KEMBALI KEPADA ISLAM
Dengan keadaan yang buruk disebabkan jauhnya dari agama Allah, maka keadaan umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan kembali menuju agama ini. Solusi ini bukanlah ijtihad (penentuan pendapat oleh ulama tentang hukum suatu hal dalam Islam, berdasarkan Alquran dan Assunah ) dari ulama yang berijtihad, namun ketetapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, semua pendapat yang bertentangan dengan nash (dalil) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tertolak, karena Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan solusi kemuliaan umat ini, sebagaimana hadits di bawah ini,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kamu berjual-beli ‘inah (semacam riba), kamu memegangi ekor-ekor sapi, kamu puas dengan tanaman, dan kamu meninggalkan jihad, maka Allah Subhanahu wa Ta’alapasti akan menimpakan kehinaan kepadamu. Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu sehingga kamu kembali menuju agamamu.’.” (Riwayat Abu Daud: no.3462; Ahmad: no.4825; dll. Lihat: Ash-Shahiihah: no.11)
Syekh al-Albani menyatakan, “Kalau begitu, satu-satunya terapi adalah kembali menuju agamamu, namun agama ini-–sebagaimana diketahui oleh semua orang khususnya para penuntut ilmu agama–sangat diperselisihkan. Perselisihan ini tidak hanya terbatas pada permasalahan furu’ (cabang)-–sebagaimana sangkaan banyak penulis dan ulama–. Akan tetapi, perselisihan ini telah melampaui permasalahan akidah.”
Kemudian beliau mempertanyakan, “Agama mana yang harus kita jadikan tempat kembali?” (At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Haajatul Muslimin Ilaiha, hlm.14-15)
Permasalahan ini dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disampaikan oleh Abu Waaqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ وَ نَحْنُ جُلُوْسٌ عَلَى الْبِسَاطِ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا : كَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ الله؟ قَالَ : فَرَدَّ يَدَهُ إِلَى الْبِسَاطِ فَأَمْسَكَ بِهِ قَألَ : تَفْعَلُوْنَ كَذَا
وَذَكَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا أَنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيْرٌ منَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ : تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَألُوْا : مَا قَالَ ؟ قَالَ : يَقُوْلُ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا : كَيْفَ بِنَا يَا رَسُوْلَ الله؟ أَوْ كَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ
“Sesungguhnya Rasulullah pernah berkata, sedangkan kami dalam keadaan duduk-duduk di tikar, ‘Akan muncul fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang kami kerjakan, wahai Rasulullah?’.” Abu Waaqid menyatakan, “Lalu beliau mengembalikan tangannya ke tikar lalu memegangnya dan berkata, ‘Kerjakan demikian!’.
Rasulullah pada satu hari menjelaskan kepada mereka bahwa fitnah (ujian) akan datang, lalu banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz berkata, ‘Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?’ Mereka menjawab, ‘Apa yang dikatakannya?’ Mu’adz berkata, ‘Beliau bersabda, ‘Akan muncul fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami, wahai Rasulullah? Atau apa yang harus kami lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Kembalilah kepada perkaramu yang pertama.’.” (lihat: Silsilah Shahiihah: no.11)
Dalam hadis yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan terjadinya fitnah, ujian, dan musibah yang menimpa kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan jalan keluar dari semua (permasalahan) ini, yaitu dengan kembali kepada perkara pertama, yaitu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits Irbaadh bin Saariyah radhiallahu ‘anhu yang berbunyi,
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ اْلأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasihati kami dengan sebuah nasihat yang membuat mata kami meneteskan air mata dan membuat hati kami bergetar. Maka kami berkata, ‘Wahai, Rasulullah! Sungguh ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau berkata, ‘Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas jalan yang sangat jelas, siangnya seperti malamnya, tidaklah (seseorang) berpaling darinya setelahku kecuali (dia) binasa. Barangsiapa diantara kalian yang hidup, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnah (ajaran)ku dan sunnah Khulafaaurraasyidiin (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus) yang telah kalian ketahui. Gigitlah (sunnah tersebut) dengan gigi geraham. Wajib atas kalian untuk taat (kepada pemerintah), walaupun yang memerintah adalah budak habasyi (budak berkulit hitam), karena sesungguhnya seorang mukmin itu seperti unta yang diberi tali kendali, kemana dia diikat maka ia akan patuh.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat lain dinyatakan,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin) walaupun (dia) seorang budak habasyi (budak berkulit hitam). Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaaurraasyidiin (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus). Peganglah dan gigitlah (sunnah tersebut) dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” (Riwayat Abu Daud: no.4607; Tirmidzi: 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Saariyah)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, “Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي” berisi berita dari Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang banyaknya perselisihan dalam masalah ushul (pokok) agama dan furu’ (cabang)nya, serta perkataan, perbuatan, dan keyakinan yang menimpa umat ini. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatakan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok yaitu yang berada diatas ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Demikian juga hadits ini berisi perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulaafaurraasyidiin setelah beliau, ketika terjadi perpecahan dan perselisihan.
Siapakah yang Berada Di Atas Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Sahabatnya radhiallahu ‘anhum?
Orang yang memperhatikan hadits-hadits di atas akan mengetahui dengan benar jalan kembali tersebut. Apalagi hal ini telah diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku (sahabat), kemudian yang menyusul mereka (tabi’in), kemudian yang menyusul mereka (tabi’ut tabi’in).” Imran berkata, ‘Saya tidak ingat dengan benar apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan setelah itu dua generasi atau tiga generasi.” (Riwayat Bukhari)
Bila melihat kepada kejadian dan peristiwa sejarah masa lalu, maka jelaslah bahwa orang yang paling kuat berpegang kepada jalan dan ajaran tiga generasi di atas adalah Ahlususnah dengan berbagai namanya, seperti ahli hadits (orang yang berusaha mempelajari dan mengamalkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -ed), salafiyyuun (pengikut para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in -ed), dan al-ghuraba’ (orang-orang yang asing ), ahlu sunnah wal jama'ah ( pengikut nabi saw dan para sahabatnya ).
Imam Abul Qasim Isma’il at-Taimi al-Ashbahani menyatakan,
“Kami mengenal sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui atsar yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Kelompok ini–yaitu ash-habul hadits–adalah orang yang paling semangat menuntutnya, lebih semangat mengamalkannya, dan lebih mengikuti pemiliknya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka wajib bagi kita untuk berpegang teguh dengan Alquran dan Assunah, karena merekalah ahlinya, bukan kelompok yang lainnya. Oleh karena orang yang mengaku ahli dalam bidang tertentu, apabila tidak ada padanya sesuatu yang menunjukkan keahliannya, maka ia telah membatalkan pengakuannya. Keahlian seseorang diketahui dengan alatnya. Apabila engkau melihat seseorang membuka pintu tokonya dengan membawa pemanggang besi (al-kiir), palu, dan lempengan untuk pukulan (sanadan), maka engkau tahu kalau ia adalah pandai besi. Apabila engkau melihat seseorang membawa jarum dan gunting, maka engkau tahu bahwa ia adalah seorang penjahit. Kapan saja seorang penjual kurma berkata kepada penjual minyak wangi, “Saya adalah penjual minyak wangi,” maka ia akan menjawab, “Engkau berdusta, sayalah penjual minyak wangi.” Semua orang umum yang menyaksikan akan membenarkan ucapannya (bahwa penjual kurma itu berdusta). Kami mendapati sahabat-sahabat kami bepergian mencari atsar yang menunjukkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengambilnya dari sumbernya, dan mengumpulkan dari tempat-tempatnya serta menghapalnya. Mereka juga mengajak manusia untuk mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Sunnah-sunnah ini (akhirnya) menjadi banyak berada pada mereka dan ditangan mereka hingga mereka terkenal dengannya, sebagaimana terkenalnya tukang roti dengan rotinya, penjual kurma dengan kurmanya, dan penjual minyak wangi dengan minyak wanginya. Sebaliknya, engkau melihat orang-orang lain terbalik pengetahuan dan ittiba’ (sikap mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)nya, mencela sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan memotivasi manusia agar tidak memperhatikan pengumpulan sunnah dan penyebarannya serta menggelari sunnah dan ahli sunnah dengan gelaran yang paling jelek. Maka kami mengetahui dengan indikasi-indikasi ini bahwa mereka yang bersemangat mengumpulkan sunnah, menghapal, dan mengikutinya lebih pantas daripada kelompok-kelompok lain yang tidak memperhatikannya. Hal tersebut karena yang dimaksud ittiba’ menurut para ulama adalah mengambil sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah shahih dan yang diperintahkan untuk mengamalkannya dan berhenti dari larangannya. Indikasi-indikasi ini tampak jelas pada ahli sunnah yang pantas menyandang nama ini.”
Memang demikianlah mereka, seperti yang disampaikan oleh Manshur bin ‘Amaar as-Sulami al-Khurasani, seorang ulama yang hidup ditahun 200-an, dalam penuturannya,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan penjagaan atsar (peninggalan para sahabat g) yang menafsirkan Alquran dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya kepada sekelompok orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan kecintaan membaca dan mempelajarinya kepada mereka, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang-camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus. Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga (mereka) dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid’ah orang-orang mulhid (orang yang menyimpang dari kebenaran –ed), dan kedustaan para pendusta. Seandainya engkau melihat mereka (para penjaga atsar –ed), mereka menghidupkan malam hari dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan, dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.
Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu. Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah. Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah, dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.[1]
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.
Artikel www.UstadzKholid.com
[1] Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm.6-7.
No comments:
Post a Comment