya di Baghdad, dia itu mencuri hadits dan membolak-balik hadits. Mungkin dia telah membolak-balik lebih dari sepuluh ribu hadits….” Lantas bagaimana mungkin sanad hadits ini hasan? Dan masih banyak lagi hadits-hadits semacam ini, belum lagi yang dha’if.

No comments:

Post a Comment