1, Sebutkan perkataan ulama dan dalilnya tentang sifat istwa Allah?
Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah :
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
“Istiwaa’ itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), beriman kepadanya adalah wajib, dan menanyakan tentangnya adalah bid’ah”
bukanlah buatan Salafy-Wahabiy. Apakah Anda tidak pernah membuka-buka kitab sehingga bisa menemukan perkataan Al-Imam Malik bin Anas ini dari para ulama terdahulu ? Simak perkataan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya :
قال مالك رحمه الله: الاستواء معلوم - يعني في اللغة – والكيف مجهول، والسؤال عن هذا بدعة. وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها
“Telah berkata Malik rahimahullah : ‘Al-Istiwaa’ adalah diketahui (ma’luum) – yaitu (diketahui) dalam bahasa (‘Arab) – , kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), bertanya tentang hal ini adalah bid’ah’. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa” [Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan), 7/219-220, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423, Riyadl – atau 9/239, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bn ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427, Beirut]
Juga Al-Ghazzaaliy dengan lafadh :
.....واتباع ما تشابه من الكتاب والسنة. كما روي عن مالك - رحمه الله- أنه سُئل عن الاستواء، فقال: "الاستواء معلوم، والإيمان به واجب، والكيفية مجهولة، والسؤال عنه بدعة
“……Dan mengikuti apa-apa serupa dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana diriwayatkan dari Maalik rahimahullah bahwasannya ia pernah ditanya tentang al-istiwaa’. Maka beliau menjawab : ‘Al-Istiwaa’ itu diketahui (ma’luum), beriman kepadanya adalah wajib, kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), dan bertanya tentangnya dalah bid’ah” [Fashlut-Tafriqah Bainal-Kufr waz-Zindiqah, hal. 88; Cet. 1/1353 H].
Juga Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah dengan lafadh :
وقال مالك أنه لم يتأول. ومذهب مالك رحمه الله أن كل حديث منها معلوم المعنى ولذلك قال للذي سأله : الاستواء معلوم والكيفية مجهولة
“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab Malik rahimahullah mengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-Istiwaa’ diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].
Al-Imam Al-Juwainiy rahimahullah dengan lafadh :
الاستواء معلوم والكيفية مجهولة والسؤال عنه بدعه
“Al-Istiwaa itu diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul), dan bertanya tentangnya adalah bid’ah” [Al-‘Aqiidah An-Nidhaamiyyah, hal. 23; Mathbaqah Al-Anwaar, Cet. Thn. 1948, Kairo]..
Imam 4 Madzhab semuanya berkeyakinan demikian adanya karena ayat istawa adalah muhkamat sedangkan kaifiyatnya adalah Mutasyabihat dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah saja. Cukup sampai disini saja kita sebagai muslim mengimaninya.
Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-: BERKATA yang Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia(Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al Imam Abu Ma...nshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana".
Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa
tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya: "Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya" (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana" (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
2, Benarkan ulama salafi menyebut ahlu bid'ah kepada Imam nawawi dll?
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ditanya,"Sebagian orang ada yang menyebut mubtadi’ (ahlu bid’ah) pada sebagian ulama besar seperti Ibnu Hajar, An Nawawi, Ibnu Hazm, Asy Syaukani, dan Al Baihaqi. Apakah benar perkataan mereka?
Jawaban Syaikh hafizhohullah,
Para imam yang telah disebutkan itu memiliki banyak keutamaan, ilmu yang luas, memberi faedah yang banyak bagi umat, bersungguh-sungguh dalam menjaga dan menebarkan sunnah, mereka pun memiliki banyak tulisan, kebaikan ini semua telah menutupi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat –semoga Allah merahmati mereka-.
Perkara menyatakan mereka-mereka tadi sebagai mubtadi’ (karena kesalahan yang mereka perbuat, pen), maka kami nasehatkan kepada para penuntut ilmu (yang belajar Islam), janganlah tersibukkan dengan hal semacam itu. Karena hal itu hanya akan menghalangi kita mendapatkan ilmu.
Orang-orang yang melakukan semacam ini akan terhalangi dari mendapatkan ilmu. Waktunya akan habis tersibukkan dengan fitnah semacam itu. Ia pun lebih suka ada perdebatan (perselisihan). Aku nasehatkan kepada semua untuk terus menunut ilmu dan tetap semangat meraihnya. Menyibukkan diri dalam hal semacam itu, sungguh tidak ada faedah di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa An Nawawi, Ibnu Hazm, Ibnu Hajr, Asy Syaukani, Al Baihaqi, kesemuanya adalah ulama-ulama besar. Mereka adalah ulama yang tsiqoh (kredibel) menurut para ulama. Mereka punya karya tulis yang amat banyak, tulisan mereka pun jadi rujukan kaum muslimin, sehingga itu semua sudah menutupi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat –semoga Allah merahmati mereka-.
Sekarang Anda sendiri –yang miskin ilmu- bagaimana? Wahai Anda yang gemar hanya mencari-cari dan sibuk dengan kesalahan Ibnu Hajr dan Ibnu Hazm, manfaat apa yang telah Anda beri pada kaum muslimin?
Berapa banyak ilmu yang telah Anda kumpulkan? Apakah ilmu Anda sama dengan Ibnu Hajar dengan An Nawawi? Apakah Anda sudah banyak memberi manfaat pada kaum muslimin daripada Ibnu Hazm dan Al Baihaqi?
Subhanallah!! ....
Semoga Allah merahmati seseorang yang tahu akan kedudukan dirinya.
Tunjukkan ilmumu, barulah engkau berani berbuat.
Tunjukkan waro’mu, barulah engkau berbicara.
Sumber: As-ilah Al Manaahij, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, hal. 235-238
3, Bagaimana memahami perselisihan Muawiyah ra , Aisya rah dan Ali ra ?
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (1065) dari hadits al Qasim bin al Fadhl al Haddani, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ
“Kelak akan muncul satu kelompok yang menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari dua kelompok (yang bertikai itu)”
Abu Zakaria an Nawawi berkata di dalam Syarah Shahih Muslim (VII/168): “Riwayat-riwayat ini secara tegas menjelaskan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak yang benar. Sementara kelompok lain, para pengikut Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu tergolong kelompok yang menyempal, karena takwil keliru. Hadits itu juga menjelaskan, kedua kelompok tersebut tergolong mukmin, tidak keluar dari lingkaran keimanan karena perang tersebut, dan tidak pula disebut fasik. Itulah pendapat kami.”
Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Fatawa (IV/467): “Hadits ini, secara tegas menunjukkan bahwa kedua kelompok yang berperang itu, yakni kelompok Ali dan orang-orang yang menyertainya, serta Mu’awiyah dan orang-orang yang menyertainya, berada di atas kebenaran. Dan sesungguhnya, Ali dan sahabat-sahabatnya lebih mendekati kebenaran daripada Mu’awiyah dan sahabat-sahabatnya”. Ibnul Arabi juga mengeluarkan pernyataan senada dalam kitab al Awashim halaman 307..
Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah [1] (X/563) berkata: “Hadits ini termasuk mu’jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Ali berada di pihak yang benar, dan Mu’awiyah memeranginya karena ijtihad yang keliru, dan ia berhak mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya Allah. Sedangkan Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang sah, berada di pihak yang benar insya Allah, dan berhak mendapat dua pahala”.
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak yang benar. Adapun Mu’awiyah yang memerangi Ali telah salah dalam ijtihadnya, dan ia mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al Bukhari [2], dari hadits Amru bin al Ash Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”
Hadits di atas lebih dijelaskan lagi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya (3609) dan Muslim (2214) dari jalur Ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ وَتَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَدَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul dua kelompok yang saling berperang dan akan terjadi pertumpahan darah yang hebat, sedangkan dakwah keduanya sama”.
Hadits ini menjelaskan hadits sebelumnya, Abul Fida’ Ibnu Katsir berkata di dalam al Bidayah wan Nihayah (IX/192): “Kedua kelompok itu adalah dua kelompok yang terlibat dalam peperangan Jamal dan Shifin. Karena kala itu, dakwah ke dua kelompok tersebut sama. Yakni sama-sama menyeru kepada Islam. Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah kekuasaan, dan dalam menetapkan mashlahat bagi umat dan segenap rakyat. Tidak terlibat dalam peperangan itu adalah lebih utama, daripada melibatkan diri ke dalamnya. Itulah madzhab jumhur sahabat”..
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad yang isinya: “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun dari ahli bid’ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu”.
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dalam suratnya:
“Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan yang dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi’ (ahli bid’ah), hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat dan hatinya tulus mencintai mereka
.
Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash Shaabuni rahimahullah berkata di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits : “Ahlu Sunnah memandang, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. Menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat”.
Dalam kitab Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata: “Termasuk Sunnah Nabi adalah, menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan para sahabat dan pertikaian di antara mereka. Serta meyakini keutamaan mereka dan mengenal kesenioran mereka”.
Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan, riwayat-riwayat yang dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada yang dusta, ada yang ditambah-tambah dan dikurangi serta dirobah-robah dari bentuk aslinya. Berdasarkan sikap yang benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya. Mereka itu adalah alim mujtahid, yang kadangkala benar dan kadangkala salah”.
Imam al Asy’ari dalam kitab al Ibanah mengatakan: “Adapun yang terjadi antara Ali, az Zubair dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma, juga bersumber dari takwil dan ijtihad. Semua sahabat adalah imam dan orang-orang yang terpercaya, bukanlah orang yang dicurigai agamanya”.
Al Qadhi Iyadh berkata dalam karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat yang shalih dan termasuk sahabat yang utama. Adapun peperangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali, dan pertumpahan darah yang terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan benar”.
Al Qahthaani berkata dalam Nuniyah-nya:
Ucapkanlah sebaik-baik perkataan pada sahabat Muhammad Pujilah seluruh ahli bait dan isteri beliauTinggalkanlah pertikaian yang terjadi di antara sahabat Saat mereka saling bertempur dalam sejumlah pertempuran Yang terbunuh maupun yang membunuh sama-sama dari mereka dan untuk mereka Kedua pihak akan dibangkitkan pada hari berbangkit dalam keadaan dirahmati Allah akan membangkitkan mereka semua pada Hari Mahsyar dan mencabut kebencian yang tersimpan dalam dada mereka!
Hafizh al Hikmi berkata dalam Sullamul Wushul ila Ilmil Ushul: Kemudian wajib menahan diri dari pertikaian di antara mereka Yang mana hal tersebut telah berjalan menurut takdir ilahi Mereka semua adalah mujtahid yang pasti mendapat pahala Sementara kesalahan mereka diampuni Allah Yang Maha Memberi.
Demikian penjelasan singkat mengenai sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pertikaian yang terjadi antara Sahabat Mu’awiyah dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Begitu pula sikap kita kepada para sahabat Nabi n secara keseluruhan.
4, Boleh kah berijtihad menolak 3 khalifah sebelum ali ra ?
Tidak boleh, karena ijtihad itu tidak ada contoh dari pada para sahabt nabi saw
Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan 143, Al Is’aad, hal. 72)
Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)
6, Kenapa Muawiyah ra mengubah sistem khalifah kepada sistem kerajaan?
Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan 143, Al Is’aad, hal. 72)
Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)
Hadits Safiinah radliyallaahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
”Kekhilafahan umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226; dan yang lainnya; shahih].
Dua hadits di atas (dan sebenarnya masih ada hadits-hadits yang lain) secara jelas menjelaskan periodisasi kepemerintahan Islam. Masa kekhilafahan awal dalam Islam adalah selama 30 tahun. Ini adalah tekstual (manthuq) hadits yang sangat jelas lagi tidak memerlukan ta’wil. Jika ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud kekhilafahan selama 30 tahun adalah kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah dan setelah itu tetap berbentuk kekhilafahan (yang tidak berdiri di atas manhaj nubuwwuah) – bukan kerajaan – ; maka itu sangat tidak bisa diterima. Kenapa ? Tidak lain pemahaman itu menafikkan dhahir nash yang mengatakan bahwa setelah masa 30 tahun adalah kerajaan (الْمُلْكُ). Apakah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : tsumma takuunu mulkan ’aadldlan fayakuunu maasyaaa allaahu an-takuunu (”lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki”) dan tsumma mulkun ba’da dzaalika (”kemudian setelah itu – yaitu setelah era 30 tahun – adalah masa kerajaan”) adalah sia-sia tanpa arti ? Dan apakah mereka hendak menakwil bahwa kerajaan itu sama dengan khilafah dalam konteks sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam di atas ? Jika kekhawatiran kita terhadap mereka ini terjadi, tentu saja prasangka mereka itu sangat jauh dari kebenaran….. Para ulama telah menjelaskannya dalam banyak kesempatan ketika mereka mensyarah hadits di atas. Juga ketika mereka menjelaskan perbedaan antara khilafah dan kerajaan atau khalifah dan raja.
Para ulama berkata : Masa tiga puluh tahun itu adalah masa kekhilafahan. Era khulafaaur-raasyidiin yang terdiri dari masa kekhilafahan Abu Bakar, ’Umar, ’Utsman, ’Ali, dan Al-Hasan bin ’Ali radliyallaahu ’anhum (para ulama berbeda pendapat mengenai status Al-Hasan bin ’Ali – namun yang rajih, masa kepemerintahannya termasuk bagian dari masa kekhilafahan). Adapun setelah itu muncullah raja. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal (no. 52) membawakan satu riwayat dari Safiinah radliyallaahu ’anhu sebagai berikut :
أن أول الملوك معاوية رضي الله عنه
”Bahwasannya raja pertama dari raja-raja (dalam Islam) adalah Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 1203 [shahih].
Mengenai kalimat {ثم ملك بعد ذلك} ”kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” ; maka berkata Al-Munawi : ”yaitu setelah berakhirnya masa kekhilafahan nubuwwah, maka akan muncul kerajaan”. Dan bahkan secara tegas Ath-Thibi yang disitir oleh Al-’Adhim ’Abadiy dalam ’Aunul-Ma’bud (2/388) mengatakan bahwa masa setelah ’Ali radliyallaahu ’anhu adalah masa ’mulkan ’adluudlan’ (مُلْكاً عَضُوضاً = Kerajaan yang dhalim).
Lantas, apa perbedaan antara khalifah dan raja atau khilafah dan kerajaan itu ? Mari kita perhatikan satu riwayat yang datang dari Salman ketika satu saat ’Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadanya tentang perbedaan raja dan khalifah, dimana Salman menjawab :
إن أنت جبيت من أرض المسلمين درهمًا أو أقل أو أكثر ثم وضعته في غير حقه فأنت ملك ، وأما الخليفة فهو الذي يعدل في الرعية ، ويقسم بينهم بالسوية ، ويشفق عليهم شفقة الرجل على أهل بيته ، والوالد على ولده ، ويقضي بينهم بكتاب الله
”Apabila engkau mengumpulkan dari bumi kaum muslimin dirham (harta) baik sedikit ataupun banyak, yang kemudian engkau pergunakan tidak sesuai dengan haknya, maka engkau adalah raja. Adapun khaliifah, maka ia berbuat adil kepada rakyat, membagi antara mereka dengan sama rata, sangat memperhatikan mereka (yaitu rakyatnya) sebagaimana perhatiannya seorang laki-laki terhadap anggota keluarganya atau seperti orang tua kepada anaknya, dan memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitabullah” [Ath-Thabaqaatul-Kubraa oleh Ibnu Sa’ad 3/306].
Dan yang lain menambahkan bahwa kerajaan (mulk) itu biasanya dicapai melalui jalan pemaksaan, penundukan (dalam peperangan), pesan/amanat dari seorang ayah kepada anaknya (atau kepada kerabatnya – Abul-Jauzaa’), atau yang semisal dengan itu; tanpa merujuk/mengembalikannya kepada Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Adapun Khilafah, maka ia tidaklah terwujud kecuali dengan penetapan Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Sama saja, apakah melalui jalan pemilihan atau penunjukan [Al-Imaamatul-‘Udhmaa oleh Ad-Dumaiji hal. 40].
Ibnu Khaldun berkata tentang perbedaan antara khilafah dan kerajaan (mulk) :
إن الملك الطبيعي : هو حمل الكافة على مقتضى الغرض والشهوة ، والسياسي : هو حمل الكافة على مقتضى النظر العقلي في جلب المصالح الدنيوية ودفع المضار ، والخلافة هي : حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها
“Sesungguhnya (definisi) kerajaan secara thabi’iy adalah bertujuan membawa seluruh manusia kepada pemenuhan hawa nafsu dan syahwat. Secara siyasiy, kerajaan adalah bertujuan membawa manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan akal untuk mencapai kemaslahatan dunia dan mencegah kemudlaratannya.
Dan khilafah adalah bertujuan membawa seluruh manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan syariat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, yang kesemuanya itu dikembalikan kepada kemaslahatan akhirat” [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun hal. 190]...
7, Bagaimana memahami hadis ghadir qum ?
Hadits Ghadir Khum adalah salah satu hujjah Syi`ah untuk memastikan imamah Ali
bin Abi Thalib-radhiallahu`anhu.
Kita nukilkan teks hadits ini dari kitab Minhajul Karamah fi Ma`rifatil Imamah,
karya tokoh mereka al-Husain bin Yusuf bin Ali bin Muthahhar seperti dinukil
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah an Nabawiyah fi
Naqdhi Kalamis Syi`ah Al-Qadariyah.
Kata Rafidhi (orang Syi`ah Rafidhah, Ibnu Muthahhar), "Bukti kedua, kabar yang
mutawatir dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam ketika turun firman Alloh
dalam surat Al-Maidah ayat 67 yang artinya "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu". Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam
berkhutbah kepada manusia di Ghadir Khum, sabdanya,"Wahai manusia, bukankah aku
lebih berhak terhadap kalian dari diri-diri kalian sendiri?" Mereka menjawab,
"Ya, benar." Sabdanya lagi "Siapa yang aku menjadi penolongnya, maka Ali pun
menjadi penolongnya. Wahai Alloh, tolonglah orang yang menolongnya dan
musuhilah orang yang memusuhinya dan hinakanlah orang yang menghinakannya."
(Minhajus Sunnah 7/31, 313).
Jawabnya, ini adalah KEDUSTAAN yang sangat parah, karena ayat ini turun jauh
sebelum haji Wada`. Sedangkan hari Ghadir terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah
sepulangnya beliau dari haji. Buktinya, ayat dari surat Al-Maidah (ayat 3) yang
terakhir turun adalah Alyauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu `alaikum
ni`matiy wa radhitu lakumul islamaama diina. Ayat ini turun di Arafah tanggal 9
Dzulhijjah pada haji Wada` ketika beliau berdiri di Arafah.
Adapun Ghadir Khum terjadi sepulang beliau dari haji menuju Madinah, berarti
jarak dengan turunnya ayat ke-3 ini adalah 9 hari. Lantas bagaimana mungkin
ayat 67 di atas turun pada haji Wada`?!.
Siapa yang mengatakan ada ayat dari surat Ma`idah yang turun di Ghadir Khum
maka dia dusta menurut kesepakatan ulama.
Syaikh Al-Albani dalam adh-Dha`ifah (4922) usai membawakan hadits yang
menuturkan bahwa ayat di atas (al-Maidah 67) turun pada Ghadir Khum untuk Ali
bin Abi Thalib-radhiallahu`anhu, berkata, "HADITS PALSU".
Demikian penggalan tulisan dari Al-Furqon.
8, Benarkah tindakam Muawiyah ra kepada ali ra bertentangan dengan kitab Allah ?
MARI KITA LIHAT SIKAP PARA ULAMA TENTANG PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA PARA SHAHABAT.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728H) menerangkan dalam Fatawa-nya :"Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (kejelekan) mereka (semuanya) adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".
Kata Ibnu Katsir :"Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada yang terjadi secara tidak sengaja seperti Perang Jamal (antara Ali dengan 'Aisyah) dan adapula yang terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin (antara Ali dengan Mua'wiyah). Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan tetapi (bila salah) pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat ganjaran kendatipun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati kepada kebenaran daripada Mu'awiyah mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya (Ali, 'Aisyah, Muawiyah dan para shahabat mereka)".
Meskipun perselisihan yang terjadi diantara para shahabat sempat membawa korban jiwa, yakni ada diantara mereka yang gugur, tetapi mereka segera bertaubat karena mereka adalah orang-orang yang selalu bertaubat kepada Allah dan Allah-pun menjanjikan taubat atas mereka. Allah berfirman.
"Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [At-Taubah : 102]...
9, Apa pandangan ulama tentang orang yang suka mencaci-maki para sahabat nabi saw ?
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG ORANG-ORANG YANG MENCACI MAKI/MENGHINA PARA SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
Imam Malik berkata ;"Orang-orang yang membenci para Shahabat Rasulullah adalah orang-orang kafir". [Tafsir Ibnu Katsir V hal. 367-368) atau IV hal. 216 cet. Daarus Salam Riyadh.]
Al-Qadhi 'Iyaadh berkata :"Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang menghina/mencaci maki para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam harus dihukum ta'ziir (yakni harus didera menurut kebijaksanaan hakim Islam -pen)". [Fathul Bari VII hal. 36].
Kata Imam Abu Zur'ah Ar-Raazi (wafat th 264H):"Apabila engkau melihat seseorang mencaci maki/menghina seseorang dari shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq (kafir). Yang demikian karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq, Al-Qur'an adalah haq dan apa-apa yang dibawa adalah haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (orang-orang zindiq) itu mencela kesaksian kita agar bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah (yakni agar kita tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah -pen). Merekalah yang pantas mendapat celaan".
Imam Al--Hafizh Syamsuddin Muhammad 'Utsman Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi (673-747H) berkata :"Barangsiapa yang mencaci mereka (para shahabat) menghina mereka, maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Islam dan telah merusak kaum muslimin. Mereka yang mencaci adalah orang yang dengki dan ingkar kepada pujian Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan juga mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan, tingkatan dan cinta ... Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari'at (yakni Rasulullah). Mencela pembawa Syari'at berarti mencela kepada apa yang dibawanya (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah)".
Telah diketahui bahwa Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan adalah salah seorang shahabat yang mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat yang sulit tersebut (perang Tabuk).
Bahkan, beliau telah mengkhabarkan adanya balasan surga bagi Mu’aawiyyah sebagaimana tertera dalam riwayat berikut :
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan - isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram menyisir rambut beliau, hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana" - perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?". Beliau menjawab : "Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…" - sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama". Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan : Bahwasannya ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya : Bahwa dia pernah menemui 'Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. 'Umair berkata : Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya (pahala surga)". Ummu Haram berkata : Aku katakan : "Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?". Beliau bersabda : "Ya, kamu termasuk dari mereka". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) akan diberikan ampunan (dari dosa)". Aku katakan : "Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?". Beliau menjawab : “Tidak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2924].
Al-Muhallab rahimahullah berkata :
“Dalam hadits ini (terdapat petunjuk tentang) kebajikan yang dilakukan Mu’aawiyyah, karena ia adalah orang yang pertama kali (memimpin) peperangan di lautan; dan juga kebajikan yang dilakukan anaknya, Yaziid, karena ia adalah orang yang pertama kami memerangi kota Qaishar” [Fathul-Baariy, 6/102].
Al-Firyaabiy rahimahullah berkata :
“Orang yang pertama kali berperang di lautan adalah Mu’aawiyyah di jaman (kekhalifahan) ‘Utsmaan bin ‘Affaan – semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka berdua” [Asy-Syarii’ah, 3/501 no. 1980, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad bin Saif An-Nashr; Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1417].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sirah sepanjang yang aku ketahui bahwa peperangan Mu’aawiyyah (di lautan) pada hadits dalam bab ini, saat Ummu Haram ikut berperang bersamanya, terjadi pada masa kekhilafahan ‘Utsmaan” [At-Tamhiid, 1/242 – melalui perantaraan Min Fadlaaili wa Akhbaari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan].
Hadits ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Mu’aawiyyah...
Diambil dari jawaban sahabat salafi Abu Farah alfaouq dll terhadap soal dari kawan Syiah di group Forum dakwah 'Kembali kepada islam"
No comments:
Post a Comment