(Tanggapan atas tulisan “JIL, Potensi atau Ancaman?)
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha*
Awal bulan September 2002, sebuah harian ibu kota memuat tulisan Dwi Henri Cahyono, berjudul “JIL, Potensi atau Ancaman?” yang secara ringkas, isinya menceritakan apa dan bagaimana Jaringan Islam Liberal (JIL) berikut kiprah mereka dalam upaya ‘membangun’ pemikiran Islam secara benar, tentu saja menurut persepsi mereka. Sebagai pembanding, tidak lupa Dwi menampilkan sejumlah kelompok Islam yang dianggap –oleh JIL sebagai– militan dan fundamentalis, lengkap dengan pemahaman berikut peran serta mereka dalam upaya menegakkan syariat Islam di bumi pertiwi. Namun sayangnya, Dwi tampak malu-malu kepada siapa dia harus berpihak. Sehingga tulisan yang semestinya bagus itu jadi terkesan hambar dan samar-samar. Pasalnya, Dwi menyerahkan seratus persen kesimpulannya kepada pembaca; apakah Jaringan Islam Liberal itu potensi ataukah ancaman?
Sebenarnya, kita semua sepakat, bahwa Islam mengajarkan toleransi dan sikap saling menghormati. Kita juga sepakat, bahwa menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sependapat apalagi sampai melemparkan tuduhan yang bukan-bukan adalah tidak benar dan tidak mencerminkan kedewasaan bersikap. Namun, itu semua harus berada dalam koridor syariat dan bukan dalam masalah-masalah yang sifatnya prinsipil. Dalam arti kata, selama dalam satu permasalahan masih ada dalil dari Al-Qur`an dan sunnah yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak sepantasnya jika diributkan. Akan tetapi, manakala masalah tersebut sudah menyimpang dari rel kebenaran, tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur`an ataupun sunnah, bahkan sejarah pun membuktikan kekeliruannya, maka dalam hal ini tidak ada lagi istilah toleransi. Inilah yang namanya nyeleneh, dan inilah yang harus diluruskan.
Masalah pluralisme dan inklusivisme, misalnya. Jelas, ini adalah masalah serius yang sulit untuk disepelekan. Apalagi ditoleransi. Menyamaratakan semua agama dan menganggap bahwa semua agama adalah benar, sejatinya merupakan pelecehan terhadap agama Islam –jika yang mengatakannya mengaku Islam. Sebagai seorang muslim yang meyakini kebenaran agamanya, tidak sepantasnya mengatakan bahwa semua agama sama. Sebab, baik Al-Qur`an maupun sunnah Rasul-Nya menegaskan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, dan bahwa Nabi Muhammad Saw diutus untuk seluruh umat manusia di dunia, bahkan termasuk jin di dalamnya. Sekiranya agama selain Islam juga benar, kenapa Nabi mesti mengirim surat kepada raja-raja di sekitar jazirah Arab ketika itu dan mengajak mereka untuk masuk Islam? Dan, kenapa pula beliau mesti berkonflik dengan bangsa(t) Yahudi Madinah jika memang agama mereka benar? Dalam hal ini, pemikiran JIL tidak dapat diterima, karena bertabrakan dengan nash qath’i dari Al-Qur`an, sunnah, dan sejarah.
Kemudian, JIL juga mengangkat isu penolakan penerapan syariat Islam di Indonesia. Menurut mereka, penerapan syariat oleh negara berarti melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi dan equality (kesamaan) di antara seluruh warga negara. JIL bersikeras memisahkan agama dari negara. Karena negara dalam pandangan mereka, harus netral dari pengaruh agama apa pun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat.
Apa yang mereka katakan ini sebenarnya hanya membuka kedok mereka yang sama sekali buta terhadap Islam. Mereka mengatasnamakan Islam (dengan embel-embel liberal) namun tidak tahu apa itu Islam dan bagaimana sejarah Islam. Karena apa yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak terbukti. Sebab, sebagai agama dan negara, Islam sangat menjunjung tinggi asas egaliter (baca; keadilan) dan menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi. Islam tidak pernah pilih kasih dalam menegakkan keadilan dan menerapkan hukumnya. Semua warga negara sama di mata hukum, baik itu muslim ataupun non-muslim. Dan, menolak penerapan syariat Islam berarti sama saja dengan menganggap agama ini tidak lengkap dan sempurna. Selain itu, upaya memisahkan agama dari negara yang mereka usung sungguh berbahaya, karena ujung-ujungnya adalah ingin memisahkan agama dari kehidupan manusia. Inilah yang sejatinya merupakan proyek sekularisme. Alasan penolakan mereka hanya dibuat-buat, diputar-putar, dan apologis, agar terkesan ilmiah.
Yang mengherankan, kenapa mereka yang menyebut dirinya sebagai orang Islam (sekali lagi, dengan embel-embel liberal) menolak penerapan syariat agama mereka sendiri? Mereka menutup mata, bagaimana syariat Islam bisa tegak di Madinah dengan penuh keadilan dan tidak diskriminatif. Padahal, siapa pun tahu, bahwa tatkala Nabi dan kaum muslimin masuk Madinah, mereka adalah minoritas. Artinya, pada saat itu jumlah orang non-Islam lebih banyak. Dan, mereka menerima hukum Islam diberlakukan di tengah-tengah mereka.
Sejarah juga mencatat, bahwa ketika Umar bin Al-Khathab menerima kunci Al-Quds dari pemimpin Nasrani (Safraneus) di Palestina, mayoritas warga di sana adalah Nasrani. Dan mereka dapat hidup aman lagi damai di bawah pemerintahan Islam. Islam menjamin keselamatan mereka dan membebaskan mereka untuk tetap memeluk agama Nasrani. Penduduk Al-Quds yang non-muslim merasa nyaman dan tenteram menjalankan keyakinannya. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Bahkan tempat ibadah mereka pun tidak diganggu. Demikianlah Islam, sangat menjunjung tinggi asas egaliter, keadilan, dan tidak diskriminatif.
Kasus tak berbeda juga terjadi di Mesir, Andalusia, Bukhara, dan wilayah-wilayah lain di belahan bumi yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan kaum muslimin. Setiap kali pasukan Islam memasuki wilayah baru, syariat Islam diterapkan di sana. Dan sukses! Baik yang muslim maupun maupun yang non-muslim, semuanya menerima hukum Islam ditegakkan. Entah itu umat Islam sebagai mayoritas ataupun minoritas, selama wilayah tersebut berada di bawah kekuasan Islam, syariat Islam pasti diberlakukan di sana. Sungguh, banyak sekali contoh yang ditorehkan oleh tinta emas sejarah, bahwa di mana pun syariat Islam ditegakkan –dengan sebenar-benarnya, di situlah akan didapatkan keadilan, kenyamanan, dan kesejahteraan.
Sekali lagi, dalam hal penolakan JIL terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia pun, tidak dapat dibenarkan. Apalagi, jika mereka menyandangkan kata-kata “Islam” di belakang keliberalannya. Lain halnya, jika mereka hanya menamakan diri sebagai Jaringan Liberal, tanpa embel-embel Islam. Mungkin pendapat mereka masih bisa ditolerir. Meskipun sebenarnya, kita jarang mendengar orang non-muslim yang secara tegas menolak penerapan syariat Islam.
Tentang humanisme yang mereka dengung-dengungkan, lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka ‘hanya bisa ngomong.’ Masalahnya, yang mereka serang adalah orang-orang yang mempunyai kepedulian tinggi dan terjun langsung ke lapangan turut membantu para korban. Sekelompok orang yang dituduh JIL sebagai militan dan fundamentalis ini justru mempunyai sense of humanisme jauh lebih besar ketimbang JIL yang hanya ngomong doang. Sedangkan JIL, sama sekali tidak pernah terdengar kepedulian mereka terhadap masalah Ambon, Maluku, Poso, dan kasus kemanusiaan lain, terutama yang menyangkut orang Islam. Apalagi sampai turun langsung ke tempat kejadian. Lalu, humanisme seperti apa yang mereka inginkan? Mungkin, mereka hanya ingin agar orang-orang Kristen atau non-muslim jangan diganggu dan disakiti. Tapi, biarkanlah kalau mereka (non-muslim) mau menyakiti, bahkan membunuh dan membantai umat Islam. Karena itu adalah hak mereka. Mereka bebas melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan. Kemudian, jika orang-orang Islam bangkit melawan dan bereaksi atas tindakan brutal umat Kristen, maka –bagi JIL– itu adalah salah dan tidak boleh!
JIL juga mengumandangkan kebebasan dengan slogannya yang rancu, “Menuju Islam yang Membebaskan.” Apa yang mereka maksud dengan kebebasan di sini dan membebaskan dari apa juga tidak jelas. Karena mereka hanya mau bebas sendiri dan tidak memberi kebebasan kepada kelompok lain. Mereka membebaskan orang Kristen menyebarkan agamanya dengan cara-cara yang licik, bahkan tidak jarang memaksakan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama (baca; Islam). Mereka sama sekali tidak pernah peduli dengan maraknya Kristenisasi di mana-mana yang sangat meresahkan umat Islam. Sementara ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kaffah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, justru mereka gerah. JIL merasa kepanasan terhadap orang Islam yang dianggap ‘bertingkah.’ Lalu, mereka pun tidak memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk mengekspresikan keislamannya, baik dalam sikap maupun pemikiran. Dan kemudian, JIL memvonis orang-orang Islam seperti ini sebagai fundamentalis, militan, radikal, garis keras, dan sebagainya.
Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan Dwi Henri, bahwa seolah-olah kebebasan hanya milik mereka (JIL) saja. Sementara orang lain tidak boleh bebas. Bahkan –sebagaimana kata Dwi, mengutip situs JIL– mereka melakukan upaya-upaya untuk mencegah dominansi pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu. Sebab –menurut JIL– jika pandangan-pandangan yang militan ini dibiarkan, maka bisa jadi dalam waktu yang panjang nanti akan mempunyai akibat yang buruk dalam usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia.
Dan kini, mereka sedang gencar-gencarnya meneriakkan kawin campur, atau bolehnya seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Kali ini, penyelewengan yang mereka lakukan sungguh sangat keterlaluan dan kelewat batas. Karena dalam hal ini, mereka menabrak nash-nash qath’i dari Al-Qur`an dan sunnah Nabi yang melarang seorang muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Hukum haramnya kawin campur ini sudah merupakan ijma’ seluruh ulama tanpa kecuali, dari sejak masa Nabi dan sahabat hingga sekarang. Dan dikarenakan sudah sangat jelasnya larangan ini, para ulama tidak merasa perlu membahasnya panjang lebar. Sebab, memang tidak ada yang diperdebatkan. Dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh misalnya, Dr. Wahbah Az-Zuhaili hanya menyinggung sedikit masalah ini, beliau merasa cukup dengan mengatakan bahwa para ulama telah sepakat atas haramnya pernikahan antara seorang muslimah dengan laki-laki kafir. Beliau tidak membahas panjang lebar masalah ini, karena memang tidak ada perbedaan pendapat di sana. Sehingga sangat bisa dimaklumi jika Dr. Zainun Kamal, salah seorang kontributor JIL yang cukup disegani, sama sekali tidak berkutik ketika ditanya tentang dalil-dalil dari Al-Qur`an dan hadits, serta pendapat ulama yang membolehkan kawin campur ini. Sebab, memang Zainun ini tidak berbeda dengan dedengkot JIL lainnya yang hanya berani berkoar jika di hadapan non-muslim atau orang-orang yang mereka anggap awam soal agama. Dan dalam MD edisi lalu, tampaknya kajian tentang haramnya kawin campur ini sudah cukup jelas.
Kemudian, untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikirannya yang nyeleneh, JIL sering meneriakkan kata-kata dialog dan diskusi. Namun, mereka hanya berani berdialog dan berdiskusi dengan orang-orang yang sepaham dengan mereka atau orang-orang yang kira-kira dapat mereka ‘tundukkan.’ Sebab, mereka selalu takut, gentar, dan tidak pernah berani (selamanya) jika harus duduk semeja bersama orang-orang semacam Hartono Ahmad Jaiz atau Adian Husaini, misalnya, di hadapan umum untuk mendiskusikan kenyelenehan mereka. Dan, jika mereka senantiasa menghindar untuk sama-sama berdialog dalam satu forum, sulit untuk tidak mengatakan mereka (JIL) sebagai pengecut.
Akhirnya, dengan sikap dan pandangan-pandangan yang melenceng dari rel Ilahi ini, JIL justru berbahaya bagi umat Islam. Karena, diakui atau tidak, selama JIL masih menyandang kata-kata “Islam” dalam keliberalannya, maka yang terjadi adalah pembusukan Islam dari dalam! Dengan demikian, sama sekali tidak ada potensi yang bisa diharapkan dari JIL. Bahkan sesungguhnya keberadaan mereka merupakan ancaman bagi umat Islam. Kalaupun ada potensi JIL, maka itu adalah potensi mengaburkan pemahaman Islam yang sebenarnya. JIL sangat berpotensi untuk membuat umat Islam ragu-ragu akan kebenaran agamanya sendiri. Jadi, JIL adalah ancaman, bukan potensi (kecuali potensi merusak).
(Tulisan ini pernah dimuat di: di Majalah Media Dakwah/Nomor 340/Oktober 2002 M)
No comments:
Post a Comment