Friday, February 10, 2012

HUKUM NIKAH DALAM KEADAAN HAMIL

Sumber: An-Nashihah.

PERTANYAAN

1. Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang hamil?
2. Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
4. Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?


Dari Mugiyono.


**********************************
Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al ‘Alim Al-Hakim – sebagai berikut:

JAWABAN PERTAMA

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:

* Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
* Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘iyadzu billah, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.


Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘ iddah[1] nya, dan ‘iddahnya ialah sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta ’ ala ,

“ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘ iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Ta ’ ala ,

“Dan janganlah kalian ber‘azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” [Al-Baqarah: 235 ]

Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya, tentang makna ayat ini, “Iaitu, jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddahnya ” Kemudian beliau berkata, “Dan para ulama telah bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah. ”

Lihat Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu ’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zadul Ma ‘ ad 5/156.

Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kes yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al ‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut.

Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat pertama, bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:

* Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan mazhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid.
* Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy, dan Abu Hanifah.


Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109, “Menikahi perempuan penzina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan. ”

Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘ Azza Wa Jalla ,

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin.” [ An-Nur: 3 ]

Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari datuknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh, beliau berkata:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ : فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا

“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata, ‘Maka saya datang kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata, ‘Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi ‘Anaq?’.’ Martsad berkata, ‘maka beliau diam, lalu turunlah (ayat), ‘dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik .’ Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata, ‘jangan kamu menikahi dia .’ ” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram menikah dengan perempuan penzina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima’, atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh ‘terhapus hukumnya’, adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang mengatakan haram menikah dengan perempuan penzina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Âlamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan

Sebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.

Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini (dilakukan) pada saat berkhalwat ‘berduaan’ padahal tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah ‘perempuan bukan mahram’ walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka bagaimana (boleh) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina? ”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:

1. Ikhlas karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Berazam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.


Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.

Syarat Kedua, telah lepas ‘iddah.

Para ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:

Pertama, wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh berjima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh berjima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh berjima’ sampai istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

Dalil pertama, hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. ” (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)

Dalil kedua, hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“ Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. ” (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)

Dalil ketiga, hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

“Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, ‘Barangkali orang itu ingin menggaulinya?’ ( Para sahabat) menjawab, ‘Benar.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya’.”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang hamba-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.

Catatan

Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘ Azza Wa Jalla,

“ Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.

Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,

“Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” [ Al-Baqarah: 228 ]


Kesimpulan

1. Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddahnya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:


* Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
* Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.


Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.




JAWABAN KEDUA

Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat maupun karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya mengetahui haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd ‘ hukuman ’ sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya, “Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa ‘iddah? ”

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddahnya.”

Tetapi pendapat mereka diselisihi oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘ anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi’iy, tetapi belakangan Imam Syafi’iy berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik, bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘ ilmu ‘ indallah .

Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).


JAWABAN KETIGA

Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’, maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau belum dilunasi mahar tersebut.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. ” (diriwayatkan olehSyafi ’ iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa ’ id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Âtsar 3/7, Abu Ya ’ la dalam Musnad -nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu ’ aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.

Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ’ ala ,

“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan ” [An-Nisa`: 4]

Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta ’ ala ,

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” [ An-Nisa`: 24 ]

Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A ’ lam .

Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zadul Ma’ad 5/104-105.


JAWABAN KEEMPAT

Ada dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan yang keempat ini:

* Manakah yang paling utama, berdzikir secara bersama atau sendiri-sendiri?
* Apakah disyariatkan mengeraskan suara atau tidak ketika berdzikir?


Adapun jawaban untuk masalah yang pertama, kami persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya sebagai berikut.

“Apakah berdoanya imam dan makmum (secara bersama) setelah shalat wajib boleh atau tidak?”

Beliau menjawab, “Alhamdulillah, adapun doanya imam dan makmum secara bersama setelah shalat adalah (perkara) bid’ah, tidak pernah ada di masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam . Doa beliau hanya di pertengahan shalat, karena orang yang shalat bermunajat kepada Rabbnya, sehingga, kalau ia berdoa saat bermunajat kepadaNya, itu sangatlah cocok. Adapun doa setelah selesai bermunajat dan menghadap kepadaNya tidaklah cocok, tetapi yang disunnahkan setelah shalat hanyalah berdzikir dengan yang ma’tsur ‘ada riwayatnya’ dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berupa tahlil, tahmid dan takbir ….” Lihat Majmu’ Al-Fatawa 22/519-520.

Lalu pada jilid 22 hal. 512, beliau berkata,

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan para makmum berdoa setelah shalat lima waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat fajr dan ashar. Hal tersebut tidaklah dinukil dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun dari kalangan imam, dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi’iy bahwa ia menganggapnya sunnah, sungguh ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam Syafi’iy-pent.) yang ada di buku-buku beliau menafikan hal tersebut, dan demikian pula Ahmad dan selainnya dari para imam, mereka tidak menganggapnya sunnah ….”

Kemudian dalam pertanyaan kedua pada fatwa no. 3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi Arabiyah yang dijawab dan ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify rahimahullah, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: Membaca Al-Qur`an dan berdoa secara berjamaah setelah shalat wajib, apakah termasuk sunnah atau bid’ah?

Jawaban: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Khulafa` Ar-Rasyidin dan para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan beramal dengannya serta menyampaikannya kepada orang setelah mereka. Petunjuk beliau adalah berdzikir kepada Allah dan berdoa seorang diri, dan tidaklah beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meminta seorang pun dari para shahabat untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdoa dengan orang-orang yang bersamanya secara berjamaah. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membaca Al-Fatihah dan berdoa secara berjamaah setelah shalat merupakan perkara bid’ah. Telah tsabit ‘tetap,pasti’ dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih -nya).

Asal (hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shahihain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka ia tertolak.”

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangatlah banyak. Tidaklah menjadi baik akhir dari ummat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari Ahlul ‘Ilmi. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam .”

Kemudian pada pertanyaan ketiga dalam fatwa no. 2251 disebutkan sebagai berikut.

“Manusia berselisih tentang berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata, ‘Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya. Andaikata itu adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam mengikuti kebenaran.’ Sebagian orang berkata, ‘Berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab ‘disukai’ dan mandub ‘dianjurkan’, bahkan masnun[2] ‘disunnahkan’, karena ia merupakan dzikir dan ibadah, dan setiap dzikir dan ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau masnun.’ Mereka juga mencela orang-orang yang tidak menunggu (untuk) berdoa dan (langsung) berdiri setelah shalat.”

Jawaban: “Doa adalah salah satu ibadah dari bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif ‘tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.’. Tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyariatkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar’iy yang menunjukkan hal tersebut, dari nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , baik dari perkataan, perbuatan maupun taqrir ‘penetapan, persetujuan’ dari beliau, yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. Segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam . Dalam bab ini, telah tsabit ‘tetap,pasti’ dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam, dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Siapa yang membuat perkara baru yang menyelisihi petunjuk Rasul shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka ia tertolak. Beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.”

Imam yang berdoa setelah salam, dan doanya diaminkan oleh para makmum dan semuanya mengangkat tangan, akan dimintai dalil yang menetapkan perbuatannya. Kalau ia tidak mempunyai dalil, maka amalannya tertolak. Demikian pula orang yang mengerjakan hal tersebut setelah shalat nafilah ‘shalat sunnah’ dimintai dalil, sebagaimana firman Allah pada (ayat) yang seperti ini ,

“Katakanlah, ‘Berikanlah bukti kalian jika kalian memang benar.’.” [ Al-Baqarah: 111 ]

Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun, dari Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah, yang menunjukkan disyariatkannya apa yang disangka oleh kelompok kedua ini, berupa doa dan dzikir berjamaah dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam .”

Selain itu, pada pertanyaan pertama dalam fatwa no. 3901 yang dijawab oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: “Apakah berdoa setelah shalat fardhu adalah sunnah, dan apakah doa dibarengi dengan mengangkat tangan, dan apakah diangkat bersama imam lebih utama atau tidak?”

Jawaban: “Doa setelah shalat fardhu bukanlah sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat tangan, baik dari imam sendiri, dari makmum sendiri, maupun dari keduanya secara bersama (berjamaah), bahkan itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan para sahabatnya. Adapun doa (sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan, itu tidaklah apa-apa, karena warid dalam sebagian hadits tentang hal tersebut. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam.”

Adapun masalah kedua jawabannya sebagai berikut.

Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim 5/117 (cet. Mu’assasah Qurthubah), menyebutkan ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah shalat fardhu:

1. Sebagian para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah, dan ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry.
2. Ibnu Baththal dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqih dan selain mereka telah bersepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan dzikir maupun takbir.
3. Berkata Imam Syafi’iy, “Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah selesai shalat dan keduanya menyembunyikan (baca: tidak mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia menyembunyikannya.”

Para Ulama yang menganggap sunnahnya mengeraskan dzikir berdalilkan dengan hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

“Sesungguhnya mengangkat suara ketika berdzikir saat manusia selesai dari shalat wajib, ada di masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Saya mengetahui mereka selesai dengan hal tersebut bila saya mendengarnya.’.”

Kata berdzikir menurut pandangan para ulama di atas adalah kalimat yang umum, sehingga mencakup segala jenis dzikir.

Tetapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafazh lain dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata (dari lafazh riwayat Muslim),

مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ

“Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , kecuali dengan (mendengar) takbir.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 2/326, “Perkataan beliau “dengan mendengar takbir” lebih khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang sebelumnya, karena dzikir lebih umum daripada takbir dan mungkin riwayat ini menafsirkan (riwayat sebelum)nya, sehingga yang diinginkan dengan mengeraskan suara dengan dzikir adalah dengan takbir.”

Maka yang benar, dalam hadits Ibnu ‘Abbas ini, adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan pada dzikir secara umum. Kami menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan:

1. Riwayat takbir lebih kuat dari riwayat dzikir, karena Sufyan Ibnu ‘Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari ‘Amr bin Dinar. Lihat Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
2. Apabila ada dua kalimat yang berbeda; ada yang umum dan ada yang khusus, dan dua kalimat ini berasal dari satu hadits yang sama makhraj ‘perputaran sanad’-nya, maka pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied dan selainnya dari para ulama ahli ushul fiqih.


Demikian pula dalam hadits ini, kata dzikir lebih umum daripada kata takbir. Karena perputaran hadits ini satu, yaitu ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, maka kata dzikir dikembalikan maknanya kepada kata takbir, sehingga bisa disimpulkan bahwa yang diinginkan dengan dzikir itu adalah takbir saja. Wallahu A’lam.

Lafazh riwayat Muslimyang kami sebutkan di atas datang dalam bentuk hashr ‘pembatasan’, sehingga semakin menguatkan bahwa hanya takbir saja yang disyariatkan untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah shalat. Wallahu A’lam.

Adapun selain takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak dikeraskan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya:

Firman Allah Ta’ala,

“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai .”[ Al-A'raf: 205 ]

Berkata Ibnu Katsir, “Dan demikianlah disunnahkan bahwa dzikir itu tidak berupa teriakan atau suara keras yang berlebihan.”

Lalu sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,

أَيُّهَا النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kalian.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)

Kemudian hadits Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ

“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan (pula) sebagian dari kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, atau beliau berkata, dalam shalat.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daud no. 1332, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’abul Îman 2/543, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 23/318. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah di atas syarat Asy-Syaikhain dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Selain itu, Syaikhuna Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah, dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal. 79, menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, di antaranya:

1. Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
2. Akan mengganggu orang-orang yang masbuq.
3. Mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya). Wallahu A’lam.


Kesimpulan

Dzikir tidak di-jahr-kan (tidak dikeraskan) setelah shalat fardhu, kecuali ucapan takbir yang disunnahkan untuk dikeraskan.

Pelengkap

Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar, tetapi tidak disebutkan dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan. Karena itu, takbir boleh diucapkan beberapa kali tanpa batas, tetapi lebih utama dengan urutan bilangan ganjil, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

“Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi bilangan ganjil.”

[1] Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Authar 4/438 , “‘Iddah adalah istilah bagi waktu penantian seorang perempuan untuk menikah (lagi) setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya. (Berakhirnya waktu ini) dengan (sebab dia) melahirkan (jika hamil), quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan (berlalunya) beberapa bulan.”

[2] Kata mustahabb, mandub dan masnun menurut para ulama ushul fiqh bermakna sama , yaitu disunnahkan, tetapi kami menerjemahkannya sesuai dengan konteks pertanyaan.


http://qawanitadanperkahwinan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment