Kaidah Penetapan Nama dan Sifat Allah Ta’ala
Secara umum, manhaj ahlussunnah dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah: Menetapkan nama dan sifat bagi Allah dengan nama dan sifat yang Dia sifatkan diri-Nya dengannya dan dengan apa yang para rasul-Nya sifatkan Dia dengannya, di atas dua kaidah ‘menetapkan tanpa menyerupakannya dengan makhluk’ dan ‘menyucikan sifat Allah dari penyerupaan dengan makhluk akan tetapi tidak sampai menolak sifat tersebut’. Allah Ta’ala telah menggabungkan kedua kaidah ini dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dan Dia lah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya,” adalah penafian sekutu bagi Allah dalam sifat-sifatNya yang sempurna, yang mana ini membantah metode para pelaku tamtsil (yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Sementara firman-Nya, “Dan Dia lah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah penetapan nama-nama dan sifat-sifat sempurna bagi-Nya, yang juga merupakan bantahan kepada para pelaku takwil (memalingkan makna sifat Allah dari makna sebenarnya) dan ta’thil (menolak sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Kemudian, kaidah menyeluruh yang berlaku pada seluruh permasalahan dalam bab (asma` wa ash-shifat) ini adalah: Menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan diri-Nya dengannya atau dengan apa yang Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- sifatkan dan dengan apa yang (para sahabat) terdahulu lagi pertama sifatkan Allah dengannya, dan tidak mendahului Al-Qur`an dan As-Sunnah (dalam penetapannya).” (An-Nafahat Al-Miskiah ala Al-Fatwa Al-Hamawiah hal. 48-49)
Contoh: Allah Ta’ala berfirman, “Ar-Rahman istiwa` (tinggi) di atas arsy.” (QS. Thaha: 5). Maka kita menetapkan sifat istiwa` di atas arsy bagi Allah tanpa menyerupakannya dengan cara istiwa` (tinggi) makhluk di atas sesuatu, dan kita menyucikan Allah dari keserupaan sifat istiwa`-Nya dengan sifat istiwa` makhluk, tapi tidak sampai membuat kita menolak sifat istiwa` tersebut.
Adapun secara terperinci, maka dalam masalah ini, ada beberapa kaidah yang disebutkan oleh para ulama:
1. Menetapkan semua nama dan sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, baik dalam Al-Qur`an maupun melalui As-Sunnah. Sifat yang Allah tetapkan (tsubutiah) ada dua jenis: Dzatiah dan fi’liah.
Dzatiah adalah sifat yang terus-menerus ada pada Allah dan Dia tidak pernah tidak bersifat dengannya. Dan sifat ini terbagi lagi menjadi dua: Khabariah dan ma’nawiah.
Contoh khabariah: Sifat wajah, dua tangan, kaki dan sifat-sifat semacamnya yang tersebut dalam Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.
Contoh ma’nawiah: Sifat hidup, berilmu, mendengar, melihat dan semacamnya.
Fi’liah adalah sifat yang tidak selalu ada pada Allah, akan tetapi dia tergantung pada kehendak Allah: Jika Dia berkehendak maka Dia bersifat dengannya dan demikian pula sebaliknya. Contoh: Sifat marah, benci, turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan semacamnya.
2. Menolak semua nama dan sifat yang Allah tiadakan dari diri-Nya -baik dalam Al-Qur`an maupun melalui As-Sunnah-, lalu menetapkan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut secara sempurna bagi Allah Ta’ala.
Contoh: Di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala menafikan sifat zhalim, sifat lelah, tidur dan ngantuk dari diri-Nya. Maka sikap kita adalah menolak semua sifat tersebut -sebagaimana Allah menolaknya-, lalu kita menetapkan kebalikan dari semua sifat kurang tersebut secara sempurna. Sehingga setelah kita menolak semua sifat kurang di atas, maka kita menetapkan bahwa Allah mempunyai sifat keadilan yang sempurna, kekuatan yang sempurna dan kehidupan yang sempurna.
Hal ini, yakni menetapkan kebalikan dari sifat kurang tersebut, adalah hal yang penting. Karena perbuatan hanya menafikan sifat kurang dari Allah tanpa menetapkan kebalikannya bukanlah merupakan pujian untuk Allah Ta’ala, maka hendaknya hal ini dipahami.
3. Menafsirkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya.
Telah masyhur dari beberapa orang ulama salaf bahwa mereka berkomentar tentang ayat-ayat yang berisi sifat Allah, “Biarkan dia sebagaimana datangnya.” Maksudnya -wallahu al’am- adalah pahamilah sifat-sifat tersebut dengan makna lahiriahnya yang langsung ditangkap oleh akal ketika membacanya. Karenanya mereka juga berkata tentang ayat-ayat sifat, “Tafsirannya adalah dengan membacanya.” Maksudnya -wallahu a’lam- adalah bahwa makna dari sifat Allah tersebut adalah makna yang langsung kita pahami darinya ketika kita membacanya, tanpa butuh penjelasan apa-apa.
Contoh: Allah Ta’ala berfirman, “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang, Dia memberi nafkah sebagaimana kehendak-Nya.” (QS. Al-Maidah: 4) Makna ‘dua tangan’ di sini adalah sesuai dengan lahiriah dari ayat itu atau apa yang langung dipahami ketika membacanya, yaitu bahwa Allah mempunyai dua tangan hakiki (sebenarnya).
4. Dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, harus menjauhi empat jenis bid’ah dan pelanggaran, yaitu: At-tahrif, at-ta’thil, at-tamtsil, dan at-takyif.
Penjelasan kaidah yang keempat.
Berikut keterangan mengenai empat perkara yang wajib dijauhi dalam masalah ini:
1. At-Tahrif
At-Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.
At-Tahrif ada dua jenis:
a. Yang dilakukan pada teks lafazh.
Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
1. Mengubah harakatnya. Misalnya apa yang dilakukan oleh Jahmiah terhadap firman Allah Ta’ala:
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka merubah harakat ‘ha’ pada kata ‘Allah’ dari dhammah menjadi fathah untuk merubah posisi kata ‘Musa’ dari objek (maf’ul) menjadi pelaku (fa’il). Sehingga makna ayatnya: Dan Musa berbicara kepada Allah. Ini mereka lakukan untuk mengingkari bahwa Allah mempunyai sifat berbicara.
2. Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa. Ini dilakukan oleh Jahmiah karena mereka mengingkari sifat ketinggian Allah.
3. Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah: وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi: وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
b. At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya. Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya..
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan tahrif tidak menamakannya dengan tahrif, tetapi menyebutnya sebagai ta`wil yang artinya penafsiran. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah Ta’ala menisbatkan perbuatan tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah tahrif dengan istilah ta`wil agar bisa diterima oleh banyak kalangan dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
Hukum tahrif/ta’wil:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -di awal syarh Lum’ah Al-I’tiqad- menyebutkan adanya rincian dalam hukumnya, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Jika tahrifnya lahir dari niat yang bagus dan ijtihad dalam menemukan kebenaran -sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama sunnah, diantaranya adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar, An-Nawawi, Al-Baihaqi dan selainnya-, maka tahrif seperti ini dimaafkan dan tidak menjadikan pelakunya keluar dari ahlussunnah. Akan tetapi jika tahrifnya lahir dari niat yang jelek maka: Jika tahrifnya tidak mempunyai dukungan dari sisi bahasa Arab, maka pelakunya dihukumi kafir, karena itu sama saja dengan mengingkari lafazh dalam Al-Qur`an.
Tapi jika tahrifnya mempunyai dukungan dari sisi bahasa maka: Kalau tahrifnya itu merendahkan Allah atau menyifati Allah dengan sifat kurang maka pelakunya dihukumi kafir. Tapi kalau tahrifnya tidak seperti itu maka tidak dihukumi kafir, tapi dihukumi sebagai pelaku bid’ah.
2. At-Ta’thil
At-Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1. Ta’thil yang bersifat kulli (menyeluruh), yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala secara menyeluruh. Sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Jahmiah dan yang sependapat dengan mereka, dimana mereka menolak semua nama dan sifat Allah kecuali satu sifat, yaitu sifat wujud (ada).
2. Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah Ta’ala dan menetapkan nama-nama-Nya. Demikian pula kelompok Al-Asya’irah yang hanya menetapkan 20 sifat, dan mirip dengannya Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah.
Hukum ta’thil: Ta’thil yang sifatnya kulli hukumnya adalah kekafiran karena merendahkan Allah karena menganggap bahwa Allah tidak punya nama-nama dan sifat-sifat.
3. At-Tamtsil
At-Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya.
Tamtsil juga terbagi menjadi dua jenis:
1. Menyerupakan makhluk dengan Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Allah Ta’ala, juga seperti keyakina sufi ekstrim bahwa para wali juga berperan dalam mengatur alam semesta.
2. Menyerupakan Zat Yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Zat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala adalah kedua tangan Allah terbelenggu, dan seperti ucapan sekte al-musyabbihah bahwa tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Wal’iyadzu billah.
Hukum tamtsil: Tamtsil mengkafirkan pelakunya karena menyandarkan sifat kurang kepada Allah, yaitu bahwa sifat-Nya seperti sifat makhluk yang penuh dengan kekurangan.
4. At-Takyif
Takyif secara bahasa bermakna membagaimanakan atau bertanya dengan kata kaifa (bagaimana). Adapun secara istilah, maka takyif ada dua bentuk:
1. Mengkhayalkan sifat-sifat Allah Ta’ala dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran. Misalnya seseorang mengkhayalkan kaifiat kaki Allah dengan mengkhayalkan kaki yang sangat besar lagi hebat yang ada dalam pikirannya.
2. Menanyakan kaifiat hakikat sifat Allah Ta’ala walaupun tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Seperti pertanyaan seorang ahli bid’ah kepada Imam Malik tentang bagaimana caranya Allah istiwa` di atas arsy.
Perbedaan antara takyif dan tamtsi adalah: Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran (kenyataan), sedangkan tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun persamaan keduanya adalah bahwa keduanya merupakan perbuatan menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk, karena khayalan manusia juga adalah makhluk ciptaan Allah.
Hukum takyif: Sama halnya dengan tamtsil, takyif juga adalah kekafiran karena keduanya adalah perbuatan menyamakan Allah dengan makhluk.
Faidah:
Para ulama menyatakan bahwa tamtsil dan takyif tidak bisa dilakukan -secara akal- kecuali jika ada salah satu dari tiga perkara berikut:
1. Pernah melihat objek yang akan ditamtsil atau ditakyif.
2. Tidak pernah melihatnya akan tetapi pernah melihat yang mirip dengan objek tersebut.
3. Tidak memiliki kedua hal di atas, akan tetapi dia telah mendapatkan kabar dari orang yang terpercaya akan gambaran objek tersebut.
Misalnya: Jika ada seseorang yang meminta anda untuk menggambarkan (tamtsil) atau mengkhayalkan (takyif) bentuk tubuh dan wajah Zaid -misalnya-. Maka anda pasti tidak akan bisa melakukannya kecuali kalau anda pernah melihat Zaid, atau pernah melihat saudaranya yang mirip dengannya, atau paling tidak pernah mendapatkan pengabaran dari orang yang terpercaya -misalnya orang tua Zaid- tentang postur Zaid.
Demikian pula halnya dengan sifat Allah. Apakah ada makhluk yang pernah melihat Allah? Ataukah pernah melihat sesuatu yang serupa dengan Allah? Dan apakah ada pengabaran tentang kaifiat sifat Allah dari orang yang terpercaya tentang Allah -yaitu Rasulullah-? Jawabannya tentu tidak ada. Kalau begitu secara akal -terlebih lagi secara syar’i-, tamtsil dan takyif adalah kebatilan dan mustahil bisa dilakukan.
Demikian penjelasan ringkas mengenai kaidah-kaidah ahlussunnah dalam tauhid al-asma` wa ash-shifat, semoga bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil alamin.
http://al-atsariyyah.com/kaidah-penetapan-nama-dan-sifat-allah.html
No comments:
Post a Comment