JARINGAN ISLAM LIBERAL; ANTARA TUJUAN DAN PEMAHAMAN
Oleh: M Maghfur
Pendahuluan
Pertengahan tahun 2001, nama "islam liberal" mulai dikenal luas di indonesia. Dengan semboyannya yang indah menawan,"islam yang membebaskan ", kelompok ini kemudian mengusung bendera" jaringan islam liberal"atau yang biasa disebut JIL, mampu menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun yang kontra.
Keberadaan JIL cukup menyita perhatian masyarakat muslim indonesia, karena pesan-pesan atau wacana-wacana kontroversial yang dibawa oleh kelompok ini. Misalnya: pertama, tentang teologi inklusif-pluralis; suatu gagasan yang menyamakan semua agama. Kedua, penolakan kelompok ini terhadap syariat islam, karena mereka menilai memberangus kebebasan. Ketiga, tujuan dibentuknya JIL, yaitu untuk menghentikan (menurut penilaian mereka) gerakan islam Fundamentalis atau Islam Militan yang mereka nilai berbahaya untuk perkembangan demokratisasi. Dan mungkin masih sangat banyak lagi tentang pemikiran- pemikiran kelompok ini yang kontrofersial dengan pemahaman umat islam di indonesia.
Dari itu , dalam makalah yang sederhana ini penulis akan berusaha menyingkap sedikit sepak terjang kelompok ini, yang mungkin sampai hari ini masih menjadi perdebatan banyak kalangan di negara kita. namun sangat tidak mungkin dalam makalah ini akan mencakup semuanya. Mengingat keterbatasan waktu dan suatu hal lainya , tulisan ini hanya akan berbicara seputar pengertian, sejarah, tujuan di dirikan , beberapa pemahaman, dan pendapat ulama' mengenai kelompok ini.
Pengertian liberalisme
Liberalisme ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik tertinggi. Seseorang yang menerima faham liberalisme dipanggil seorang liberal. Walau bagaimanapun, maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikuti konteks sesuai negara tertentu.
Perkataan liberal berasal dari pada perkataan Latin liber yang bermaksud bebas atau bukan hamba.
sedang dalam kamus "oxford Basic english Dictionary" liberal:a person who is liberal lets other people do and think what they want (seseorang yang liberal memberi kebebasan kepada orang lain untuk berbuat dan berfikir sesuai dengan keinginan mereka).
Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.
Sejarah Muncul Islam Liberal di Indonesia
Jaringan Islam Liberal adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad.
Menurut salah seorang pengajar Universitas Para madina Mulya, Luthfi Assyaukanie, bahwa kemunculan istilah Islam Liberal mulai dipopulerkan tahun 1950-an, yaitu oleh tokoh dan sumber rujukan utama Jaringan Islam liberal, Nurcholish Majid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemeikiran islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal.
Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing groups(milis) yang tergabung dalam islamliberal@yahoogroups.com, selain itu juga menyebarkan gagasanya lewat website www.islamlib.com . Sejak Maret 2001 forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, and Hadimulyo.
Tujuan di Dirikannya
Adalah suatu keniscayaan bahwa didirikanya suatu kelompok pasti memiliki misi dan tujuan yang ingin di capai oleh suatu kelompok tersebut. Begitu juga Kelompok/ Jaringan Islam Liberal, yang mempunya pemahan kebebasan tanpa batas mempunya tujuan dan misi –misi tertentu dibalik kebebasan tanpa batas yang mereka anut tersebut.
Dan kalau kita lihat dalam tulisan- tulisan mereka akan kita temukan diantara misi dan tujuan mereka adalah seperti berikut ini:
Salah satu tujuan utama Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Dan di antara misi- misinya:
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme (kolot). mereka meyakini, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Selain itu pula seorang kontributor JIL , Denny JA menambahkan lebih jauh tentang Islam Liberal ini. Dengan mengutip pendapat Wiliam Liddle(1995), bahwa kaum Islam Liberal bisa dikatakan pula sebagai islam substansialis. Di antara ciri kaum substansialis ini adalah: pertama, mereka percaya bahwa isi dan substansi ajaran agama islam jauh lebih penting dari pada bentuk dan labelnya. Dengan menekankan substansi ajaran moral, sangat memudahkan bagi mereka untuk mencari anggota sesama peganut agama dan kaum moralis lain untuk membentuk aturan publik bersama.
Kedua, mereka percaya, walau Islam(Al-Quran) itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespons zaman yang terus berubah dan berbeda.
Ketiga, mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan. Kemungkinan salah menafsirkan kehendak Tuhan harus terus hidup dalam pikiran mereka. Dengan sikap ini, mereka akan lebih bertoleransi atas keberagaman interpretasi dan membuat dialog dengan pihak yang berbeda.
Keempat, mereka menerima bahwa bentuk negara indonesia sekarang (yang bukan merupakan negara islam) adalah bentuk final. Dengan keyakinan ini, mereka tak akan berupaya mendirikan negara islam yang menjadikan negara sebagai instrumen agama islam saja. Netralitas negara terhadap pluralitas agama di indonesia akan sangat mudah diterima.
Pemahaman Yang di Anggap Kontrofersi
Semenjak kemunculannya di indonesia, kelompok islam satu ini banyak sekali mendulang pertentangan dari kelompok islam pendahulu mereka, karena pemahaman –pemahaman mereka yang di anggap menyalahi/ bertentangan dengan ajaran-ajaran islam. Dan diantara pemahaman-pemahaman tersebut adalah :
a. pemahaman dalam penafsiran Al-Qur'an
al-Qur'an adalah suatu pedoman pokok dalam agama Islam, yang mempunyai metode dan syarat-syarat tersendiri bagi seseorang yang hendak menafsirkanya. Dan pedoman inilah yang masih dipegang oleh umat islam di Indonesia hingga sekarang. Namun kemudian, tiba-tiba mereka di kagetkan oleh penafsiran ayat-ayar Al-Qur'an yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang mereka pelajari .
akan tetapi bukan berarti penafsiran-penafsira tersebut tidak beralasan, karena memang ternyata mereka mempunyai pedoman tersendiri dalam penafsiran Al-Quran. Dan diantara salah satu pedoman mereka adalah kebebasan, dan berikut ini petikan dari situs mereka islamlib.com tentang penafsiran Al-Qur'an :
"Dewasa ini, tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan. Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan). Sementara itu, tafsir-tafsir lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif kadangkala sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif.
Sebuah tafsir tunggal agama sesungguhnya jauh dari sehat karena akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan pada pesan agama yang awalnya bertujuan mulia. Karena, sikap dasar bawaan manusia tidak jauh dari kenaifan, keserakahan, dan nafsu menundukkan lainnya. Hal itu terbukti ketika khalifah Al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah menerapkan mihnah (inkuisisi) yang berisi kewajiban penduduk untuk berpaham teologi Mu’tazilah."
Dan salah satu contoh penafsiran mereka yang di anggap kontrofersi tersebut adalah suarat A-Maidah ayat 69 " sesungguhnya orang-orang yang beriman , orang-orang yahudi, shabi'in dan orang-orang nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah , hari kemudian, dan beramal shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak(pula) mereka bersediah hati." Yang mana Ayat ini dijadikan dalil bahwa agama apapun pada dasarnya adalah benar dan dapat di jadikan sebagai jalan menuju keselamatan, (persamaan agama).
b. Pernikahan Beda Agama
Permasalahan lain yang di anggap menjadi polemik adalah kawin beda agama. Masalah ini mencuat kepermukaan setelah terbitnya buku Fiqih Lintas Agama, yang di susun oleh Nurcholis Madjid, dkk. Di susul kemudian munculnya buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam(CLDKHI) yang di susun oleh tim LKAJ Departemen Agama RI. Dalam buku-buku tersebut , mereka menyimpulkan bahwa kebolehan kawin beda agama antara muslim dan non-muslim bersifat luas. Tidak hanya pernikahan pria muslim dan wanita Ahli Kitab (yang di pahami jumhur ulama) yang di bolehkan, tetapi lebih luas dari itu. Dan lebih kongkritnya, berikut ini pernyataan yang di muat dalam buku Fikih Lintas Agama:
"soal pernikahan laki-laki non-muslim denngan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan suatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat di mungkinkan bila di cetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan laki-laki non-muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat di perbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya."
c. Penerapan Syariat Islam.
Permasalahan selanjutnya yang menjadi pertentangan antara mereka (JIL) dengan Kelompok Islam yang lain, yaitu dalam penerapan hukum/syariat islam yang mana dalam nash ( Al-Quran dan Hadits) sudah di sebutkan dengan jelas. Namun mereka (JIL) menganggap bahwa hukum-hukum dalam nash itu harus ada penafsiran ulang ,dengan berpedoman pada relevansi kondisi dan masa pada waktu tertentu.
Dan untuk lebih jelasnya berikut ini kutipan pernyataan dari salah seorang koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla:
" SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam."
Pendapat MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PLURALISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4. Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan social.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur adukkan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah social yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan social dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 22 Jumadil Akhir 1426 H.
29 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Sekretaris,
K.H. MA’RUF AMIN HASANUDIN
Penutup
Berfikir adalah salah satu anjuran dalam islam, karena dia adalah pintu gerbang pengetahuan, dan salah satu wasilah seorang hamba untuk mengetahui bukti-bukti akan adanya Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa, yang menjadikan hambanya semakin bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Namun berfikir pula dapat menjadikan seorang hambanya tersesat dari jalanNya, ketika hamba ini hanya mengandalkan fikiran dan melupakan hati nurani dan ajaran rasulnya.
Demikianlah sedikit tentang paham Liberalis ini, semoga dengan sedikit ini kita semua menjadi tidak puas dan berusaha untuk mencari lebih banyak lagi pengetahuan tentang paham ini (khususnya) dan pengetahuan-pengetahuan lain (umumnya). Tak lupa juga saya berharap kritik dan koreksi dari teman- teman sekalian dari makalah ini, karena saya yakin banyak sekali kekurangan dan kesalahan baik dari penulisan ataupun penyusunannya atau mungkin pengambilan sumber referensinya.
Sebagai penutup ada baiknya, kita semua merenungkan sebuah firman Allah subkhanallahu wata'âla;
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil sebagai wali' (pemimpin, teman kepercayaan, panutan) orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan."(Al-Mâidah:57)
Referensi
1. Adian Husaini,Nuim Hidayat,Islam Liberal, Gema Insani Press, Jakarta,2002
2. Republika, Membendung Liberalisme, cet 1,2006
3. islamlib.com
4. artikel.sabda.org
5. media.isnet.org
6. mui.or.id
7. Nurcholis madjid, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta, 2004
8. Oxford Basic Dictionary, Oxford University press,1994
9. wikipedia.org
No comments:
Post a Comment