Hadits Tsaqalain : Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Dan Akhirat?
Abu Al-Jauzaa’ :, 06 Mei 2010
Hadits ats-tsaqalain adalah salah satu hadits yang menjadi pokok perbedaan manhaj beragama antara Ahlus-Sunnah dan Syi’ah. Dan dari hadits inilah kemudian muncul teologi ‘beragama menurut Ahlul-Bait’ yang dikembangkan oleh Syi’ah. Mereka beranggapan agama ini hanya akan betul dan sah jika dibawakan menurut jalur Ahlul-Bait, bukan selain mereka. Ahlul-Bait yang dimaksudkan di sini bukanlah sesuai dengan apa yang dipahami Ahlus-Sunnah. Penjelasan lebih lengkapnya, silakan baca artikel sebelumnya yang berjudul : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba mendiskusikan hadits ats-tsaqalain ini dari beberapa jalur periwayatan, sekaligus bagaimana memahami makna yang ada di dalamnya. Sebagai pengantar, akan disebutkan beberapa (= tidak semua) riwayat hadits ats-tsaqalain sebagaimana di bawah :
1. Shahih Muslim
Pertama :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’.
Kedua :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ بِمَعْنَى حَدِيثِ زُهَيْرٍ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar-Rayyan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan – yaitu Ibnu Ibraahiim – , dari Sa’iid bin Masruuq, dari Yazid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, (lalu dia menyebutkan haditsnya yang semakna dengan hadits Zuhair).
Ketiga :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي حَيَّانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ إِسْمَعِيلَ وَزَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail. Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir; keduanya (Muhammad bin Fudlail dan Jariir) dari Abu Hayyan melalui jalur ini sebagaimana hadits Ismaa’iil, dan di dalam hadits Jariir ada tambahan : “Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Keempat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan – yaitu Ibnu Ibraahiim – , dari Sa’iid – yaitu Ibnu Masruuq – , dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia (Yaziid) berkata : “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya : ‘Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau…dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur’an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.’ Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya : “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab : “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
2. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ مَعَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبُرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوهُ وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطِيبًا فِينَا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَأُجِيبُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Abu Hayyaan At-Taimiy : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan At-Taimiy, ia berkata : “Aku, Hushain bin Sabrah, dan ‘Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya : “Sesungguhnya Anda telah menuai kebaikan yang banyak wahai Zaid. Anda telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mendengar haditsnya. Kemudian Anda juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Sungguh, Anda telah melihat kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami apa yang telah Anda dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” Zaid berkata : “Wahai anak saudaraku, demi Allah, usiaku telah lanjut, dan masaku pun telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka apa yang aku ceritakan pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian membebankannya padaku”. Zaid melanjutkan berkata : “Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada kami di sebuah mata air yang biasa disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka’bah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengungkapkan puji-pujian atas-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau bersabda : ‘Amma ba’du, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, yang hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun memenuhinya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara yang sangat berat di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah ‘azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan berpegang-teguhlah kalian dengannya“. Beliau memberikan motivasi terkait dengan kitabullah dan mendorongnya. Kemudian beliau bersabda lagi : “Dan (yang kedua adalah) ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku, aku ingatkan kalian karena Allah terhadap akan ahlul-baitku.” Kemudian Hushain bertanya kepada Zaid : “Dan siapakah ahlul-baitnya wahai Zaid?. Bukankah isteri-isteri beliau adalah termasuk ahlul-baitnya?”. Zaid menjawab : “Isteri-isteri beliau termasuk bagian dari ahlul-baitnya. Akan tetapi, ahlul-bait beliau adalah siapa saja yang telah diharamkan baginya untuk menerima sedekah setelah beliau”. Hushain bertanya lagi : “Siapakah mereka itu?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Aliy, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbaas”. Zaid bertanya lagi : “Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima sedekah?”. Ia menjawab : “Ya” [4/366-367].[1]
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي أَلَا إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritkan kepada kami ‘Abdul-Malik – yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahlul-baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku” [3/26].[2]
3. Sunan At-Tirmidziy
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ هُوَ الْأَنْمَاطِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hasan – ia adalah Al-Anmaathiy – , dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hajinya ketika di ‘Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya – Al Qahwa`- dan aku mendengar beliau bersabda : ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan ‘itrahku ahlul-baitku“ [no. 3786].[3]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid. Dan Al-A’masy dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhumaa, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku” [no. 3788].[4]
4. Al-Ma’rifah wat-Taarikh
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [1/536; shahih].
5. Mustadrak Al-Haakim.
حدثناه أبو بكر بن إسحاق ودعلج بن أحمد السجزي قالا أنبأ محمد بن أيوب ثنا الأزرق بن علي ثنا حسان بن إبراهيم الكرماني ثنا محمد بن سلمة بن كهيل عن أبيه عن أبي الطفيل عن بن واثلة أنه سمع زيد بن أرقم رضى الله تعالى عنه يقول نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بين مكة والمدينة عند شجرات خمس دوحات عظام فكنس الناس ما تحت الشجرات ثم راح رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية فصلى ثم قام خطيبا فحمد الله وأثنى عليه وذكر ووعظ فقال ما شاء الله أن يقول ثم قال أيها الناس إني تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي ثم قال أتعلمون إني أولى بالمؤمنين من أنفسهم ثلاث مرات قالوا نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كنت مولاه فعلي مولاه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq dan Da’laj bin Ahmad Al-Sajziy, keduanya berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ayub : Telah menceritakan kepada kami Al-Azraq bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim Al-Kirmaaniy, : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abuth-Thufail bin Waatsilah : Bahwasannya ia mendengar Zaid bin Arqam radliyallaahu ta’ala ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan menyanjung Allah ta’ala, mengingatkan dan memberikan nasehat (kepada manusia). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai sekalian manusia, aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul-baitku ‘itrahku”. Kemudian beliau melanjutkan : “Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”. Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya”. [no. 4577].[5]
6. Musykiilul-Aatsaar.
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Zaid, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari ‘Aliy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berteduh di Khum kemudian beliau keluar sambil memegang tangan ‘Aliy. Beliau berkata : “Wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya” atau [Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda] : “Maka ‘Aliy sebagai maulanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan Ahlul-Bait-ku” [3/56].[6]
Saya kira lafadh-lafadh di atas sudah cukup mewakili.
Kita akan melihat secara keseluruhan makna yang paling tepat akan hadits tsaqalain ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa hadits di atas diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu yang sama dan disaksikan lebih dari seorang shahabat. Yaitu saat haji wada’, tepatnya di satu tempat yang bernama Khumm. Jika kita ketahui bahwa hadits ini keluar pada orang yang satu (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), waktu yang satu (yaitu saat haji wada’), dan tempat yang satu (Khumm), maka lafadh hadits ini pun sebenarnya satu. Hukum dan maknanya pun juga satu.
Oleh karena itulah, kita perlu melihat keseluruhan lafadh hadits dari riwayat yang berbeda-beda sehingga kita bisa melihat lafadh hadits tersebut secara utuh. Karena telah ma’lum bahwa kadang satu hadits sengaja dibawakan oleh seorang perawi dengan meringkas, dan di lain riwayat ia bawakan secara lengkap. Juga, kadang seorang perawi menerima hadits dengan lafadh ringkas, namun perawi selain dirinya membawakan secara lengkap. Juga, adanya faktor kekurangan dalam sifat hifdh dari seorang perawi sehingga ia membawakan hadits yang semula panjang (lengkap), namun kemudian ia bawakan secara ringkas. Dan beberapa kemungkinan yang lainnya.
Kita juga harus memperhatikan bahwa hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak.
Ini semua mewajibkan kita untuk menelaah keseluruhan lafadh hadits yang ada.
Telah tsabt riwayat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad (mohon untuk dibaca kembali dengan seksama hadits di atas) bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada umatnya tentang dua perkara yang berat (ats-tsaqalain), beliau berkata :
أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ
“Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya”.
Kemudian beliau menyambung perkara yang kedua :
وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.
Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Jika Syi’ah mengatakan bahwa Kitabullah dan Ahluk-Bait adalah dua hal yang sama dan setara, maka itu tidak dapat diterima. Sebab, dalam riwayat lain (ex : Sunan At-Tirmidziy no. 3788) menjelaskan bahwa salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain :
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain”.
Hadits ini jelas menolak klaim kesetaraan.
Jika Syi’ah mengatakan bahwa kata Ahlul-Bait setelah huruf wawu merupakan ‘athaf kepada Kitabullah – sebagaimana termaktub dalam Sunan At-Tirmidziy no. 3786 dan Al-Ma’rifah wat-Taariikh (sehingga mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan Al-Qur’an dalam perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan sesat ), ini pun tidak dapat diterima dengan alasan :
1. Telah lalu perkataan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan kedudukan keduanya.
2. Dalam salah satu riwayat Muslim telah disebutkan lafadh :
كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Penunjukkan perintah itu secara tegas hanya tertuju pada Al-Qur’an (Kitabullah), tanpa ada tambahan keterangan ‘itrah ahlul-bait. Lafadh ini berkesesuaian dengan riwayat Muslim sebelumnya (dalam lafadh yang panjang) dan Ahmad (dalam lafadh yang panjang).
Sesuai pula dengan lafadh yang dibawakan Jaabir :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].[7]
yang tanpa ada keterangan tambahan berpegang teguh pada Ahlul-Bait.[8]
3. Lafadh hadits :
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي
Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku”.
Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما – “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما – “dengan keduanya”).[9] Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.
Oleh karena itu, kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih].
4. Ahlul-Bait bukanlah pribadi-pribadi yang ma’shum. Berbeda dengan Al-Qur’an yang ma’shum dan pasti benar setiap huruf, kata, dan kalimatnya. ‘Aliy bin Abi Thaalib terbukti pernah keliru dengan meminang putri Abu Jahl sehingga mendapat teguran dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا
“Sesungguhnya aku telah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
‘Aliy juga pernah salah ketika memberi hukuman terhadap para mulhidin dengan membakarnya :
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
‘Aliy juga pernah keliru saat menegur Faathimah karena ia bercelak setelah tahallul :
وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت
“…….Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : “Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini”. ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : “Fathimah benar…….” [Diriwayatkan Muslim no. 1218].
dan yang lainnya.
Bagaimana bisa kemudian Ahlul-Bait hendak disamakan dengan Al-Qur’an dalam perintah untuk selalu berpegang-teguh kepadanya dan jaminan aman dari kesesatan ? Kesesuaian mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolok ukur dan jaminan petunjuk bagi manusia. Adapun kekeliruan mereka, maka sudah selayaknya tidak kita ikuti. Barangsiapa yang mengikuti kekeliruan mereka, maka ia telah menyimpang. Ahlul-Bait tetap dibebani kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menetapinya keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan selamat, dan barangsiapa menyelisihinya akan tersesat.
Oleh karena itu, petunjuk yang dapat mereka berikan (kepada umat) tetap di-taqyid dengan kesesuaian terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama seperti para shahabat, tabi’iin, dan tabi’ut-tabi’iin lainnya.
Jika ada yang mengatakan :
Telah ditunjukkan bahwa lafaz “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” shahih dari Rasulullah SAW. Diantaranya kami menunjukkan bahwa riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menyebutkan lafaz “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Walaupun terdapat hadis lain yaitu riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam yang hanya menyebutkan lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah” saja, tidaklah berarti riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menjadi tertolak. Justru kalau kita menggabungkan keduanya maka hadis Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam melengkapi hadis Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam. Menjamak keduanya jelas lebih tepat dan hasil penggabungan keduanya adalah Rasulullah SAW menetapkan “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Hal yang sangat ma’ruf bahwa penetapan yang satu bukan berarti menafikan yang satunya. Apalagi jika terdapat dalil shahih penetapan keduanya maka dalil penetapan yang satu harus dikembalikan kepada penetapan keduanya.
Saya tidak tahu apakah perkataan ini lahir dari pengetahuan penjamakan lafadh-lafadh hadits yang dikenal ulama. Dan siapa pula yang menolak hadits Abudl-Dluhaa ? Bisa dicermati hadits-hadits di atas. Hadits Abu Dluhaa dari Zaid bin Arqam merupakan lafadh yang lebih ringkas daripada lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Juga, lafadh hadits Abudl-Dluhaa bukan merupakan jenis lafadh ziyaadatuts-tsiqah karena tidak ada lafadh yang bisa ditambahkan pada lafadh Yaziid bin Hayyaan. Tidak lebih, ia hanya merupakan ikhtishar saja. Jenis-jenis semacam ini banyak dalam kutubus-sunnah. Justru lafadh yang lengkap ada pada hadits Yaziid bin Hayyaan. Jika demikian, bagaimana bisa dipahami bahwa hadits Abu Dluhaa adalah pelengkap lafadh Yaziid bin Hayyaan ?. Di bagian mana lafadh hadits Abudl-Dluhaa melengkapi lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan ?
Jangan kita terpengaruh oleh syubhat : Apalagi dalam riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid terdapat lafal dimana Zaid berkata “aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Bukankah ini menunjukkan kalau hadis yang mengandung lafal seperti ini membutuhkan penjelasan dari hadis lain.
Kalimat di atas sepertinya punya kecenderungan untuk diarahkan bahwa saat Zaid bin Arqam menceritakan kepada Yaziid bin Hayyaan dalam keadaan telah tua dan sebagian hal ada yang telah terlupakan dari ingatannya, termasuk hadits ini.
Mari kita cermati apa sebenanya yang dikatakan Zaid bin Arqam :
“Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya”.
Dapat kita pahami bahwa hadits yang disampaikan Zaid bin Arqam kepada Yaziid bin Hayyaan adalah hadits yang masih ia ingat betul. Saya sepakat, mungkin saja ada beberapa lafadh yang kurang dalam hadits Yaziid bin Hayyaan, dan itu bisa ditambahi dari riwayat-riwayat lain yang termasuk dalam katagori : ziyaadatuts-tsiqah. Memperhatikan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, beberapa lafadh yang dapat ditambahkan ke dalam lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam sebagai berikut (yang asal sanadnya hasan atau shahih) :
أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين، [أحدهما أعظم من الآخرِ] : أولهما كتاب الله [حبل ممدود من السَّماء إلى الأرض] فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به [ومن تركه كان على ضلالة]” فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال “وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي [فانظروا كيف تخلفوني فيهما]. [ألستم تشهدون أن اللَّه عزّ وجلّ ربّكم ؟ قالوا بلى قال ألستم تشهدون أنّ اللَّه ورسوله أولى بكم من أنفسكم وأنّ اللَّه عزّ وجلّ ورسوله مولياكم ؟ قالوا بلى قال فمن كنت مولاه فإنّ هذا مولاه أو قال فإنّ عليّا مولاه]
“Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), [salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain]. Pertama, Kitabullah [yaitu tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi] yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya, [dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat]”. (Perawi berkata) : Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku. [karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku]. [Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya”].
Adakah ruang bagi riwayat Abudl-Dluhaa untuk menambah lafadh Yaziid bin Hayyaan ? (Jawabnya : Tidak).[10]
Ringkasnya, riwayat Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam merupakan penjelas dari riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid bin Arqam, terutama di bagian kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’. Bukan sebaliknya.
Tidak ada penunjukan dalam hadits ats-tsaqalain untuk selalu berpegang tegus pada ahlul-bait dan jaminan pasti aman dari kesesatan. Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dipahami oleh para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3751].
Semoga yang dituliskan ini ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam bishs-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai].
[1] Sanad hadits ini shahih.
[2] Sanad hadits ini lemah dengan kelemahan terletak pada ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadiits. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits. Telah sampai kepadaku bahwasannya ‘Athiyyah mendatangi Al-Kalbiy dan mengambil darinya tafsir, dan ‘Athiyyah memberikan kunyah kepadanya (Al-Kalbiy) Abu Sa’iid. Kemudian (saat meriwayatkan) ia berkata : ‘Telah berkata Abu Sa’iid’. Husyaim telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 1306 dan Al-Kaamil 7/84 no. 1530]. Ahmad juga berkata : “Sufyan – yaitu Ats-Tsauriy – telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 4502]. Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Shaalih” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Namun dalam riwayat lain, seperti Abul-Waliid bin Jaarud, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1064 no. 1395]. Juga riwayat Ibnu Abi Maryam, bahwasannya Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, kecuali jika ia menuliskan haditsnya” [Al-Kaamil, 7/84 no. 1530]. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, ditulis haditsnya. Abu Nadlrah lebih aku sukai daripadanya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Abu Zur’ah berkata : “Layyin (lemah)” [idem]. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 481]. Al-Bukhaariy berkata : “Telah berkata Ahmad terhadap hadits ‘Abdul-Malik dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Telah aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain…’ : “Hadits-Hadits orang-orang Kuffah ini munkar” [Taariikh Ash-Shaghiir, 1/267]. Abu Dawud berkata : “Ia bukan termasuk orang yang dipercaya (dapat dijadikan sandaran)” [Suaalaat Abi ‘Ubaid Al-Aajuriiy, hal. 105 no. 24]. Ad-Daaruqthniy berkata : “Mudltharibul-hadiits” [Al-‘Ilal, 4/291]. Di tempat lain ia juga berkata : “Dla’iif” [As-Sunan, 4/39 – dari Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 453]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kedla’ifannya, ia ditulis haditsnya” [Al-Kaamil, 7/85]. Ibnu Sa’d berkata : “Ia tsiqah, insya Allah. Memiliki hadits-hadits yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqaat Ibni Sa’ad, 6/304]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah, namun tidak kuat (haditsnya)” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/140 no. 1255]. Ibnu Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 247 no. 970]. Adz-Dzahabiy berkata : “Para ulama telah mendla’ifkannya” [Al-Kaasyif 2/27 no. 3820]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah mudallis” [Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].
[lihat juga : Tahdziibul-Kamaal, 20/145-149 no. 3956 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 2937.
Di sini ‘Athiyyah juga membawakan riwayat dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122]. Jenis tadliis yang ia lakukan adalah jenis tadliis yang buruk, sebagaimana ditunjukkan dari perkataan Ahmad di atas.
Janganlah Anda terpedaya oleh ucapan : “Sebagian ulama menta’dilkan Athiyah dan sebagian yang lain mendhaifkannya. Mereka yang mendhaifkan Athiyyah tidak memiliki alasan yang kuat kecuali kalau Athiyyah dinyatakan melakukan tadlis syuyukh”.
Bagaimana bisa dikatakan tidak kuat ? Mereka men-jarh tidak semata-mata karena tadlis syuyukh yang qabiih (jelek) dari ‘Athiyyah. Silakan perhatikan benar-benar daftar perkataan para ulama terhadap diri ‘Athiyyah di atas. Jarh yang mereka alamatkan adalah dari sisi hapalannya. Bukankah Ibnu Ma’iin berkata bahwa ia seorang yang lemah kecuali jika ia menuliskan haditsnya ? Bukankah Ad-Daaruquthniy mengatakan ia seorang yang mudltharib (goncang) ? Juga jarh layyin dari Abu Zur’ah, ini menunjukkan jeleknya hapalan (suu’ul-hifdhiy). Ad-Daaruquthniy telah menjelaskan bahwa jika seseorang di-jarh dengan perkataan layyin, maka ia di-jarh bukan dari sisi ‘adalah-nya (maksudnya di sini, ia di-jarh dari sisi dlabth-nya) [lihat : Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 312]. Ini semua menunjukkan cacat di sisi ke-dlabith-annya. Ini bukan jenis jarh yang mubham. Selain itu, darimana dapat disimpulkan tajrih Husyaim, Ats-Tsauriy, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Abu Dawud, dan Ibnu ‘Adiy keluar semata-mata dengan sebab tadlis syuyuukh dari ‘Athiyyah ?
Pen-tsiqah-an Ibnu Syaahin bersandar pada perkataan Ibnu Ma’iin, padahal ia (Ibnu Ma’iin) telah mempunyai perkataan yang lebih rinci sebagaimana ternukil dari riwayat Ibnu Abi Maryam. Adapun pen-tautsiq-an Al-‘Ijliy – bersamaan dengan tasahul-nya dalam pen-tautsiq-an perawi – ada hujjah yang menunjukkan jarh yang saya tunjukkan, yaitu tambahan keterangan : “Wa laisa bil-qawiy (dan ia bukan orang yang kuat)”. Maksudnya di sini, ‘Athiyyah tidak kuat dari sisi hapalannya (dlabth), namun terpercaya dari sisi ‘adalah-nya. Adapun bersandar pada tahsin At-Tirmidziy – kalaupun kita menganggap bahwa tahsin terhadap hadits itu dimutlakkan pada tahsin perawinya – , ia termasuk ulama yang tasaahul dalam pen-tautsiq-an perawi. Dan yang tersisa tinggallah tautsiq dari Ibnu Sa’d.
Pen-tautsiq-an ini sangatlah tidak memadai untuk mengalahkan ta’yin jarh ulama pada diri ‘Athiyyah, karena jarh yang mereka pakai adalah mufassar – selain juga merupakan pendapat mayoritas dalam pendla’ifan.
Jika ada yang mengatakan : “Imam Bukhari berkata “Ahmad berkata tentang hadis Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Athiyyah dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW bersabda “aku tinggalkan untuk kalian Ats Tsaqalain” hadis orang-orang kufah yang mungkar [Tarikh As Saghir juz 1 no 1300]. Perkataan Ahmad bin Hanbal ini sangat jelas kebathilannya. Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya”.
Justru perkataan di atas lah yang lebih jelas kebathilannya karena minimnya pengetahuan atas istilah-istilah ilmu hadits. Perkataan hadits munkar itu menunjukkan adanya kelemahan dari perawinya. Bukankah definisi dari hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’iif yang menyelisihi perawi tsiqah. Dalam definisi lain mengatakan : Hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang banyak kelirunya, banyak lupanya, atau menampakkan kefasikannya [lihat dua definisi ini dalam Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 74]. Jika memang tidak ada cacat dari para perawinya, apakah mungkin satu hadits dikatakan munkar ? (menurut ilmu mushthalah yang sudah ma’ruuf). Di sini Al-Imam Ahmad sedang membicarakan hadits ‘Athiyyah yang ia sendiri telah men-jarh-nya dengan : “Dla’iif”. Ia pun menukil pen-dla’if-an itu juga dari Husyaim dan Ats-Tsauriy. Apakah menjadi ‘sangat tidak mungkin’ jarh tersebut adalah jarh yang dilamatkan karena ke-dla’ifan-an diri ‘Athiyyah ? Jadi sangat tidak ‘nyambung’ menolak pendlaifan ‘Athiyyah dari Al-Imam Ahmad ini dan menyanggahnya dengan alasan : ‘Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya’. Memang benar hadits ats-tsaqalain ini bukan hanya diriwayatkan dari jalur tersebut. Namun sekali lagi tidak ‘nyambung’ jika alasan ini digunakan untuk menolak pen-dla’if-an ‘Athiyyah.
[3] Sanad hadits ini lemah, dengan kelemahan yang terletak pada Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Ia seorang perawi yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Matruukul-hadiits”. Sedangkan Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ia telah didla’ifkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib – dan ini disepakati oleh Basyar ‘Awaad dalam Tahriir Taqriibit-Tahdziib (1/433 no. 2127) dan tahqiq-nya terhadap Sunan At-Tirmidziy (6/124). Begitu pula Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif (1/416 no. 1731).
Dalam ilmu hadits, Abu Haatim adalah ulama yang tasyaddud, dan sebaliknya Ibnu Hibbaan adalah ulama yang tasaahul. Kesepakatan dua orang haafidh (yaitu Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy) dalam pendla’ifan mempunyai nilai tersendiri. Hal itu bisa dibuktikan dari pengambilan perkataan mereka dalam pendla’ifan Al-Anmathiy oleh para ulama setelahnya. Apalagi, Adz-Dzahabiy yang menjadi salah satu sumber penilaian tasyaddud-nya Abu Haatim (dalam kitab As-Siyaar, 13/260), maka di sini ia telah memberikan penilaian dengan mengambil pendla’ifan Abu Haatim.
Qarinah yang lebih menunjukkan kelemahan diri Al-Anmathiy adalah bahwasannya ia telah diselisihi oleh Haatim bin Ismaa’iil Al-Madiniy dan Hafsh bin Ghiyaats, dimana mereka berdua meriwayatkan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang khutbah wada’, dimana beliau bersabda :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].
yaitu tanpa tambahan lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي).
Maka dari itu, yang raajih – sebagaimana ini diambil oleh para muhaqqiq – adalah ta’yin atas kelemahan diri Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Dan untuk tambahan (ziyadah) lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي) adalah tambahan yang munkar, karena dibawakan oleh perawi dla’if – sebagaimana kaidah ini dijelaskan Ibnu Shalah dalam ‘Uluumul-Hadiits.
NB : Jika ada yang mengatakan bahwa At-Tirmidziy memberikan tautsiq kepada Zaid bin Al-Hasan, maka perkataannya perlu ditinjau ulang. Jika ia mengatakan hal itu dengan melihat penghukumannya atas hadits : hasan ghariib; maka para ulama telah bersilang pendapat mengenai makna perkataan ini. Beda peristilahan antara ghariib, hasan, hasan ghariib, hasan shahih, dan hasan shahih ghariib. Ini berawal dari persyaratan hadits hasan yang diberikan sendiri oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya, yaitu : (1) Ketiadaan perawi yang dituduh berdusta (muttaham bil-kidzb), (2) sanadnya tidak syadz, dan (3) mempunyai jalan periwayatan lain selain dari sanad hadits itu. Dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak layak berpegang pada perkataan At-Tirmidziy : ‘hasan ghariib’ sebagai tanda pen-tautsiq-an terhadap seluruh rawinya.
[4] Hadits ini terdiri dari dua sanad yang poros sanadnya pada Al-A’masy.
a. Hadits Abu Sa’iid; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid.
Sanad ini lemah karena ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Telah lalu penjelasannya di atas.
Di sini ia juga membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122].
b. Hadits Zaid bin Al-Arqam; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam.
Sanad hadits ini lemah, karena Habiib bin Abi Tsaabit. Ia adalah perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Akan tetapi ia adalah seorang yang banyak melakukan tadliis dan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya mudallis tingkat tiga [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 69]. Riwayatnya tidak diterima kecuali jika ia membawakan dengan tashriih penyimakannya [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283]. Dan dalam sanad riwayat ini, ia membawakan dengan ‘an’anah.
Ada sebagian orang yang menolak pensifatan tadlis dan irsal terhadap Habiib sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar (- yang kemungkinan orang tersebut bertaqlid pada Dr. Basyar ‘Awwaad dalam At-Tahriir).
Penolakan sifat banyak tadliis dan irsaal ini sangatlah aneh. Penisbatan sifat ini telah dikatakan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu Khuzaimah, dan Ad-Daaruquthniy. Apa yang mereka katakan punya sandaran, yaitu apa yang dikatakan oleh Ibnu Ja’far An-Nuhaas dimana Habiib pernah berkata kepadanya : “Apabila seseorang menceritakan hadits kepadaku yang berasal darimu, kemudian aku menceritakannya langsung darimu maka itu benar bagiku” [dari ta’liq Dr. ‘Abdul-Ghafaar bin Sulaimaan dan Prof. Muhammad bin Ahmad terhadap Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 87]. Semisal dengan ini telah dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Ta’rif dari Al-A’masy saat menyebutkan keterangan Habiib bin Abi Tsaabit. Ad-Daaruquthniy juga telah mengisyaratkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar ini dengan perkataannya : “Habiib tidak mendengar hadits ini dari Abul-Hayyaaj. Ia hanyalah mendengar dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah, dari Abul-Hayyaaj, sebagaimana dikatakan oleh Ats-Tsauriy” [Al-‘Ilal, 4/183 – melalui perantaraan Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 185 no. 861]. Semua ini adalah indikasi yang menguatkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar.
Pensifatan tadlis ini juga dikatakan oleh Al-‘Alaaiy, Al-‘Iraaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Maqdisiy, As-Sabth bin ‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy, Al-Halabiy, dan As-Suyuuthiy [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283, Al-Mudallisiin oleh Al-‘Iraaqiy hal. 39-40 no. 7, Asmaaul-Mudalisiin oleh As-Suyuthiy hal. 36 no. 7, dan At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin oleh As-Sabth bin Al-‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy hal. 19-20 no. 10].
Sangat keliru jika menghilangkan sifat tadlis dengan pernyataan bahwa : Habib bin Abi Tsabit lahir pada tahun 46 H sedangkan Zaid bin Arqam wafat pada tahun 68 H. jadi ketika Zaid wafat Habib berumur 22 tahun dan keduanya tinggal di kufah sehingga sangat memungkinkan bagi Habib bin Abi Tsabit bertemu dengan Zaid bin Arqam dan mendengar hadis darinya. Karena yang dimaksud dengan tadlis – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu mushthalah – adalah :
“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang pernah ia dengan haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis-kan tidak pernah ia dengan dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
Oleh karena itu, kemungkinan bertemu atau bahkan bertemu sekalipun tidak dapat menghilangkan sifat tadlis bagi orang-orang berada pada martabat ketiga mudallisiin, jika ia tidak menjelaskan tashriih sima’-nya. Sebenarnya ini sudah sangat ma’ruf.
Jika ada yang mengatakan : “Disebutkan dalam Al Mustadrak no 4576 kalau Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan hadis Tsaqalain dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam. Kami katakan keduanya shahih, Habib meriwayatkan dari Zaid bin Arqam dan Habib meriwayatkan dari Abu Thufail dari Zaid. Zaid bin Arqam dan Abu Thufail keduanya adalah sahabat Nabi. Bisa saja dikatakan bahwa riwayat Habib dari Abu Thufail dari Zaid menunjukkan bahwa Habib melakukan tadlis sehingga ia menghilangkan nama Abu Thufail dan meriwayatkan langsung dari Zaid. Kami katakan perkataan ini hanya bersifat dugaan semata dan jika benar maka tadlis yang dilakukannya tidak bersifat cacat karena nama yang Habib hilangkan adalah nama sahabat Nabi yaitu Abu Thufail sehingga kalau mau dikatakan tadlis maka kedudukan Habib adalah mudallis martabat pertama yaitu yang sedikit melakukan tadlis atau ia melakukan tadlis dari perawi yang tsiqat atau adil. Tadlis yang seperti ini jelas bisa dijadikan hujjah”.
Pernyataan ini justru hanya duga-duga semata. Bagaimana bisa dipastikan bahwa tadlis yang dilakukan Habiib terhadap Zaid bin Arqam adalah pengguguran Abu Thufail ? Justru riwayat sebelumnya (no. 4576) juga kita pertanyakan karena ia membawakan secara ‘an’anah dari periwayatan Abu Thufail, dari Zaid bin Arqam. Sependek pengetahuan saya, yang dapat menggugurkan tadlis dari mudallis level seperti Habiib ini adalah tashrih bis-sima’. Seandainya saja riwayat Habiib dari Abu Thufail ini menggunakan tashrih simaa’, maka saya sepakat bahwa yang digugurkan pada hadits no. 4577 adalah Abu Thufail. Tapi kenyataan kan tidak ? [lihat At-Tatabbu’ oleh Muqbil Al-Wadi’iy, 3/126 no. 4640].
Mari kita baca kembali mushthalah hadits.
Lagi pula, kepastian bertemu tidaknya antara Habiib dengan Abuth-Thufail dan Zaid bin Arqam ini juga dipermasalahkan sebagian ulama. Al-‘Alaa’iy berkata : “’Aliy bin Al-Madiniy berkata : ‘Habiib bin Abi Tsaabit bertemu dengan Ibnu ‘Abbaas, mendengar (riwayat) dari ‘Aaisyah, dan tidak mendengar dari selain keduanya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum’. Telah berkata Abu Zur’ah : ‘Ia tidak mendengar dari Ummu Salamah’. At-Tirmidziy berkata dalam haditsnya yang berasal dari Hakiim bin Hizaam mengenai pembelian hewan kurban : ‘Menurut (pengetahuan)ku, Habiib bin Abi Tsaabit tidak mendengar dari Hakiim bin Hizaam. Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Al-Bukhaariy. Dan yang lainnya bahwasannya Habiib bin Abi Tsaabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah bin Zubair sama sekali” [Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasil, hal. 158-159 no. 117].
Dari perkataan didapat satu pengetahuan bahwa hukum umum riwayat Habiib bin Abi Tsaabit dari para shahabat adalah mursal, kecuali jika ditunjukkan padanya bayyinah akan sima’-nya. Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (2/313 no. 2592) telah menetapkan bahwa Habiib mendengar riwayat dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum.
Sangat dimaklumi jika Syu’aib Al-Arna’uth (Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad, 17/171) menghukumi riwayat Habiib dari Abi Thufail maupun Zaid bin Arqam sebagai riwayat yang munqathi’.
Sebenarnya di sini bahasan di point ini bukan untuk men-dla’if-kan riwayat At-Tirmidziy (no. 3788), karena saya sepakat bahwa riwayat ini adalah hasan lighairihi karena ada penguat dari jalur lain. Hanya saja, saya tidak sepakat dengan metode ‘aneh’ sebagian orang dalam penilaian hadits.
[5] Sanad riwayat ini lemah dikarenakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail. Al-Juzjaaniy berkata : “Dzaahibul-hadiits” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/310 no. 5577]. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Lisaanul-Miizaan, 7/168]. Ia juga dinisbatkan pada tasyayyu’ dan mempunyai hadits-hadits munkar [Al-Kaamil, 7/444]. As-Sa’diy berkata : “Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)” [Adl-Dlu’afaa wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 3/67 no. 3017]. Ibnu Syaahiin berkata : “Dla’iif” [Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 166 no. 566]. Ibnu Hibbaan dengan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad berkata : “Muqaaribul-hadiits” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/267 no. 2335]. Ad-Daaruquthniy mengatakan : “Bisa dijadikan i’tibar” [Suaalaat Al-Barqaaniy, no. 539].
Ada yang mengatakan : Muhammad bin Salamah bin Kuhail diikuti oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail sebagaimana disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan sanad dari Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Yusuf bin Musa dari Ubaidillah bin Musa dari Yahya bin Salamah bin Kuhail dari ayahnya dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 143]. Para perawinya tsiqah kecuali Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang matruk sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar [At Taqrib 2/304].
Perkataan tersebut adalah benar bahwa Ibnu Hajar telah mengatakannya dalam At-Taqriib. Perawi matruk tidak bisa dijadikan sebagai penguat.
Ada yang mengatakan :
“Muhammad bin Salamah juga memiliki mutaba’ah dari Syu’aib bin Khalid yang juga disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan jalan sanad dari Abu Bakar Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Muhammad bin Humaid dari Harun bin Mughirah dari Amr bin Abi Qais dari Syu’aib bin Khalid dari Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 142]. Hadis ini para perawinya tsiqat kecuali Muhammad bin Humaid, ia seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in, Muhammad bin Yahya Adz Dzahiliy, Ahmad, dan Ja’far bin Abi Utsman Ath Thayalisi telah menta’dilkannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat”. Ia didustakan oleh Shalih bin Muhammad, Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy. Yaqub bin Syaibah berkata “banyak meriwayatkan hadis munkar” [At Tahdzib juz 9 no 181]. Ibnu Hajar berkata “seorang hafizh yang dhaif” [At Taqrib 2/69]”.
Saya berkata :
Tentang Muhammad bin Humaid ini; Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. ‘Abdurrahmaan bin Yuusuf bin Khiraasy dan jama’ah ahli-hadits negeri Ray saat disebut Muhammad bin Humaid, maka mereka sepakat bahwa ia sangat lemah dalam haditsnya [Taariikh Baghdaad, 2/261]. Ibnu Khiraasy sendiri mendustakannya [idem, 2/263]. Sudah menjadi pengetahuan bahwa jarh penduduk yang satu negeri dengan perawi lebih kuat, karena mereka lebih mengetahui keadaan negerinya sendiri dibandingkan yang lain. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diperselisihkan” [Suaalaat As-Sulamiy no. 287]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Ahmad memujinya bahwa negeri Ray akan tetap diliputi ilmu selama Muhammad bin Humaid hidup. Namun ia pujiannya ini dikritik oleh Ibnu Khuzaimah bahwasannya dalam hal ini Ahmad tidak mengetahui perihal Ibnu Humaid. Seandainya ia mengetahui sebagaimana yang diketahui Ibnu Khuzaimah, niscaya ia tidak akan memujinya [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/255-256 no. 2311]. Ibnu Hibbaan menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya” [Al-Majruuhiin, 2/321]. Inilah pendapat terakhir Ahmad (yaitu menyepakati jarh Abu Zur’ah dan Ibnu Waraah). Ibnu Ma’iin dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tsiqah-kannya.
Perkataan yang tepat tentang diri Muhammad bin Humaid adalah ia perawi yang sangat lemah. Ia dikritik dari ulama baik dari segi hapalannya maupun ‘adalah-nya.
Kedua mutaba’ah di atas tidak bisa dipakai sebagai mutaba’ah.
Dikatakan :
Secara keseluruhan riwayat Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam kedudukannya hasan lighairihi karena riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail dikuatkan oleh riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam serta riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Riwayat Abu Dluhaa adalah shahih, namun riwayat yang ia bawakan berbeda dengan riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail, bahkan lebih ringkas. Adapun riwayat Habiib bin Abi Tsaabit, ia hasan, namun lafadhnya juga berbeda dengan yang dibawakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
Oleh karena itu, lafadh yang dipertimbangkan di sini bukan dari sisi lafadh yang dibawakan oleh Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
[6] Sanad riwayat ini hasan. Katsiir bin Zaid, ia adalah Al-Aslamiy As-Sahmiy, Abu Muhammad Al-Madiniy. Para ulama telah berselisih pendapat mengenainya. Yang raajih, ia adalah perawi yang hasan haditsnya selama tidak ada penyelisihan.
Catatan :
Sangat berlebihan sebagian orang yang menyatakan ke-tsiqah-an Katsiir bin Zaid ini secara mutlak sehingga menghukumi haditsnya adalah shahih. Para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (dlabth), diantaranya :
Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak kuat (laisa bi-dzaakal-qawiy)” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/151; sanad riwayat ini shahih]. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat, namun ditulis haditsnya” [idem]. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq, padanya ada kelemahan (layyin)” [idem]. Telah lewat penjelasan tentang makna layyin.
Adapun ulama yang mendla’ifkannya secara umum adalah An-Nasaa’iy dan Ath-Thabariy.
Jarh yang diberikan adalah jenis mufassar. Jenis jarh seperti ini bukanlah jenis jarh yang patut diabaikan. Ada tambahan keterangan – selain dari ulama yang memberikan tautsiq kepadanya – bahwa padanya ada kelemahan dalam masalah hapalan.
Bagaimana bisa dikatakan jarh-jarh tersebut tidak memberikan mudlarat sama sekali sehingga ia dianggap tsiqah secara mutlak layaknya perawi yang tanpa jarh ? Aneh.
Oleh karena itu Ibnu Hajar telah tepat memberikan komentar kepadanya : ‘Shaduuq yukhthi’ (jujur, namun kadang keliru)”. Artinya, haditsnya hasan selama tidak ada penyelisihan.
[7] Lengkapnya sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسماعيل المدني عن جعفر بن محمد عن أبيه قال دخلنا على جابر بن عبد الله فسأل عن القوم حتى انتهى إلي فقلت أنا محمد بن علي بن حسين فأهوى بيده إلى رأسي فنزع زري الأعلى ثم نزع زري الأسفل ثم وضع كفه بين ثديي وأنا يومئذ غلام شاب فقال مرحبا بك يا بن أخي سل عما شئت فسألته وهو أعمى وحضر وقت الصلاة فقام في نساجة ملتحفا بها كلما وضعها علي منكبه رجع طرفاها إليه من صغرها ورداؤه إلى جنبه على المشجب فصلى بنا فقلت أخبرني عن حجة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بيده فعقد تسعا فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مكث تسع سنين لم يحج ثم أذن في الناس في العاشرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حاج فقدم المدينة بشر كثير كلهم يلتمس أن يأتم برسول الله صلى الله عليه وسلم ويعمل مثل عمله فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم كيف أصنع قال اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي فصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد ثم ركب القصواء حتى إذا استوت به ناقته على البيداء نظرت إلى مد بصري بين يديه من راكب وماش وعن يمينه مثل ذلك وعن يساره مثل ذلك ومن خلفه مثل ذلك ورسول الله صلى الله عليه وسلم بين أظهرنا وعليه ينزل القرآن وهو يعرف تأويله وما عمل به من شيء عملنا به فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك وأهل الناس بهذا الذي يهلون به فلم يرد رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهم شيئا منه ولزم رسول الله صلى الله عليه وسلم تلبيته قال جابر رضى الله تعالى عنه لسنا ننوي إلا الحج لسنا نعرف العمرة حتى إذا أتينا البيت معه استلم الركن فرمل ثلاثا ومشى أربعا ثم نفذ إلى مقام إبراهيم عليه السلام فقرأ { واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى } فجعل المقام بينه وبين البيت فكان أبي يقول ولا أعلمه ذكره إلا عن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين قل هو الله أحد وقل يا أيها الكافرون ثم رجع إلى الركن فاستلمه ثم خرج من الباب إلى الصفا فلما دنا من الصفا قرأ { إن الصفا والمروة من شعائر الله } أبدأ بما بدأ الله به فبدأ بالصفا فرقي عليه حتى رأى البيت فاستقبل القبلة فوحد الله وكبره وقال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا إله إلا الله وحده أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده ثم دعا بين ذلك قال مثل هذا ثلاث مرات ثم نزل إلى المروة حتى إذا انصبت قدماه في بطن الوادي سعى حتى إذا صعدتا مشى حتى أتى المروة ففعل على المروة كما فعل على الصفا حتى إذا كان آخر طوافه على المروة فقال لو أني استقبلت من أمري ما استدبرت لم أسق الهدي وجعلتها عمرة فمن كان منكم ليس معه هدي فليحل وليجعلها عمرة فقام سراقة بن مالك بن جعشم فقال يا رسول الله ألعامنا هذا أم لأبد فشبك رسول الله صلى الله عليه وسلم أصابعه واحدة في الأخرى وقال دخلت العمرة في الحج مرتين لا بل لأبد أبد وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت ماذا قلت حين فرضت الحج قال قلت اللهم إني أهل بما أهل به رسولك قال فإن معي الهدي فلا تحل قال فكان جماعة الهدي الذي قدم به علي من اليمن والذي أتى به النبي صلى الله عليه وسلم مائة قال فحل الناس كلهم وقصروا إلا النبي صلى الله عليه وسلم ومن كان معه هدي فلما كان يوم التروية توجهوا إلى منى فأهلوا بالحج وركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بها الظهر والعصر والمغرب والعشاء والفجر ثم مكث قليلا حتى طلعت الشمس وأمر بقبة من شعر تضرب له بنمرة فسار رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا تشك قريش إلا أنه واقف عند المشعر الحرام كما كانت قريش تصنع في الجاهلية فأجاز رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس وقال إن دماءكم وأموالكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع ودماء الجاهلية موضوعة وإن أول دم أضع من دمائنا دم بن ربيعة بن الحارث كان مسترضعا في بني سعد فقتلته هذيل وربا الجاهلية موضوع وأول ربا أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب فإنه موضوع كله فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات ثم أذن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى الموقف فجعل بطن ناقته القصواء إلى الصخرات وجعل حبل المشاة بين يديه واستقبل القبلة فلم يزل واقفا حتى غربت الشمس وذهبت الصفرة قليلا حتى غاب القرص وأردف أسامة خلفه ودفع رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد شنق للقصواء الزمام حتى إن رأسها ليصيب مورك رحله ويقول بيده اليمني أيها الناس السكينة السكينة كلما أتى حبلا من الحبال أرخى لها قليلا حتى تصعد حتى أتى المزدلفة فصلى بها المغرب والعشاء بأذان واحد وإقامتين ولم يسبح بينهما شيئا ثم اضطجع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى طلع الفجر وصلى الفجر حين تبين له الصبح بأذان وإقامة ثم ركب القصواء حتى أتى المشعر الحرام فاستقبل القبلة فدعاه وكبره وهلله ووحده فلم يزل واقفا حتى أسفر جدا فدفع قبل أن تطلع الشمس وأردف الفضل بن عباس وكان رجلا حسن الشعر أبيض وسيما فلما دفع رسول الله صلى الله عليه وسلم مرت به ظعن يجرين فطفق الفضل ينظر إليهن فوضع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده على وجه الفضل فحول الفضل وجهه إلى الشق الآخر ينظر فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم يده من الشق الآخر على وجه الفضل يصرف وجهه من الشق الآخر ينظر حتى أتى بطن محسر فحرك قليلا ثم سلك الطريق الوسطى التي تخرج على الجمرة الكبرى حتى أتى الجمرة التي عند الشجرة فرماها بسبع حصيات يكبر مع كل حصاة منها حصى الحذف رمى من بطن الوادي ثم انصرف إلى المنحر فنحر ثلاثا وستين بيده ثم أعطى عليا فنحر ما غبر وأشركه في هديه ثم أمر من كل بدنة ببضعة فجعلت في قدر فطبخت فأكلا من لحمها وشربا من مرقها ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فأفاض إلى البيت فصلى بمكة الظهر فأتى بني عبد المطلب يسقون على زمزم فقال انزعوا بني عبد المطلب فلولا أن يغلبكم الناس على سقايتكم لنزعت معكم فناولوه دلوا فشرب منه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaaq bin Ibraahiim, keduanya dari Haatim ia berkata, – Abu Bakr berkata – : Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil Al-Madaniy, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : Kami datang ke rumah Jaabir bin Abdillah, lalu ia menanyai kami satu persatu, siapa nama kami masing-masing. Sampai giliranku, kusebutkan namaku Muhammad bin ‘Aliy bin Husain. Lalu dibukanya kancing bajuku yang atas dan yang bawah. Kemudian diletakkannya telapak tangannya antara kedua susuku. Ketika itu, aku masih muda belia. Lalu dia berkata, “Selamat datang wahai anak saudaraku, tanyakanlah apa yang hendak kamu tanyakan.” Maka aku pun bertanya kepadanya. Dia telah buta. Ketika waktu shalat tiba, dia berdiri di atas sehelai sajadah yang selalu dibawanya. Tiap kali sajadah itu diletakkannya ke bahunya, pinggirnya selalu lekat padanya karena kecilnya sajadah itu. Aku bertanya kepadanya : “Terangkanlah kepadaku bagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah haji.” Lalu ia bicara dengan isyarat tangannya sambil memegang sembilan anak jarinya. Ia berkata : “Sembilan tahun lamanya beliau menetap di Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa tahun kesepuluh beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu kami berangkat bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asmaa` binti ‘Umais melahirkan puteranya, Muhammad bin Abi Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka beliau pun bersabda : “Mandi dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali.” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at di masjid Dzulhulaifah, kemudian beliau naiki untanya yang bernama Qashwa. Setelah sampai di Baida`, kulihat sekelilingku, alangkah banyaknya orang yang mengiringi beliau, yang berkendaraan dan yang berjalan kaki, di kanan-kiri dan di belakang beliau. Ketika itu turun Al Quran (wahyu), dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerti maksudnya, yaitu sebagaimana petunjuk amal yang harus kami amalkan. Lalu beliau teriakan bacaan talbiyah: “LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIKA LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNALHAMDA WAN NI’MATA LAKA WALMULKU LAA SYARIIKA LAKA (Aku patuhi perintah-Mu ya Allah, aku patuhi, aku patuhi. Tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu; sesungguhnya puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu).” Maka talbiyah pula orang banyak seperti talbiyah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka membacanya, bahkan senantiasa membaca terus-menerus. Niat kami hanya untuk mengerjakan haji, dan kami belum mengenal umrah. Setelah sampai di Baitullah, beliau cium salah satu sudutnya (Hajar Aswad), kemudian beliau thawaf, lari-lari kecil tiga kali dan berjalan biasa empat kali. Kemudian beliau terus menuju ke Maqam. Ibrahim ‘Alais Salam, lalu beliau baca ayat: “Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat…” (Al Baqarah: 125). Lalu ditempatkannya maqam itu diantaranya dengan Baitullah. Sementara itu ayahku berkata bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam shalatnya : “QUL HUWALLAHU AHAD…” (Al Ikhlas: 1-4). Dan: “QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN..” (Al Kafirun: 1-6). Kemudian beliau kembali ke sudut Bait (hajar Aswad) lalu diciumnya pula. Kemudian melalui pintu, beliau pergi ke Shafa. Setelah dekat ke bukit Shafa beliau membaca ayat: “Sesungguhnya Sa’i antara Shafa dan Marwah termasuk lambang-lambang kebesaran Agama Allah…” (Al Baqarah: 1589). Kemudian mulailah dia melaksanakan perintah Allah. Maka dinaikinya bukit Shafa. Setelah kelihatan Baitullah, lalu beliau menghadap ke kiblat seraya mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Dan beliau membaca: “LAA ILAAHA ILAALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU ANJAZA WA’DAHU WANASHARA ‘ABDAHU WAHAZAMAL AHZABA WAHDAH (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kerajaan dan segala puji, sedangkan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, Yang Maha Menepati janji-Nya dan menolong hamba-hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendiri-Nya).” Kemudian beliau berdo’a. Ucapan tahlil itu diulanginya sampai tiga kali. Kemudian beliau turun di Marwa. Ketika sampai di lembah, beliau berlari-lari kecil. Dan sesudah itu, beliau menuju bukit Marwa sambil berjalan kembali. setelah sampai di bukit Marwa, beliau berbuat apa yang diperbuatnya di bukit Shafa. Tatkala beliau mengakhiri sa’i-nya di bukit Marwa, beliau berujar: “Kalau aku belum lakukan apa yang telah kuperbuat, niscaya aku tidak membawa hadya dan menjadikannya umrah.” Lalu Suraqah bin Malik bin Ju’tsyum, “Ya, Rasulullah! Apakah untuk tahun ini saja ataukah untuk selama-lamanya?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperpanjangkan jari-jari tangannya yang lain seraya bersabda : “Memasukkan umrah ke dalam haji. Memasukkan umrah ke dalam haji, tidak! Bahkan untuk selama-lamanya”. Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : “Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini”. ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : “Fathimah benar.” Kemudian beliau bertanya : “Apa yang kamu baca ketika hendak menunaikan haji?”. ‘Aliy berkata : Aku menjawab : “Ya Allah, aku aku niat menunaikan ibadah haji seperti yang dicontohkan oleh Rasul-Mu.” Kemudian ‘Aliy bertanya : “Tetapi aku membawa hewan kurban, bagaimana itu?”. Beliau menjawab : “Kamu jangan tahallul”. Ja’far berkata : “Jumlah hadyu yang dibawa ‘Aliy dari Yaman dan yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada seratus ekor. Para jama’ah telah tahallul dan bercukur semuanya, melainkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang membawa hadyu beserta beliau. Ketika hari Tarwiyah (delapan Dzulhijjah) tiba, mereka berangkat menuju Mina untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunggang kendaraannya. Di sana beliau shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian beliau menanti sebentar hingga terbit matahari; sementara itu beliau menyuruh orang lebih dahulu ke Namirah untuk mendirikan kemah di sana. Sedangkan Orang Quraisy mengira bahwa beliau tentu akan berhenti di Masy’aril Haram (sebuah bukit di Muzdalifah) sebagaimana biasanya orang-orang jahililiyah. Tetapi ternyata beliau terus saja menuju ‘Arafah. Sampai ke Namirah, didapatinya tenda-tenda telah didirikan orang. Lalu beliau berhenti untuk istirahat di situ. Ketika matahari telah condong, beliau menaiki untanya meneruskan. Sampai di tengah-tengah lembah beliau berkhutbah : “Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi’ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa’ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?”. Mereka menjawab : “Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar telah menyampaikan risalah, engkau telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami”. Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak : “Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah”. Sesudah itu, beliau adzan kemudian iqamat, lalu shalat Zhuhur. Lalu iqamat lagi dan shalat Ashar tanpa shalat sunnah antara keduanya. Setelah itu, beliau meneruskan perjalanan menuju tempat wukuf. Sampai di sana, dihentikannya unta Qashwa di tempat berbatu-batu dan orang-orang yang berjalan kaki berada di hadapannya. Beliau menghadap ke kiblat, dan senantiasa wukuf sampai matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau teruskan pula perjalanan dengan membonceng Usamah di belakangnya, sedang beliau sendiri memegang kendali. Beliau tarik tali kekang Unta Qashwa, hingga kepalanya hampir menyentuh bantal pelana. Beliau bersabda dengan isyarat tangannya : “Saudara-saudara, tenanglah, tenanglah”. Setiap beliau sampai di bukit, beliau dikendorkannya tali unta sedikit, untuk memudahkannya mendaki. Sampai di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan Isya`dengan satu kali adzan dan dua qamat tanpa shalat sunnah antara keduanya. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar. Setelah tiba waktu Shubuh, beliau shalat Shubuh dengan satu adzan dan satu iqamat. Kemudian beliau tunggangi pula unta Qashwa meneruskan perjalanan sampai ke Masy’aril Haram. Sampai di sana beliau menghadap ke kiblat, berdo’a, takbir, tahlil dan membaca kaliamat tauhid. Beliau wukuf di sana hingga langit kekuning-kuningan dan berangkat sebelum matahari terbit sambil membonceng Fadhl bin Abbas. Fadhl adalah seorang laki-laki berambut indah dan berwajah putih. Ketika beliau berangkat, berangkat pulalah orang-orang besertanya. Fadhl menengok pada mereka, lalu mukanya ditutup oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya. Tetapi Fadlal menoleh ke arah lain untuk melihat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menutup pula mukanya dengan tangan lain, sehingga Fadhl mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sampai di tengah lembah Muhassir, dipercepatnya untanya melalui jalan tengah yang langsung menembus ke Jumratul Kubra. Sampai di Jumrah yang dekat dengan sebatang pohon, beliau melempar dengan tujuh buah batu kerikil sambil membaca takbir pada setiap lemparan. Kemudian beliau terus ke tempat penyembelihan kurban. Di sana beliau menyembelih enam puluh tiga hewan kurban dengan tangannya dan sisanya diserahkannya kepada Ali untuk menyembelihnya, yaitu hewan kurban bersama-sama dengan anggota jama’ah yang lain. Kemudian beliau suruh ambil dari setiap hewan kurban itu sepotong kecil, lalu disuruhnya masak dan kemudian beliau makan dagingnya serta beliau minum kuahnya. Sesudah itu, beliau naiki kendaraan beliau menuju ke Baitullah untuk tawaf. Beliau shalat Zhuhur di Makkah. Sesudah itu, beliau datangi Bani Abdul Muthalib yang sedang menimba sumur zamzam. Beliau bersabda kepada mereka : “Wahai Bani Abdul Muthalib, berilah kami minum. Kalaulah orang banyak tidak akan salah tangkap, tentu akan kutolong kamu menimba bersama-sama“. Lalu mereka timbakan seember, dan beliau pun minum daripadanya” [selesai].
[8] Dan sesuai pula dengan riwayat ringkas Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عفان حدثنا حسان بن إبراهيم عن سعيد بن مسروق عن يزيد بن حيان عن زيد بن أرقم قال دخلنا عليه فقلنا له لقد رأيت خيرا صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم وصليت خلفه فقال نعم وإنه صلى الله عليه وسلم خطبنا فقال إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam. Yaziid berkata : Kami masuk menemuinya (Zaid) dan berkata : “Sungguh engkau telah melihat kebaikan, telah bershahabat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan juga telah shalat di belakang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia menjawab : Ya, benar. Sesungguhnya beliau pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda : ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; sanad hadits ini hasan].
Sesuai pula dengan riwayat ringkas dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الحميد بن جعفر عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي شريح الخزاعي قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبشروا وأبشروا أليس تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله قالوا نعم قال فإن هذا القرآن سبب طرفه بيد الله وطرفه بأيديكم فتمسكوا به فإنكم لن تضلوا ولن تهلكوا بعده أبدا
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bersabda : “Berilah kabar gembira, berilah kabar gembira. Bukankah kalian bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya aku adalah utusan Allah ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali yang salah satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujung yang lain di tangan kalian. Berpegang-teguhlah kalian dengannya, karena kalian tidak akan tersesat dan binasa selamanya sepeninggalku nanti (jika kalian melaksanakannya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 122. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 10/481; sanadnya hasan sesuai dengan persyaratan Muslim].
Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq, sedangkan menurut Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy majhuul. Namun perkataan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy ini tidak memudlaratkan karena tautsiq Abu Haatim mengangkat status kemajhulannya. Ibnu Abi Syaibah, seorang imam masyhur. Abu Khaalid Al-Ahmar, ia perawi dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya; sedikit dipermasalahkan dalam hapalannya, namun tidak turun dari derajat hasan. ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia seorang perawi yang dipakai Muslim dalam Shahih-nya. Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy adalah perawi yang dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[9] Riwayat yang menggunakan kata ‘bihimaa’ (بهما) adalah lemah.
[10] Ada lagi yang mengatakan :
Seandainyapun kita diharuskan mentarjih salah satu riwayat maka riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam lebih didahulukan dibanding riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid dengan alasan
a. Abu Dhuha lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan. Abu Dhuha atau Muslim bin Shubaih telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Al Ijli [At Tahdzib juz 10 no 237]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat fadhl” [At Taqrib 2/179]. Sedangkan Yazid bin Hayyan dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban saja [At Tahdzib juz 11 no 520]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/323]
b. Riwayat Abu Dhuha dari Zaid telah dikuatkan oleh riwayat Jabir, Abu Sa’id dan Imam Ali seperti yang telah kami bahas di atas.
Permasalahan di sini bukan masalah tarjih sanad. Sudah jelas bahwa Yaziid bin Hayyaan adalah tsiqah dan haditsnya shahih dengan kesepakatan para ulama. Ditambah lagi, tidak ada ta’arudl antara hadits Yaziid dan Abudl-Dluhaa. Maka, tidak nyambung jika bergegas pergi ke tarjih sanad.
Haditsnya satu, yang satu lafadhnya lebih lengkap, yang lain lebih ringkas. Mana di antara keduanya yang dilalah hukumnya lebih jelas. Jika sedang bicara dilalah hukum, maka yang dilihat adalah matan haditsnya, bukan lagi sanadnya.
Anggapan bahwa riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid itu dikuatkan oleh riwayat Jaabir, Abu Sa’iid, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum, maka ini sebatas sanad saja. Itupun tidak tepat-tepat betul. Adapun riwayat Jaabir, yang shahih darinya hanyalah perintah untuk berpegang pada Kitabullah – sebagaimana riwayat Muslim. Justru ini menguatkan dilalah hukum dari hadits Yaziid bin Hayyaan.
No comments:
Post a Comment