1. Benarkah kuota haji diatur oleh kerajaan saudi arabiyah, adakah koalisi permanen dengan amerika?
kuata haji itu ditetapkan oleh OIC (Organization of Islamic Cooperation). Organisasi ini beranggotakan 58 negara mayoritas berpenduduk muslim dengan rasio 1000 : 1. Hal itu dilakukan demi kenyamanan, kesehatan, keamanan, ketertiban dan ketenangan para jamaah haji dari seluruh dunia dalam melaksanakan ibadah hajinya. 2, tidak ada itu kualisi permanen antara Saudi dan Amerika dan tidak ada orang-orang kafir menginjak-injak tanah suci.
2, Apakah wahabi?
Wahabi adalah suatu gerakan sempalan muslim di Afrika Utara yang menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji serta menyebarkan bid'ah, khurafat dan tahyyul. Pimpinannya bernama Abdul Wahab bin Abdirrahman bin Rustum Ak-Khorij Al-Abadhi.
Para Ulama Andalus berfatwa agar masjid2 yg dibangun oleh kelompok di dimusnahkan dan dikategorikan murtad. Kelompok ini muncul di tahun 914 H atau ratusan tahun sebelum lahirnya pembaharu Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Najd yg berjuang memulihkan kembali ajaran Islam ke sumber aslinya (Al-Quran dan Hadist), bermazhab Sunni.
Kemudian Para penjajah salibi, Inggeris khususnya memakai tema wahabi untuk dinisbahkan kepada para ulama India yg menentang penjajahan Inggeris dengan maksud memecah persatuan kaum muslimin di negeri itu.
Karena para ulama India ini adakan perlawanan terhadap penjajah Inggeris atas pengaruh dari ajaran pembaharu Syeikh Muhamamd bin Abdul Wahab dari Najd. Inggeris juga memelihara/menyuburkan gerakan Ahmadiah dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai cakilnya. Dikampanyekan bahwa para ulama India adalah 'wahabi' yg bermazhab sendiri dan bukan dari kelompok sunni. Sehingga muncullah dikotomi wahabi bukan sunni. Ulah penjajah inggeris ini dijadikan pula sebagai bahan sebagian ulama muslim yg merasa dirugikan oleh para da'i dari gerakan pembaharuan nilai Islam tersebut.
Dikatakan bahwa 'wahabi' menghancurkan situs2 Islam seperti menghancurkan kuburan2 di Ma'la dan di Baqi', Uhud, Badr dll. Yg dihancurkan itu bukan kuburannya tetapi bangunan2/gedung2 serta dupa2 yg dibangun dan dipasang di kuburan2 para keluarga dan para sahabat Nabi. Bangunan2 diatas kuburan para keluarga dan sahabat Nabi tersebut dianggap sebagai situs2 Islam oleh orang2 yg merasa dirugikan baik secara ekonomi maupun pengaruh oleh gerakan pembaharu tersebut. Jadi 'wahabi' yg dinisbahkan kepada para ulama Saudi Arabia itu pastinya tidak ada.
Kalau ditanyakan kepada Syeikh Sudais, Syeikh Surayyim atau Syeikh Al-Qarni apakah mereka orang wahabi? Mereka akan bingung dan akan kembali bertanya apa itu wahabi?
Wahabi ternyata tidak saja dibnisbahkan kepada para ulama di Saudi Arabia tetapi juga kepada setiap muslim yg berusaha menjalankan Islam secara maksimal sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabinya. Jangan heran nanti akan ada terma wahabi Katholik yg dinisnahkan kepada orang2 katholik yg berusaha berusaha semaksimal mungkin melaksanakan agamanya sesuai dengan ajaran Injilnya.
Yang saya herankan adalah masih ada dari kalangan terpelajar muslim masih tidak tau kalau terma 'wahabi' itu adalah suatu istilah yg dibuat oleh eks penjajah negara2 muslim. Para penjajah itu sendiri sudah lupa dengan 'temuan' wahabi mereka, sementara para terpelajar muslim masih gencar memakai istilah ini dengan leluasa tanpa ilmu pengetahuan/taqlid a'ma. Rata2 penggunaan istilah 'wahabi' ini dikutip dari sumber2 barat seperti wikipedia dan yg seumpama dengannya.
3, Benarkah wahabi menghancurkan penginggalan bersejarah di Mekkah, seperti rumah Nabi saw?
Mengenai situs2 yg katanya dimusnahkan oleh para pengikut 'wahabi' bisa di baca di buku "Al-Quburiyat...nasyatuha..wa muqifu al-ulama 'anha....Al-Yaman namuzaj...
4, Apa pandangan anda ttg perjanjian King Abdul aziz dengan Roosevelt?
Perjanjian antara Abdul Aziz dan Roosevelt adalah perjanjian kerjasama militer. Perjanjian tersebut tetap dipertahankan selama salah satu pihak tidak melanggar/membatalkan isinya/merugikan pihak lain (Al-Taubah 4). Tidak menjadi masalah. Kita boleh saja mengadakan perjanjian dengan siapa saja baik kafir atau bukan. Dan memelihara isi perjanjian tersebut adalah juga taqwaan. Muslim ada yg 'ashi, yg muznib ada yg khata', ada yg zani, ada yg mubdi'.
Semua itu kewajiban kita untuk memperbaikinya. Hanya saja, tidak boleh kita katakan bahwa apabila ada saudara muslim kita menegur kita karena suatu perbuatan bid'ah dalam ibadah yg kita kerjakan secara turun temurun, kita katakan dia sok suci dan sok mau masuk surga sendiri tanpa lebih dahulu memahami apa yg dia sampaikan. Kalau benar2 apa yg disampaikannya itu tidak ada tuntunan dari Al-Quran maupun Sunnah Nabi ya tinggalkan. Tapi kalau memang dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah nabi mengapa tidak kita dengarkan dengan baik.
5. Adakah orang yang beribadah mengikut qur an dikatakan bid'ah,bagaimana memanggil Nabi saw?
Tidak ada yg berkata begitu. Para ulama Saudi biasa menggunakan ungkapapan sayyidina wa syafi'ina dalam khutbah jum'at mereka. "Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian" Yang saya beri tanda kutip itu adalah tulisan akhi A. Zainuddin Fajri. Boleh tanya hadist atau ayat Al-Quran itu. Kalau hadist siapa rawinya kalau AL-Quran surah apa dan ayat berapa?
6, Benarkah pengikut ali ra tidak masuk syurga?
Syeikh Aidh Al-Qarni (Penulis buka 'La Tahzan') pernah meminta ulama Syi'ah untuk berdiskusi terbuka di TV tentang ahlul bait. Diskusi hanya berjalan 1 episode setelah itu ulama Syi'ah mengundurkan diri karena argumen2 yg dipakai ulama Syiah bertentangan dengan dalil2 syar'i dan sejarah perihal ahlul bait. Saya tidak pernah mendengar dalam diskusi para ulama terkemuka yang mengultimatum bahwa pengikut Ali r.a. tidak boleh masuk surga.
Mereka adalah para al-rasikhuna fil ilmi yg sangat takut untuk menfonis apalagi menentukan seseorang masuk surga atau tidak. Karena surga dan neraka adalah hak prerogatif ALLAH. Tetapi bisa saja seseorang mengatakan si fulan masuk neraka atas dasar dail naqli yg menyatakan seperti itu. Seperti : "Inallaziina la yarjuna liqaana wa radhuu bil hayatiddunya wa ithmaannuu biha wallaziinahum 'an ayatina ghofilun. Ulaika makwahum al-naru bima kanuu yaksibun" (Yunus 7-8).
7, Apakah makna ayat : : “Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).?
artinya janganlah kalian memanggil Rasulullah saw seperti kalian memanggil sesama kalian itu terjadi sewaktu diantara para sahabat ada yg memanggil Rasulullah dari luar rumah Beliau dengan berteriak-teriak : "Hei Muhammad, hei Muhammad' atau yg seumpama dengan itu, mereka memanggil namanya. Itu tidak sopan sehingga datanglah teguran itu dalam Al-nur 63. Dalam tafsir Ibnu Kathir dijelaskan sebaiknya mereka memanggil Rasulullah saw dengan Ya Nabiyullah atau Ya Rasulullah.
Hal tidak ada yang mempersoalkan. Menganai qunut dan tidak qunut tidak ada yg mempersoalkan. Demikian juga dengan sholat taraweh 23 rakaat. Sama saja dengan kalau sholat kobliah atau ba'diah mau berapa rakaatpun tidak ada yg mempersoalkan. Karena memang sholat taraweh, qabliah dan da'diyah memang ada. Siapa bilang yg baca qunut tidak masuk surga. Di seluruh Saudi doa qunut itu sudah dibaca sejak awal ramadhan sampai akhir Ramadhan. Bahkan pernah dibaca saat sholat dhuhur, maghrib, isya dan ashar sewaktu diperlukan saat sebagian kaum muslimin di belahan dunia ini mengalami musibah besar.
Kalau masih juga beranggapan bahwa para ulama Saudi termasuk para imam Masjidil Haran dan Masjid Nabawi adalah wahabi - kendati terma itu tidak benar - tetap saja yg beranggapan bahwa mereka tidak baca qunut itu salah besar. Apa lagi beranggapan bahwa mereka bukan ahli sunnah wal jamaah - lebih besar lagi salahnya. Jadi....salah besar kalau menisbahkan terma 'wahabi' yg mubham itu kepada para ulama Saudi yg dengan hati2 sekali menjaga nilai-nilai Islam berdasar Al-Quran dan Sunnah Rasul ALLAH saw.
Para ulama Saudi sering adakan sholat istisqo' dan sholat gerhana. Karena mereka memang ahlu sunnah wal jamaah. Bukan kerena mereka 'wahabi' yg sekali lagi mubham itu.
8, Bagaimana status cerita dibawah ini ?
Al-Imam al-Hafiz Sheikh ‘Imaduddin Ibnu Kathir Telah menyebut suatu jemaah di antara mereka ialah Sheikh Abu Mansur al-Sobbagh di dalam kitabnya al-Syamil tentang hikayat yang masyhur mengenai ‘Utbi, yang menceritakan: “Ketika aku sedang duduk di sisi makam Nabi, datang seorang Arab Dusun lalu mengucapkan salam sejahtera ke atasmu, wahai Rasulullah. Aku telah mendengar Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Seandainya mereka telah menganiaya diri mereka (membuat dosa), lalu mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) dan memohon keampunan kepada Allah dan Rasul juga memohon keampunan bagi mereka, nescaya mereka akan mendapati Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani“. (al-Nisaa’: 64)
“Sesungguhnya aku datang kepadamu kerana memohon keampunan daripada segala dosaku, dan mengharapkan syafaatmu kepada Tuhanku.”
Setelah itu, Arab Dusun tersebut mendendangkan beberapa bait syair:
“Wahai penghuni kuburan yang tulang-belulangnya di tanah yang suci ini, kerana kandungannya yang baik, tanah dan bukitnya juga dipuji.
“Jiwaku sedia berkorban terhadap orang yang mendiami kuburan ini, yang bersifat bersih diri, murah hati lagi dihormati”.
Kemudian orang Arab Dusun itu pergi dari situ. Peristiwa tersebut terbawa-bawa dalam tidurku. Lalu aku bermimpi melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Wahai ‘Utbi! Pergi dapatkan lelaki itu dan sampaikan berita gembira kepadanya, bahawa Allah telah mengampunkan dosanya.”
Siapa lagi yang menukil kisah ini :
Imam Nawawi di dalam kitabnya yang dikenali dengan al-Idhah (ms. 498).
asy-Syaikh as-Samhudi al-Madani didalam Khulasoh al-Wafa bi Akhbaril Mustofa,
Imam Ibn ‘Asaakir didalam Tarikhnya,
Imam an-Nawawi didalam al-Adzkar dan al-Idhoh fi Manaasikil Hajj wal Umrah,
Imam Taqiyuddin as-Subki di dalam Syifa-us-Saqam,
Syeikh Abu Mansur al-Sabbagh, di dalam kitabnya asy-Syamil,
Syaikh Abu Muhammad Ibn Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni,
Syeikh Abu al-Faraj bin Quddamah dalam Syarh al-Kabir,
Syaikh Mansur bin Yunus al-Buti di dalam kitab Kasysyaf al-Qina,
Imam al-Qurthubi di dalam Tafsirnya,
Syaikh Yusuf an-Nabhani didalam Syawahidul Haq fil Istighosah bi Sayyidil Khalaq, al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-Iman
Semua ulama di atas adalah ulama yang tidak perlu diragukan lagi kapasitasnya, mereka telah menjelaskan kepada kita bahwa berziarah dan bertawasul di makam Rasulullah benar adanya.
Silahkan periksa pula tafsir Ibnu Katsir yang umumnya dipunyai oleh mereka yang mengaku bermanhaj Salaf yakni ketika beliau menafsirkan (QS an-Nisaa’ [4]: 64).
jawaban:
Sebagian besar khatib, pemberi wejangan, dan tukang cerita terpedaya dengan keberadaan kisah semacam ini di beberapa kitab tafsir dan beranggapan kisah tersebut shahih. Mereka pun menceritakan kisah ini kepada orang-orang awam yang tidak mengetahui ilmu hadits dan menyebutkan bahwa kisah tersebut diriwayatkan oleh Al Qurthubi atau Ibnu Katsir dalam tafsir mereka, sehingga orang-orang tersebut meyakini kebenarannya dan kisah itu pun tersebar luas.
Imam Ibnu Katsir telah memaparkan kisah ini dan mendiamkannya sembari menjelaskan sumber riwayat tersebut, sebagaimana tindakan beliau yang memaparkan dan mendiamkan kisah Tsa’labah bin Hathib. Akibatnya, peringkas tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Ash Shabuni, tertipu dengan diamnya Ibnu Katsir tersebut. Beliau tetap mencantumkan riwayat tersebut dalam (ringkasan yang dibuatnya) dan berisyarat akan keabsahannya, karena dalam mukaddimah kitab tersebut disampaikan bahwa dalam meringkas, beliau hanya mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja.
Kisah ini berstatus mungkar dan Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kemungkarannya. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil Hadi, seorang ahli fiqih madzhab Hambali, peneliti, ahli hadits, kritikus, dan pakar nahwu yang sangat berkompeten.
Beliau telah menjelaskan kemungkaran riwayat ini dalam kitabnya, Ash Sharimul Manki fi Raddi ‘alas Subki. Beliau merupakan salah satu murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di dalam kitab tersebut, beliau membela gurunya tersebut dari tuduhan As Subki yang menganggap beliau mengharamkan berziarah ke kubur rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah 7 generasi berlalu, tuduhan serupa ternyata juga muncul dari salah seorang quburiyyun (pengkultus kubur) yang namanya tidak penting untuk disebutkan disini. Kejadian ini terjadi pada tanggal 25 Agustus 2003 dengan menyalakan api fitnah dalam rangka “memperbaru” tuduhan tersebut pada sebuah artikel yang berjudul : “Jama’ah Ansharus Sunnah: Ziarah ke Kubur Rasul adalah Haram.” Quburi ini menyebutkan kisah di atas dalam artikelnya tersebut sebagaimana perbuatan As Subki terdahulu.
Ibnu ‘Abdil Hadi rahimahullah telah memberikan bantahan kepada As Subki dalam kitabnya Ash Sharimul Manki fir Raddi ‘alas Subki” dengan meneliti berbagai permasalahan yang terkait dengan ziarah kubur. Beliau juga menjelaskan kebenaran dan kedustaan yang terdapat dalam permasalahan tersebut serta menampakkan ketidaktahuan As Subki terhadap ilmu hadits dan kekurangpahaman beliau terhadap maqashidusy syari’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al Fatawa (1/241):
وَأَيْضًا فَإِنَّ طَلَبَ شَفَاعَتِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَعِنْدَ قَبْرِهِ لَيْسَ مَشْرُوعًا عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا ذَكَرَ هَذَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَأَصْحَابِهِ الْقُدَمَاءِ وَإِنَّمَا ذَكَرَ هَذَا بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ : ذَكَرُوا حِكَايَةً عَنْ العتبي أَنَّهُ رَأَى أَعْرَابِيًّا أَتَى قَبْرَهُ وَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَأَنَّهُ رَأَى فِي الْمَنَامِ أَنَّ اللَّهَ غَفَرَ لَهُ . وَهَذَا لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنْ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعِينَ . الَّذِينَ يُفْتَى النَّاسُ بِأَقْوَالِهِمْ وَمَنْ ذَكَرَهَا لَمْ يَذْكُرْ عَلَيْهَا دَلِيلًا شَرْعِيًّا . وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَوْ كَانَ طَلَبُ دُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ عِنْدَ قَبْرِهِ مَشْرُوعًا لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ لَهُمْ بِإِحْسَانِ أَعْلَمَ بِذَلِكَ وَأَسْبَقَ إلَيْهِ مِنْ غَيْرِهِمْ وَلَكَانَ أَئِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ مَالِكٌ ” لَا يُصْلِحُ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا ” قَالَ : وَلَمْ يَبْلُغْنِي عَنْ أَوَّلِ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَصَدْرِهَا أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ . فَمِثْلُ هَذَا الْإِمَامِ- يقصد العتبي- كَيْفَ يَشْرَعُ دِينًا لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدِ السَّلَفِ وَيَأْمُرُ الْأُمَّةَ أَنْ يَطْلُبُوا الدُّعَاءَ وَالشَّفَاعَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ – بَعْدَ مَوْتِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ – مِنْهُمْ عِنْدَ قُبُورِهِمْ وَهُوَ أَمْرٌ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ ؟
Demikian pula, sesungguhnya meminta syafa’at, do’a dan istighfar dari rasulullah setelah beliau wafat dan dilakukan di samping kubur beliau tidaklah disyari’atkan menurut para imam kaum muslimin. Tidak seorang imam dari imam yang empat serta para rekan mereka yang menyebutkan hal ini, cuma beberapa ulama kontemporer yang menyebutkannya. Mereka menyebutkan sebuah hikayat dari Al ‘Utbi bahwa dia melihat seorang Arab Badui yang mendatangi kubur nabi dan menyebutkan ayat ini, kemudian Al ‘Utbi bermimpi bahwa Allah telah mengampuninya.
Kisah ini tidak pernah disebutkan oleh seorang mujtahid dari berbagai madzhab yang empat, yaitu mereka yang perkataannya dijadikan sebagai sumber rujukan fatwa oleh manusia. Adapun mereka yang menyebutkan kisah ini, tidak menyebutkan satu dalil syar’i yang mendukung kisah tersebut.
Sudah maklum, jika meminta do’a, syafa’at dan istighfar nabi di samping kubur beliau, tentu para sahabat dan orang-rang yang mengikuti mereka dengan baik lebih tahu akan hal tersebut dan lebih dahulu mengerjakannya daripada yang lain. Para imam kaum muslimin juga akan menyebutkan hal tersebut . alangkah bagus apa yang diucapkan oleh imam Malik rahimahullah, “Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi generasi akhir umat ini kecuali ajaran yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Beliau mengatakan, “Tidak ada satupun kabar yang sampai kepadaku dari generasi awal umat ini maupun setelahnya yang menunjukkan bahwa mereka melakukan hal tersebut.”
Maka, semisal imam ini, yaitu Al ‘Utbi, bagaimana beliau bisa mensyari’atkan suatu ajaran yang tidak pernah dinukil dari salah seorang salaf dan memerintahkan umat untuk meminta do’a, syafa’at, dan istighfar dari para nabi dan orang shalih -sesudah mereka wafat- di samping kuburan mereka, padahal hal itu tidak pernah dilakukan oleh generasi awal umat ini?
Bagian Ketiga:
Tafsir yang shahih dari ayat ini menunjukkan kemungkaran kisah tersebut. Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata mengenai tafsir ayat surat An Nisa ayat 64 dalam Taisir Karim Ar Rahman hlm 185, “Mendatangi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dapat dilakukan semasa beliau hidup. Redaksi ayat menunjukkan hal itu, karena meminta bantuan beliau untuk memintakan ampun kepada Allah tidak bisa terealisasi kecuali ketika beliau hidup. Adapun, setelah beliau wafat, maka tidak boleh meminta sesuatu apapun dari beliau, bahkan itu termasuk kesyirikan.”
Inilah yang benar, karena mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat tidak mungkin dilakukan, yang hanya bisa dilakukan adalah mendatangi kubur beliau (redaksi ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah mendatangi nabi bukan mendatangi kubur beliau-pen), dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang rutin dikunjungi pada momen-momen tertentu-pen). Beliau memohon agar sepeninggal beliau, Allah tidak menjadikan kuburnya sebagai sembahan yang diibadahi sebagaimana sabdanya, “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan, janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ‘ied, dan bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” [An Nawawi menshahihkan riwayat ini dalam Al Adzkar hlm. 93 dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami' : 7226. Al Hafizh Ibnu 'Abdil Hadi mengatakan, "Hadits ini hasan dan sanadnya jayyid, memiliki berbagai syawahid yang membuatnya berderajat shahih sebagaimana terdapat dalam Fadl Ash Shalat 'ala an Nabiy hadits nomor 20 karya Al Jahmadhi dan Mushannaf AbdurRazzaq (3/577/6694)].
Bertawasul adalah bagian dari akhlak atau adab dalam berdoa. Bertawasul pada hakikatnya adalah penghormatan, pengakuan keutamaan derajat mereka (yang ditawasulkan) di sisi Allah Azza wa Jalla dan rasa syukur kita akan peran mereka menyiarkan agama Islam sehingga kita dapat mendapatkan ni’mat Iman dan ni’mat Islam.
Bertawasul yang paling mudah adalah dengan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“
Bertawassul dengan Rasulullah atau dengan mereka yang mulia di sisi Allah Azza wa Jalla yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh tidak harus dengan melakukan menziarahi kubur mereka namun dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun selama tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits. Sebagaimana yang diriwayarkan berikut ini
“ dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra tersebut mengingatkan orang yang masuk dan berdoa pada celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menyembah kuburan Nabi dan mengingatkan pula bahwa berdoa / bertawasul / bersholawat kepada Rasulullah atau "mendatangi Rasulullah" dapat pula dilakukan ditempat manapun sehingga tidak perlu mempersulit diri dengan memasuki celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau tidak perlu harus menziarahi kuburan beliau. Namun ketika melaksamakan ibadah haji atau umroh , sebaiknyalah sempatkan waktu untuk "mendatangi Rasulullah" dalam arti sesungguhnya dengan menziarahi kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Nasihat Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra tesebut juga menyampaikan bahwa "jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan" maknanya jangan pula sepi atau jarang bersholawat atau bertawassul dengan Rasulullah maupun orang-orang yang mulia di sisi Allah Azza wa Jalla, yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh. Ketika zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, pada pesta pernikahan, acara hajatan atau acara lain, para Sahabat ra ada menyempatkan bertawassul kepada para Syuhada perang badar dan bersholawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini sudah jarang kita temui dalam pesta pernikahan, hajatan ataupun perayaan yang diselenggarakan oleh mereka yang mengaku ittiba' li Rasulihi, bahkan jarang pula kita temui di wilayah dua tanah suci berada atau wilayah kerajaan dinasti Saudi. Kita pun jarang mendengar mereka melakukan kesenian seperti marawis ataupun senandung nasyid , bisa jadi itu semua karena kesalahpahaman atau ketidaktahuan mereka semata terhadap apa yang telah dilakukan di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para Salafush Sholeh.
[47.76]/4750 Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda: “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.“ (HR Bukhari)
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=47&ayatno=76&action=display&option=com_bukhari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengkoreksi syair/perkataan “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” karena Beliau tahu sebatas yang diwahyukan namun beliau tidak melarang ungkapan cinta (sholawat) sebagaimana kita ingin mengungkapkannya dengan pernyataan “katakanlah apa yang ingin kamu katakan“. Juga Rasulullah tidak melarang para Sahabat ra bertawassul dengan para Syuhada perang Badar. Kitapun mempunyai syair sholawat Badar hasil karya Kiyai Ali Manshur, yang merupakan cucu Kiyai Haji Muhammad Shiddiq, Jember, selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/02/sholawat-badar/
9, Bagaimana memahami tawasul ?
Tawasul yang disepakati ulama adalah :
1 Dengan Asma-asma dan kekuasaan Allah (7:180), sebagaimana doa dluha
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu (7:180)
2. Dengan amal shalih
(HR Bukhari Muslim, ttg. 3 orang yang tertutup dalam gua, masing-masing berdoa dengan menyebut amal shalih masing-masing)
3. Dengan orang shalih yang masih hidup
(HR Bukhari ttg. shalat minta hujan di zaman Khalifah Umar ra, beliau bertawasul melalui paman Nabi, Abbas ra).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dalam perkataan para sahabat radhiyallahu 'anhum adalah bertawasul dengan doa dan syafaat Nabi". Beliau melanjutkan lagi, " Adapun tawasul dengan doa dan syafaat sebagaimana yang dilakukan 'Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul dengan zat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan tawasul dengan zat beliau, maka tentu bertawasul kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih utama daripada dengan 'Abbas rodhiyallahu 'anhu. Ketika mereka berpaling dari bertawasul dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul dengan 'Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau." Maka nyatalah kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.
Para Sahabat Bertawasul dengan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salaam
Semasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau. Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang dilakukan sahabat 'Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul lewat perantaraan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ketika di masa khalifah 'Umar radhiyallahu 'anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tiada. Namun 'Umar meminta kepada 'Abbas rodhiyallahu 'anhu, paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Umar berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami" (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah 'Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do'a Abbas.
No comments:
Post a Comment