HUKUM BOM BUNUH DIRI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah "Ashabul Ukhdud" (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, 'bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu" [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : 'Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat"
Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri –semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah disinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.
Contohnya apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan diri dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya.
Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka –semoga Allah melindungi kita-. Pelakunya pun tidak dikatagorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwasanya hal itu dbenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan orang yang syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya satu pahala [3].
Pertanyaan.
Bagaimana dengan hukuman syar'i terhadap orang yang membawa bom di tubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka ? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya ?
Jawaban.
Orang yang meletakkan bom di badannya lalu meledakkan dirinya di kerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan ia akan disiksa di Neraka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam.
Sungguh aneh orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu membunuh diri ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" [An-Nisa' : 29]
Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka mendapatkan sesuatu ? Apakah musuh telah kalah ? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan pebuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka semakin sombong bahkan kami menemukan data bahwasanya Negara Yahudi pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa arab.
Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini yang beranggapan bahwa ini adalah perngorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena telah menakwilkan dengan takwil yang salah.
Adapun beralasan dengan kisah pemuda tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk Islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat pemuda itu seraya berkata : Dengan nama Allah tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasanya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus dari pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin berpegang dengan keyakinan mereka.
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
_________
Foote Note
[1] Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Muslim di kitab Az-Zuhud wa Ar-Raqaiq, bab : Kisah Ashabul Ukhdud' hadits no. 3005
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778
[3] Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166
Tuesday, September 27, 2011
Bolehkah Wanita Nifas Melaksanakan Shalat, Puasa, Haji Sebelum Genap Empat Puluh Hari Masa Nifasnya
Bolehkah Wanita Nifas Melaksanakan Shalat, Puasa, Haji Sebelum Genap Empat Puluh Hari Masa Nifasnya
By Ajat Jatnika ·
Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita mengalami sakit karena hendak melahirkan hingga tidak sadar selama dau hari namun ia belum mengeluarkan darah, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat atau tidak ?
Jawaban
Ya, diharuskan baginya untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama dua hari iu, karena ketidaksadaran yang disebabkan penyakit atau rasa sakit dll. Tidak menggugurkan kewajiban shalat seseorang, juga wanita itu belum mengeluarkan darah sehingga ia belum dikenakan hukum nifas.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 99]
BOLEHKAH WANITA NIFAS MELAKSANAKAN SHALAT, PUASA DAN HAJI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI MASA NIFASNYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah wanita nifas boleh melakukan puasa, shalat dan haji jika ia sudah suci sebelum sampai hari keempat puluh dari sejak ia melahirkan ?
Jawaban
Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empat puluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh disini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhi sebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil ijtihadnya. Pendapat yang benar adalah dibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan, dan jika darah itu kembali lagi sebelum hari keempat puluh maka darah yang keluar itu dianggap sebagai darah nnifas, akan tetapi puasnya, shalatnya dan hajinya yang ia lakukan di masa suci itu adalah sah dan tidak perlu diulang.
[Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/43]
BOLEHKAH SAYA SHALAT KETIKA SAYA MERASAKAN SAKIT KARENA MELAHIRKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin ditanya : Bolehkah saya melaksanakan shalat ketika saya merasakan sakit karena melahirkan .?
Jawaban
Seorang wanita melakukan shalat harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, akan tetapi jika ia mengeluarkan darah sehari sebelum ia melahirkan maka darah itu dianggap darah haidh, jika demikian maka tidak boleh melakukan shalat pada hari itu. Adapun jika ia tidak mengeluarkan darah, maka ia tetap diwajibkan melaksanakan shalat walaupun ia sedang merasa sakit karena proses kelahiran, sebagaimana orang sakit yang tetap diwajibkan shalat walaupun ia sedang sakit, karena adanya penyakit itu tidak menggugurkan kewajban shalat pada seseorang.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Al-Jibrin, halaman 35]
HUKUM PUASA DAN SHALAT BAGI WANITA NIFAS
Oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa bagi wanita nifas ?
Jawaban
Diharamkan bagi wanita nifas untuk melaksanakan puasa, shalat atau thawaf di Ka'bah, sebagaimana diharamkan bagi wanita haidh, akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha puasa fardhu yang ia tinggalkan selama masa nifas sebagaimana wanita haidh.
[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 19]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 162-164 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
By Ajat Jatnika ·
Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita mengalami sakit karena hendak melahirkan hingga tidak sadar selama dau hari namun ia belum mengeluarkan darah, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat atau tidak ?
Jawaban
Ya, diharuskan baginya untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama dua hari iu, karena ketidaksadaran yang disebabkan penyakit atau rasa sakit dll. Tidak menggugurkan kewajiban shalat seseorang, juga wanita itu belum mengeluarkan darah sehingga ia belum dikenakan hukum nifas.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 99]
BOLEHKAH WANITA NIFAS MELAKSANAKAN SHALAT, PUASA DAN HAJI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI MASA NIFASNYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah wanita nifas boleh melakukan puasa, shalat dan haji jika ia sudah suci sebelum sampai hari keempat puluh dari sejak ia melahirkan ?
Jawaban
Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empat puluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh disini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhi sebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil ijtihadnya. Pendapat yang benar adalah dibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan, dan jika darah itu kembali lagi sebelum hari keempat puluh maka darah yang keluar itu dianggap sebagai darah nnifas, akan tetapi puasnya, shalatnya dan hajinya yang ia lakukan di masa suci itu adalah sah dan tidak perlu diulang.
[Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/43]
BOLEHKAH SAYA SHALAT KETIKA SAYA MERASAKAN SAKIT KARENA MELAHIRKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin ditanya : Bolehkah saya melaksanakan shalat ketika saya merasakan sakit karena melahirkan .?
Jawaban
Seorang wanita melakukan shalat harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, akan tetapi jika ia mengeluarkan darah sehari sebelum ia melahirkan maka darah itu dianggap darah haidh, jika demikian maka tidak boleh melakukan shalat pada hari itu. Adapun jika ia tidak mengeluarkan darah, maka ia tetap diwajibkan melaksanakan shalat walaupun ia sedang merasa sakit karena proses kelahiran, sebagaimana orang sakit yang tetap diwajibkan shalat walaupun ia sedang sakit, karena adanya penyakit itu tidak menggugurkan kewajban shalat pada seseorang.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Al-Jibrin, halaman 35]
HUKUM PUASA DAN SHALAT BAGI WANITA NIFAS
Oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa bagi wanita nifas ?
Jawaban
Diharamkan bagi wanita nifas untuk melaksanakan puasa, shalat atau thawaf di Ka'bah, sebagaimana diharamkan bagi wanita haidh, akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha puasa fardhu yang ia tinggalkan selama masa nifas sebagaimana wanita haidh.
[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 19]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 162-164 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Menjawab Tuduhan: ‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Menjawab Tuduhan: ‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]
3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم - إذا دعوا - نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
5. Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
“Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد....)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون - إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، - إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah).
Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana dhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf : Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit.
Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :
Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah
adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr. Fauqiyyah di bawah :
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش، بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat). ‘Arsy tidak membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :
وأن الله استوى على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى).
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, dan Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :
Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna istiwaa’ Allah adalah hakiki, bukan seperti istiwaa’ (bersemayam)-nya makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat ungkapan : al-‘ulluw (ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud (naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله لما قضى الخلق، كتب عنده فوق عرشه: إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no. 7422 dan Muslim no. 2751].
عن أنس قال : فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول: زوَّجكنَّ أهاليكنَّ، وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit” [HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan Al-Haafidh Abu Muhammad Al-Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka berdua dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits rahimahullah. Beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت عليها الذين رأيتهم، مثل سفيان ومالك وغيرهما، الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وأن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.... وذكر سائر الاعتقاد.
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan terhadap persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”. Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun menyebutkan seleuruh i’tiqad-nya” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan di-ta’wil dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan di dalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (وأنكروا أن يكون له عينان…. )
Kalimah عينان dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (وأن له عينين بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (وأن له عينا بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينين tidak warid (datang) di dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عين adalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari yang demikian itu.
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya kalam. Orang ini – dengan tulisannya di atas – semakin menunjukkan minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun sungguh disayangkan jika ia berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak perbedaan lafadh. Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin disebabkan oleh faktor teknis pencetakan ataupun memang perbedaan manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam cetakan kitab para ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir - terhadap Tafsir Ath-Thabariy; Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam; Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman terhadap Al-I’tishaam lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar. Kemudian, para muhaqqiq tersebut melakukan tashhih (koreksi) atas beberapa manuskrip atau cetakan yang ada untuk menghasilkan satu matan kitab yang sesuai dengan aslinya.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang jarang/tidak pernah melakukan penelitian, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh dalam satu cetakan kitab, maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang telah memalsukan kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah kata mata/‘ain (عَيْنٌ) yang merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah – apakah ia berbentuk mufrad (tunggal) atau mutsanna (mempunyai pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan kitab Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu bukan menjadi acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan dengan matan kitab asli, kita harus mengembalikannya kepada matan kitab asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah dalam desertasinya terhadap kitab Al-Ibaanah telah menjelaskan bahwa bentuk mufrad (tunggal) memang terdapat dalam salah satu naskah/manuskrip. Namun dalam naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk mutsannaa (عَيْنَيْنِ). Dan inilah yang mu’tamad (sah) :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulahlah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw (hal. 262) dari kitab At-Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan ini tidaklah bertentangan karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada Allah ta’ala – dimana hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad adalah :
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak berarti hanya menunjukkan satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS. Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak adalah :
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata (‘ainaan - عَيْنَانِ) adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya” - Beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya - . “Sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’ dalam hadits Dajjaal di atas menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir, bukan ta’wil sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat mata (‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
عن عطاء : عن ابن عباس رضي الله عنه في قوله عز وجل : (تَجْرِيْ بِأَعْيُنِنَا) [القمر : ١٤]. قَالَ : أشار بيده إلى عينيه.
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu ‘Abbas berisyarat dengan tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy, 3/411; di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan biografinya, adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-‘Uluumil-Qur’an was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi Allah ta’ala, dengan perkataannya :
وَأَنَّهُ لَيسَ بِأَعْوَرَ بِقَولِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ ذَكَرَ الدَّجَّالَ فَقَالَ : إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ.
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal Dajjaal, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya” [Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ. Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas ketika menetapkan sifat ‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال عز وجل: "الرحمن على العرش استوى" ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى: "الله نور السماوات والأرض" وأن له وجهاً كما قال الله: "ويبقى وجه ربك" وأن له يدين كما قال: "خلقت بيدي" وأن له عينين كما قال: "تجري بأعيننا"
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai cahaya sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi’ (QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana firman Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)” [Maqaalatul-Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261, tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-Hamiid; Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :
Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
سياق ما دل من كتاب الله عز وجل وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم على أن من صفات الله عز وجل الوجه والعينين واليدين
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia mempunyai) wajah, dua mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan yang lainnya dari sifat dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya bukan merupakan tasybih (penyerupaan Allah kepada makhluk-Nya). Apalagi sampai menuduh sebagai mujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim pemalsuan kitab Al-Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama sekali tidak berdasar. Omong kosong belaka. Semakin banyak tuduhan mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya mereka dan seberapa jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj yang haq, sekaligus memberikan petunjuk kepada mereka yang telah tersesat dari jalan-Nya yang lurus.
Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
[1] Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2] Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.
[3] Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4] Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5] Al-Ibaanah, hal. 34-37.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq (komentar) di akhir paragraph ini dengan perkataannya :
قلت : وفي قول الأشعري دليل واضح على بطلان قول الكوثري في تعليقه على ((تبيين كذب المفتري)) (ص ٢٨) أن كتاب الإبانة هذا هو على طريقة المفوضة في الإمساك عن تعيين المراد، وهو مذهب السلف !
فإن كلام الأشعري الذي نقله المصنف رحمه الله عن ((الإبانة)) وأشارنا إلى محله منه صريح في تعيين المراد، وهو أن الاستواء بمعنى العلو، فأين التفويض والإمساك عن تعيين المراد الذي زعمه الكوثري، ولا شك أن قوله ((وهو مذهب السلف))، كذب أيضًا كما يعلمه من درس أقوالهم في كتب أصول السنة التي جمعها المصنف رحمه الله تعالى في كتابه ((العلو)) فأوعى، ثم قربتها إليك في ((مختصره)) هذا، منبهًا على ما صح إسناده منها كما ترى.
“Aku katakan : Dalam perkataan Al-Asy’ariy terdapat dalil yang jelas atas bathilnya perkataan Al-Kautsariy dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyiinu Kadzibil-Muftariy (hal. 28) bahwasannya kitab Al-Ibaanah ditulis di atas metode Mufawwidlah dalam menahan diri untuk tidak memberikan penjelasan makna (terhadap sifat Allah). Dan (menurut Al-Kautsariy) inilah manhaj salaf !!
Sesungguhnya perkataan Al-Asy’ariy yang dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabiy) rahimahullah dari kitab Al-Ibaanah, dan juga yang telah kami isyaratkan tempat perkataanya; sangat jelas menunjukkan makna sebenarnya. Yaitu istiwaa’ bermakna al-‘ulluw (tinggi). Lantas, dimana letak tafwidl dan menahan diri dari makna sebenarnya sebagaimana diklaim oleh Al-Kautsariy ? Tidak ragu lagi bahwa perkataannya : ‘dan inilah manhaj salaf’ adalah satu kedustaan juga sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkataan beliau (Al-Asy’ariy) dari kitab-kitab Ushulus-Sunnah (kitab-kitab ‘aqidah) yang dikumpulkan oleh mushannif (Adz-Dzahabi) rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al-‘Ulluw. Kemudian telah aku dekatkan hal itu kepada Anda dalam Mukhtashar (ringkasan) ini, dengan disertai pemberitahuan atas apa yang shahih sanadnya sebagaimana yang Anda lihat”.
[6] Dengan mem-fat-hah huruf tha’ dan men-sukun huruf ra’, merupakan nisbah pada Tharq, sebuah desa di daerah Ashbahan. Beliau wafat setelah tahun 520 H.
[7] Al-Ibaanah, hal. 35-36.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Dan dalam perkataannya : ‘Wahai Penghuni ‘Arsy’, ada pembicaraan, karena sepengetahuanku lafadh tersebut (yaitu : Penghuni) tidak ditemukan dalam khabar yang shahih”.
[8] At-Tabyiin, hal. 148, dan tambahan itu berasal darinya. Ibnu Qaadliy Syuhbah menisbatkan laknat menjelang kematian tersebut kepada Zaahir bin Ahmad. Hal ini sebagaimana terdapat dalam biografinya dalam kitab Asy-Syadzdzaraat (3/131). Ada kemungkinan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dan kekurangan saat ia hendak menisbatkan kepada Al-Asy’ariy, maka pandangannya terhenti pada riwayat dari Zaahir, lantas ia pun menisbatkan laknat itu kepadanya.
Adapun Zaahir, maka ia adalah salah seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat 389 H pada usia 96 tahun.
[9] Dalam At-Tabyiin (hal. 152) tertulis : “i’tiqadnya”.
[10] At-Tabyiin (hal. 152-163) yang telah dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabi) dengan banyak peringkasan. Pernyataan itu terdapat dalam kitab Al-Ibaanah mulai halaman pertama sampai halaman 13.
[11] At-Tabyiin (hal. 129).
[12] Banyak ulama telah menuliskan perihal Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah beserta kitab Al-Ibanah-nya, diantaranya adalah : Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiinu Kadzibil-Muftariy, Al-Imam Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad, Al-Haafidh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, Al-Imam Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, dan yang lainnya.
[13] Namun dalam cetakan yang diberikan ta’liq oleh Al-Kautsariy, tambahan ini ia munculkan. Ia (Al-Kautsariy) melakukannya untuk menuruti hawa nafsunya, padahal hal ini tidak ada dalam naskah/manuskrip aslinya.
Sumber:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/al-imam-abul-hasan-al-asyariy-asyaairah.html?showComment=1294567428302
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]
3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم - إذا دعوا - نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
5. Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
“Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد....)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون - إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، - إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah).
Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana dhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf : Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit.
Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :
Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah
adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr. Fauqiyyah di bawah :
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش، بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat). ‘Arsy tidak membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :
وأن الله استوى على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى).
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, dan Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :
Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna istiwaa’ Allah adalah hakiki, bukan seperti istiwaa’ (bersemayam)-nya makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat ungkapan : al-‘ulluw (ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud (naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله لما قضى الخلق، كتب عنده فوق عرشه: إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no. 7422 dan Muslim no. 2751].
عن أنس قال : فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول: زوَّجكنَّ أهاليكنَّ، وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit” [HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan Al-Haafidh Abu Muhammad Al-Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka berdua dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits rahimahullah. Beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت عليها الذين رأيتهم، مثل سفيان ومالك وغيرهما، الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وأن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.... وذكر سائر الاعتقاد.
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan terhadap persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”. Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun menyebutkan seleuruh i’tiqad-nya” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan di-ta’wil dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan di dalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (وأنكروا أن يكون له عينان…. )
Kalimah عينان dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (وأن له عينين بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (وأن له عينا بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينين tidak warid (datang) di dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عين adalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari yang demikian itu.
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya kalam. Orang ini – dengan tulisannya di atas – semakin menunjukkan minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun sungguh disayangkan jika ia berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak perbedaan lafadh. Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin disebabkan oleh faktor teknis pencetakan ataupun memang perbedaan manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam cetakan kitab para ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir - terhadap Tafsir Ath-Thabariy; Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam; Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman terhadap Al-I’tishaam lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar. Kemudian, para muhaqqiq tersebut melakukan tashhih (koreksi) atas beberapa manuskrip atau cetakan yang ada untuk menghasilkan satu matan kitab yang sesuai dengan aslinya.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang jarang/tidak pernah melakukan penelitian, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh dalam satu cetakan kitab, maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang telah memalsukan kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah kata mata/‘ain (عَيْنٌ) yang merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah – apakah ia berbentuk mufrad (tunggal) atau mutsanna (mempunyai pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan kitab Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu bukan menjadi acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan dengan matan kitab asli, kita harus mengembalikannya kepada matan kitab asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah dalam desertasinya terhadap kitab Al-Ibaanah telah menjelaskan bahwa bentuk mufrad (tunggal) memang terdapat dalam salah satu naskah/manuskrip. Namun dalam naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk mutsannaa (عَيْنَيْنِ). Dan inilah yang mu’tamad (sah) :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulahlah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw (hal. 262) dari kitab At-Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan ini tidaklah bertentangan karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada Allah ta’ala – dimana hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad adalah :
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak berarti hanya menunjukkan satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS. Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak adalah :
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata (‘ainaan - عَيْنَانِ) adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya” - Beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya - . “Sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’ dalam hadits Dajjaal di atas menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir, bukan ta’wil sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat mata (‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
عن عطاء : عن ابن عباس رضي الله عنه في قوله عز وجل : (تَجْرِيْ بِأَعْيُنِنَا) [القمر : ١٤]. قَالَ : أشار بيده إلى عينيه.
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu ‘Abbas berisyarat dengan tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy, 3/411; di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan biografinya, adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-‘Uluumil-Qur’an was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi Allah ta’ala, dengan perkataannya :
وَأَنَّهُ لَيسَ بِأَعْوَرَ بِقَولِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ ذَكَرَ الدَّجَّالَ فَقَالَ : إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ.
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal Dajjaal, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya” [Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ. Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas ketika menetapkan sifat ‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال عز وجل: "الرحمن على العرش استوى" ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى: "الله نور السماوات والأرض" وأن له وجهاً كما قال الله: "ويبقى وجه ربك" وأن له يدين كما قال: "خلقت بيدي" وأن له عينين كما قال: "تجري بأعيننا"
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai cahaya sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi’ (QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana firman Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)” [Maqaalatul-Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261, tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-Hamiid; Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :
Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
سياق ما دل من كتاب الله عز وجل وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم على أن من صفات الله عز وجل الوجه والعينين واليدين
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia mempunyai) wajah, dua mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan yang lainnya dari sifat dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya bukan merupakan tasybih (penyerupaan Allah kepada makhluk-Nya). Apalagi sampai menuduh sebagai mujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim pemalsuan kitab Al-Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama sekali tidak berdasar. Omong kosong belaka. Semakin banyak tuduhan mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya mereka dan seberapa jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj yang haq, sekaligus memberikan petunjuk kepada mereka yang telah tersesat dari jalan-Nya yang lurus.
Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
[1] Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2] Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.
[3] Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4] Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5] Al-Ibaanah, hal. 34-37.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq (komentar) di akhir paragraph ini dengan perkataannya :
قلت : وفي قول الأشعري دليل واضح على بطلان قول الكوثري في تعليقه على ((تبيين كذب المفتري)) (ص ٢٨) أن كتاب الإبانة هذا هو على طريقة المفوضة في الإمساك عن تعيين المراد، وهو مذهب السلف !
فإن كلام الأشعري الذي نقله المصنف رحمه الله عن ((الإبانة)) وأشارنا إلى محله منه صريح في تعيين المراد، وهو أن الاستواء بمعنى العلو، فأين التفويض والإمساك عن تعيين المراد الذي زعمه الكوثري، ولا شك أن قوله ((وهو مذهب السلف))، كذب أيضًا كما يعلمه من درس أقوالهم في كتب أصول السنة التي جمعها المصنف رحمه الله تعالى في كتابه ((العلو)) فأوعى، ثم قربتها إليك في ((مختصره)) هذا، منبهًا على ما صح إسناده منها كما ترى.
“Aku katakan : Dalam perkataan Al-Asy’ariy terdapat dalil yang jelas atas bathilnya perkataan Al-Kautsariy dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyiinu Kadzibil-Muftariy (hal. 28) bahwasannya kitab Al-Ibaanah ditulis di atas metode Mufawwidlah dalam menahan diri untuk tidak memberikan penjelasan makna (terhadap sifat Allah). Dan (menurut Al-Kautsariy) inilah manhaj salaf !!
Sesungguhnya perkataan Al-Asy’ariy yang dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabiy) rahimahullah dari kitab Al-Ibaanah, dan juga yang telah kami isyaratkan tempat perkataanya; sangat jelas menunjukkan makna sebenarnya. Yaitu istiwaa’ bermakna al-‘ulluw (tinggi). Lantas, dimana letak tafwidl dan menahan diri dari makna sebenarnya sebagaimana diklaim oleh Al-Kautsariy ? Tidak ragu lagi bahwa perkataannya : ‘dan inilah manhaj salaf’ adalah satu kedustaan juga sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkataan beliau (Al-Asy’ariy) dari kitab-kitab Ushulus-Sunnah (kitab-kitab ‘aqidah) yang dikumpulkan oleh mushannif (Adz-Dzahabi) rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al-‘Ulluw. Kemudian telah aku dekatkan hal itu kepada Anda dalam Mukhtashar (ringkasan) ini, dengan disertai pemberitahuan atas apa yang shahih sanadnya sebagaimana yang Anda lihat”.
[6] Dengan mem-fat-hah huruf tha’ dan men-sukun huruf ra’, merupakan nisbah pada Tharq, sebuah desa di daerah Ashbahan. Beliau wafat setelah tahun 520 H.
[7] Al-Ibaanah, hal. 35-36.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Dan dalam perkataannya : ‘Wahai Penghuni ‘Arsy’, ada pembicaraan, karena sepengetahuanku lafadh tersebut (yaitu : Penghuni) tidak ditemukan dalam khabar yang shahih”.
[8] At-Tabyiin, hal. 148, dan tambahan itu berasal darinya. Ibnu Qaadliy Syuhbah menisbatkan laknat menjelang kematian tersebut kepada Zaahir bin Ahmad. Hal ini sebagaimana terdapat dalam biografinya dalam kitab Asy-Syadzdzaraat (3/131). Ada kemungkinan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dan kekurangan saat ia hendak menisbatkan kepada Al-Asy’ariy, maka pandangannya terhenti pada riwayat dari Zaahir, lantas ia pun menisbatkan laknat itu kepadanya.
Adapun Zaahir, maka ia adalah salah seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat 389 H pada usia 96 tahun.
[9] Dalam At-Tabyiin (hal. 152) tertulis : “i’tiqadnya”.
[10] At-Tabyiin (hal. 152-163) yang telah dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabi) dengan banyak peringkasan. Pernyataan itu terdapat dalam kitab Al-Ibaanah mulai halaman pertama sampai halaman 13.
[11] At-Tabyiin (hal. 129).
[12] Banyak ulama telah menuliskan perihal Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah beserta kitab Al-Ibanah-nya, diantaranya adalah : Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiinu Kadzibil-Muftariy, Al-Imam Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad, Al-Haafidh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, Al-Imam Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, dan yang lainnya.
[13] Namun dalam cetakan yang diberikan ta’liq oleh Al-Kautsariy, tambahan ini ia munculkan. Ia (Al-Kautsariy) melakukannya untuk menuruti hawa nafsunya, padahal hal ini tidak ada dalam naskah/manuskrip aslinya.
Sumber:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/al-imam-abul-hasan-al-asyariy-asyaairah.html?showComment=1294567428302
KEWAJIBAN BERAGAMA ( MEMAHAMI QUR AN & HADIS ) MENGIKUT PARA SAHABAT NABI SAW
Kewajiban Mengikuti Cara Beragamanya
Para Sahabat
(Tafsir Surat An-Nisa' ayat 115)
___________________________________________________________
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu'min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
(An-Nisa' ayat 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya "Naqdlul Mantiq" telah menafsirkan ayat " jalannya orang-orang mu'min" (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti " jalannya orang-orang mu'min" yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan: Kenapa "sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin" diayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu'min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan;penggalian) dari ayat di atas:
Pertama:Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu'min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua : Mahfumnya, bahwa orang-orang mu'min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu'min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu'min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga : Kalau orang-orang mu'min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu'min manakah? Apakah mu'minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu'tazilah atau Murji'ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).
Keenam: Perjalanan orang-orang mu'min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh: perjalanan orang-orang mu'min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan: Perjalanan orang-orang mu'min yang ijma' (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah hanyalah ijma' para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma' kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma' diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma'. Dan tidak ada yang menyalahi ijma' mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti "selain jalannya orang-orang mu'min".
Kesembilan: Perjalanan orang-orang mu'min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi'in dan tabi'ut tabi'in dan seterusnya.
Kesepuluh: Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.(bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim).
Kesebelas: Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. .(bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim).
Keduabelas: Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka.(Surat Al-Baqarah ayat:13).
Ketigabelas: Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempatbelas: Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah.(Surat At-Taubah ayat:100).
Kelimabelas: Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu'min dengan syarat mereka mengikuti "jalannya orang-orang mu'min yang pertama yaitu para sahabat". Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar.(Surat At-Taubah ayat : 100).
Keenambelas: Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuhbelas: Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir.(Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath ayat:29).
Kedelapanbelas: Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik.(Surat Al-Baqarah ayat 13).
Kesembilanbelas: Rasulullah telah bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian
Yang sesudah mereka
(Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi'in dan yang ketiga adalah tabiut tabi'in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju' cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Keduapuluh: Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada' (haji perpisahan):
Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada Yang tidak hadir.
(Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat).
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
- Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
- Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
- Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta'dil (dinyatakan bersifat adalah:tsiqah/terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama'ah telah ijma' bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi'ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba' si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
- Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluhsatu: Rasulullah telah bersabda :
Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya Salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud.
(Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
Keduapuluhdua: Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah(sorga). (At-Taubah ayat 100).
Keduapuluhtiga:Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluhempat: Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia (Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55).
Keduapuluhlima: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling kuat "Ukhuwwah Islamiyyahnya" ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluhenam: di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: "Barangsiapa yang memusuhi rasul sesudah nyata baginya kebenaran….,niscaya akan palingkan dia….". dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan "dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu'min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah "jalannya orang-orang mu'min yaitu para sahabat". Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur'an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
Ustad Abdul Hakim Bin Amir Abdat
http://groups.yahoo.com/group/assunnah-qatar/message/576
Para Sahabat
(Tafsir Surat An-Nisa' ayat 115)
___________________________________________________________
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu'min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
(An-Nisa' ayat 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya "Naqdlul Mantiq" telah menafsirkan ayat " jalannya orang-orang mu'min" (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti " jalannya orang-orang mu'min" yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan: Kenapa "sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin" diayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu'min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan;penggalian) dari ayat di atas:
Pertama:Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu'min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua : Mahfumnya, bahwa orang-orang mu'min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu'min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu'min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga : Kalau orang-orang mu'min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu'min manakah? Apakah mu'minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu'tazilah atau Murji'ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).
Keenam: Perjalanan orang-orang mu'min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh: perjalanan orang-orang mu'min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan: Perjalanan orang-orang mu'min yang ijma' (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah hanyalah ijma' para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma' kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma' diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma'. Dan tidak ada yang menyalahi ijma' mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti "selain jalannya orang-orang mu'min".
Kesembilan: Perjalanan orang-orang mu'min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi'in dan tabi'ut tabi'in dan seterusnya.
Kesepuluh: Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.(bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim).
Kesebelas: Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. .(bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim).
Keduabelas: Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka.(Surat Al-Baqarah ayat:13).
Ketigabelas: Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempatbelas: Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah.(Surat At-Taubah ayat:100).
Kelimabelas: Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu'min dengan syarat mereka mengikuti "jalannya orang-orang mu'min yang pertama yaitu para sahabat". Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar.(Surat At-Taubah ayat : 100).
Keenambelas: Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuhbelas: Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir.(Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath ayat:29).
Kedelapanbelas: Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik.(Surat Al-Baqarah ayat 13).
Kesembilanbelas: Rasulullah telah bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian
Yang sesudah mereka
(Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi'in dan yang ketiga adalah tabiut tabi'in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju' cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Keduapuluh: Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada' (haji perpisahan):
Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada Yang tidak hadir.
(Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat).
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
- Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
- Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
- Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta'dil (dinyatakan bersifat adalah:tsiqah/terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama'ah telah ijma' bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi'ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba' si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
- Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluhsatu: Rasulullah telah bersabda :
Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya Salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud.
(Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
Keduapuluhdua: Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah(sorga). (At-Taubah ayat 100).
Keduapuluhtiga:Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluhempat: Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia (Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55).
Keduapuluhlima: Perjalanan orang-orang mu'min yang paling kuat "Ukhuwwah Islamiyyahnya" ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluhenam: di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: "Barangsiapa yang memusuhi rasul sesudah nyata baginya kebenaran….,niscaya akan palingkan dia….". dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan "dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu'min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah "jalannya orang-orang mu'min yaitu para sahabat". Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur'an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
Ustad Abdul Hakim Bin Amir Abdat
http://groups.yahoo.com/group/assunnah-qatar/message/576
Monday, September 26, 2011
Salafy diantara Penjelasan, Tuduhan,dan kenyataan 1
Salafy diantara Penjelasan, Tuduhan,dan kenyataan 1
by Abu Iram Al-Atsary
Pelajaran Tentang Manhaj Salaf 1/2
Oleh Asy Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
PEMBAHASAN PERTAMA
Yang Dimaksud Dengan Salafush Shalih
[a] Etimologi (Secara bahasa) :
Ibnul Faris berkata : Huruf sin dan lam dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan “makna terdahulu” termasuk Salaf dalam hal ini adalah “orang-orang yang telah lampau” dan arti dari
"al-qoumu as-salaafu" artinya : mereka yang mereka yang telah terdahulu.
[b] Terminologi (Secara istilah) :
Para peneliti berbeda pendapat dalam mengartikan istilah “Salaf” ini dan terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan, pendapat-pendapat ini banyak sekali, tetapi yang paling penting ada 4 pendapat :
[1]. Sebagian peneliti berpendapat (dengan) membatasi madzhab Salaf pada suatu zaman tertentu dan tidak melebihi zaman itu, kemudian mereka yang berpendapat seperti ini menganggap, bahwa Pemikiran Islami” telah berkembang sesudah itu, dikembangkan oleh orang-orang yang berpendapat seperti ini.
[2]. Sebagian lainnya berpendapat bahwa Salaf adalah mereka yang bersandar pada nash-nash (teks-teks) saja, dan tidak bersandar pada akal sedikitpun dan bahwasanya mereka pasrah kepada nash-nash tanpa memahami apa yang ditunjukkan oleh nash-nash itu, lalu mereka menyerahkan maknanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan bahwasanya mereka tersibukkan dengan berbagai macam ibadah serta hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah Subahanhu wa Ta'ala yang mereka pandang paling bermanfaat.
[3]. Dan kelompok yang lain menyangka bahwa ilmu yang tumbuh dan berkembang dari pelajaran-pelajaran akal dalam ilmu kalam, berasal dan tumbuh dari madzhab Salaf itu sendiri, dan bukanlah disebabkan pengaruh dari luar (Islam).
[4]. Ada juga yang menyangka bahwa madzhab Salaf adalah berdasarkan tujuan-tujuan dan aliran-aliran, dan bahwasanya aliran-aliran ini walaupun berbeda-beda dalam manhaj (metode) tapi diambil dan tumbuh di tangan ulama’ Islam.
Dan mereka yang berpendapat seperti ini telah keliru dalam menentukan yang dimaksud dengan Salaf, yang demikian itu disebabkan karena mereka melihat pada masalah ini berdasarkan pada pokok-pokok manhaj, yang dan tidak bertolak dari sandaran /pijakan syariat yang jelas dan tidak ada yang jelas.
Dan agar kita sampai pada pemahaman yang benar yang dapat menentukan maksud dari "Salaf" dengan penentuan yang cermat, maka kita diharuskan mengambil pelajaran pada beberapa perkara yang penting dari masalah ini.
PERKARA PERTAMA :
Mengenal penentuan berdasarkan zaman untuk menerangkan permulaan madzhab Salaf.
Dan pendapat penting masalah ini bermacam-macam juga, serta terbagai menjadi empat pendapat :
[1]. Di antara para ulama’ ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.
[2]. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi'in (orang yang berguru kepada Shahabat).
[3]. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka yang hidup pada 300 tahun pertama.
Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar ulama’ ahli sunnah berpendapat adalah pendapat ketiga. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama 300 tahun (1 H – 300H) yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam.
PERKARA KEDUA :
Bahwa penentuan zaman tidak cukup untuk memahami makna Salaf, karena kita melihat bahwa kebanyakan dari kelompok-kelompok yang menyimpang dan bid'ah-bid'ah muncul pada masa itu.
Keberadaan seseorang pada zaman itu (1H-300H) , tidak cukuk untuk menghukuminya sebagai seseorang yang berjalan di atas madzhab Salafush Shalih, selama tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dalam perkataan dan perbuatannya, ia (harus) ittiba (mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah) dan bukan berbuat bid'ah (perkara yang tidak terdapat contohnya dalam agama)
Kita menyaksikan kebanyakan para ulama’ membatasi istilah istilah Salaf ini dengan menambah kata shalih (salafus shalih. Seandainya penggunaan kata (salaf) secara mutlak (tanpa penambahan kata shalih) dibolehkan, tentunya para ulama telah menggunakan istilah itu.
Oleh karena itu kata “Salaf” ketika diucapkan secara mutlak wajib untuk diartikan dengan makna para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan orang-orang sesudah mereka, dengan syarat (orang tersebut) berpegang teguh pada metode mereka, dan tidak hanya bermakna orang-orang terdahulu saja.
PERKARA KETIGA :
Bahwa sesudah (adanya) kelompok-kelompok menyimpang dan terjadinya perpecahan, maka kandungan "arti" Salaf senantiasa diterpakan pada "orang yang menjaga keselamatan aqidah (keyakinan) dan Manhaj Islami" sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih yang hidup pada tiga generasi yang penuh dengan keutamaan. Dan sebagian dari para ulama’ ada yang mengistilahkan Salaf dengan nama-nama lain yang sesuai dengan syari'at Islam yaitu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, hanya saja kata Salaf lebih khusus (maknanya) dari kata Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
PEMBAHASAN KEDUA.
Dalil-dalil yang menunjukkan kewajibnya mengikuti Salafush Shalih dan berpegang teguh pada madzhab mereka.
[a] Dalil Dari Al Qur'anul Karim.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisa : 115]
"Artinya : orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaanNya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.
[b]. Dalil Dari Hadits
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata :
Rasulullah telah bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”. [Muttafaqun alaihi]
Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu 'anhum:
"Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah ssesat" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Darimi]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup sepeninggal beliau. Yang demikian itu ketika mereka terjatuh ke dalam perselisihan dan perpecahan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang “Firqatun Najiyah” kelompok yang selamat) dalam hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Kelompok yang selamat adalah) kelompok yang berpijak di atas pemahamanku hari ini dan pemahaman shahabat-shahabatku”.
Maka pengikut mereka (Salafush Shalih) adalah termasuk kelompok yang selamat yang selamat, dan (mereka) yang menjauhi Salafush Shalih adalah termasuk orang-orang yang diancam (dengan siksa).
[c]. Dalil Dari perkataan Salafush Shalih
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata :
"Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi”.
Demikianpula ia berkata berkata :
"Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh para Shahabat Rasulullah, karena mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang paling baik keadaannya dan paling lurus petunjuknya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus”.
Imam Al Auza’i berkata :
"Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) lelusa pula bagi mereka"
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirrah Al-Islamiyah, edisi Th I/No : 05/1424/2003, Terjemahan dari Majalah Al-Ashalah edisi 23 hal 33]
by Abu Iram Al-Atsary
Pelajaran Tentang Manhaj Salaf 1/2
Oleh Asy Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
PEMBAHASAN PERTAMA
Yang Dimaksud Dengan Salafush Shalih
[a] Etimologi (Secara bahasa) :
Ibnul Faris berkata : Huruf sin dan lam dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan “makna terdahulu” termasuk Salaf dalam hal ini adalah “orang-orang yang telah lampau” dan arti dari
"al-qoumu as-salaafu" artinya : mereka yang mereka yang telah terdahulu.
[b] Terminologi (Secara istilah) :
Para peneliti berbeda pendapat dalam mengartikan istilah “Salaf” ini dan terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan, pendapat-pendapat ini banyak sekali, tetapi yang paling penting ada 4 pendapat :
[1]. Sebagian peneliti berpendapat (dengan) membatasi madzhab Salaf pada suatu zaman tertentu dan tidak melebihi zaman itu, kemudian mereka yang berpendapat seperti ini menganggap, bahwa Pemikiran Islami” telah berkembang sesudah itu, dikembangkan oleh orang-orang yang berpendapat seperti ini.
[2]. Sebagian lainnya berpendapat bahwa Salaf adalah mereka yang bersandar pada nash-nash (teks-teks) saja, dan tidak bersandar pada akal sedikitpun dan bahwasanya mereka pasrah kepada nash-nash tanpa memahami apa yang ditunjukkan oleh nash-nash itu, lalu mereka menyerahkan maknanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan bahwasanya mereka tersibukkan dengan berbagai macam ibadah serta hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah Subahanhu wa Ta'ala yang mereka pandang paling bermanfaat.
[3]. Dan kelompok yang lain menyangka bahwa ilmu yang tumbuh dan berkembang dari pelajaran-pelajaran akal dalam ilmu kalam, berasal dan tumbuh dari madzhab Salaf itu sendiri, dan bukanlah disebabkan pengaruh dari luar (Islam).
[4]. Ada juga yang menyangka bahwa madzhab Salaf adalah berdasarkan tujuan-tujuan dan aliran-aliran, dan bahwasanya aliran-aliran ini walaupun berbeda-beda dalam manhaj (metode) tapi diambil dan tumbuh di tangan ulama’ Islam.
Dan mereka yang berpendapat seperti ini telah keliru dalam menentukan yang dimaksud dengan Salaf, yang demikian itu disebabkan karena mereka melihat pada masalah ini berdasarkan pada pokok-pokok manhaj, yang dan tidak bertolak dari sandaran /pijakan syariat yang jelas dan tidak ada yang jelas.
Dan agar kita sampai pada pemahaman yang benar yang dapat menentukan maksud dari "Salaf" dengan penentuan yang cermat, maka kita diharuskan mengambil pelajaran pada beberapa perkara yang penting dari masalah ini.
PERKARA PERTAMA :
Mengenal penentuan berdasarkan zaman untuk menerangkan permulaan madzhab Salaf.
Dan pendapat penting masalah ini bermacam-macam juga, serta terbagai menjadi empat pendapat :
[1]. Di antara para ulama’ ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.
[2]. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi'in (orang yang berguru kepada Shahabat).
[3]. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka yang hidup pada 300 tahun pertama.
Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar ulama’ ahli sunnah berpendapat adalah pendapat ketiga. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama 300 tahun (1 H – 300H) yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam.
PERKARA KEDUA :
Bahwa penentuan zaman tidak cukup untuk memahami makna Salaf, karena kita melihat bahwa kebanyakan dari kelompok-kelompok yang menyimpang dan bid'ah-bid'ah muncul pada masa itu.
Keberadaan seseorang pada zaman itu (1H-300H) , tidak cukuk untuk menghukuminya sebagai seseorang yang berjalan di atas madzhab Salafush Shalih, selama tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dalam perkataan dan perbuatannya, ia (harus) ittiba (mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah) dan bukan berbuat bid'ah (perkara yang tidak terdapat contohnya dalam agama)
Kita menyaksikan kebanyakan para ulama’ membatasi istilah istilah Salaf ini dengan menambah kata shalih (salafus shalih. Seandainya penggunaan kata (salaf) secara mutlak (tanpa penambahan kata shalih) dibolehkan, tentunya para ulama telah menggunakan istilah itu.
Oleh karena itu kata “Salaf” ketika diucapkan secara mutlak wajib untuk diartikan dengan makna para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan orang-orang sesudah mereka, dengan syarat (orang tersebut) berpegang teguh pada metode mereka, dan tidak hanya bermakna orang-orang terdahulu saja.
PERKARA KETIGA :
Bahwa sesudah (adanya) kelompok-kelompok menyimpang dan terjadinya perpecahan, maka kandungan "arti" Salaf senantiasa diterpakan pada "orang yang menjaga keselamatan aqidah (keyakinan) dan Manhaj Islami" sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih yang hidup pada tiga generasi yang penuh dengan keutamaan. Dan sebagian dari para ulama’ ada yang mengistilahkan Salaf dengan nama-nama lain yang sesuai dengan syari'at Islam yaitu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, hanya saja kata Salaf lebih khusus (maknanya) dari kata Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
PEMBAHASAN KEDUA.
Dalil-dalil yang menunjukkan kewajibnya mengikuti Salafush Shalih dan berpegang teguh pada madzhab mereka.
[a] Dalil Dari Al Qur'anul Karim.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisa : 115]
"Artinya : orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaanNya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.
[b]. Dalil Dari Hadits
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata :
Rasulullah telah bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”. [Muttafaqun alaihi]
Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu 'anhum:
"Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah ssesat" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Darimi]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup sepeninggal beliau. Yang demikian itu ketika mereka terjatuh ke dalam perselisihan dan perpecahan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang “Firqatun Najiyah” kelompok yang selamat) dalam hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Kelompok yang selamat adalah) kelompok yang berpijak di atas pemahamanku hari ini dan pemahaman shahabat-shahabatku”.
Maka pengikut mereka (Salafush Shalih) adalah termasuk kelompok yang selamat yang selamat, dan (mereka) yang menjauhi Salafush Shalih adalah termasuk orang-orang yang diancam (dengan siksa).
[c]. Dalil Dari perkataan Salafush Shalih
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata :
"Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi”.
Demikianpula ia berkata berkata :
"Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh para Shahabat Rasulullah, karena mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang paling baik keadaannya dan paling lurus petunjuknya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus”.
Imam Al Auza’i berkata :
"Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) lelusa pula bagi mereka"
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirrah Al-Islamiyah, edisi Th I/No : 05/1424/2003, Terjemahan dari Majalah Al-Ashalah edisi 23 hal 33]
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menetapkan Sifat al-‘Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza Wa Jalla
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menetapkan Sifat al-‘Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza Wa Jalla
Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah سبحانه و تعالى ini -sebagai-mana sifat Allah سبحانه و تعالى lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur'an dan As-Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah سبحانه و تعالى di atas seluruh makhluk-Nya.
Di antara dalil dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah:
...
1. Firman Allah Azza wa Jalla
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk : 16]
2. Firman Allah Azza wa Jalla
"Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl : 50]
3. Firman Allah Azza wa Jalla
"Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa : 1]
4. Firman Allah Azza wa Jalla
"Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]
5. Pertanyaan Nabi صلی الله عليه وسلم kepada seorang budak wanita:
أَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
.
"Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” [1]
Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim: “Di mana Allah?”
Kedua, jawaban yang ditanya adalah: “Di (atas) langit”
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, ber-arti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم). [2]
6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj.
Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata: [3] “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan:
فَحُمِلْتُ عَلَيْهِ فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتُفْتِحَ
.
"Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’ [4]
Kemudian naiknya Nabi صلی الله عليه وسلم hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
7. Jawaban Rasulullah صلی الله عليه وسلم kepada Dzul Khuwasyirah:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟
"Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” [5]
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” [6]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami رضي الله عنه
[2]. Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
[3]. Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264)) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah رضي الله عنه. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[6]. Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki, lihat juga kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).
Kategori: Aqidah Ahlus Sunnah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Senin, 9 Juli 2007 22:28:28 WIB
Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah سبحانه و تعالى ini -sebagai-mana sifat Allah سبحانه و تعالى lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur'an dan As-Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah سبحانه و تعالى di atas seluruh makhluk-Nya.
Di antara dalil dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah:
...
1. Firman Allah Azza wa Jalla
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk : 16]
2. Firman Allah Azza wa Jalla
"Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl : 50]
3. Firman Allah Azza wa Jalla
"Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa : 1]
4. Firman Allah Azza wa Jalla
"Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]
5. Pertanyaan Nabi صلی الله عليه وسلم kepada seorang budak wanita:
أَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
.
"Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” [1]
Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim: “Di mana Allah?”
Kedua, jawaban yang ditanya adalah: “Di (atas) langit”
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, ber-arti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم). [2]
6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj.
Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata: [3] “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan:
فَحُمِلْتُ عَلَيْهِ فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتُفْتِحَ
.
"Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’ [4]
Kemudian naiknya Nabi صلی الله عليه وسلم hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
7. Jawaban Rasulullah صلی الله عليه وسلم kepada Dzul Khuwasyirah:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟
"Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” [5]
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” [6]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami رضي الله عنه
[2]. Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
[3]. Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264)) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah رضي الله عنه. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[6]. Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki, lihat juga kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).
Kategori: Aqidah Ahlus Sunnah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Senin, 9 Juli 2007 22:28:28 WIB
Apakah Disyari'atkan Adzan Dan Iqamat Bagi Kaum Wanita
Apakah Disyari'atkan Adzan Dan Iqamat Bagi Kaum Wanita
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah di Syari'atkan adzan dan iqamat bagi kaum wanita, baik sedang dalam perjalanan ataupun yang tidak, dan saat sendiri ataupun sedang bersama-sama ?
Jawaban
Tidak disyariatkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
...
[Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, syaikh Ibnu Baaz, hal. 32. Lihat buku At-Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashshu bil Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 27]
ADZAN WANITA DI TENGAH-TENGAH KAUM WANITA ATAU SAAT SENDIRIAN
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah wajib bagi wanita melakukan adzan dan iqamat untuk mendirikan shalat seorang diri di dalam rumah atau saat melakukan shalat jama'ah sesama kaum wanita ?
Jawaban
Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan hal itu dan juga tidak disyari'atkan bagi mereka untuk adzan dan iqamat.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' I/83, No. 9419]
APAKAH SEORANG WANITA HARUS IQAMAT SAAT IA MENJADI IMAM
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah :Lil Ifta' ditanya : Saya telah mengetahui bahwa seorang wanita tidak boleh iqamat, lalu pakah disyari'atkan baginya beriqamat jika ia mengimami shalat kaum wanita.?
Jawaban
Tidak disunnahkan beriqamat bagi jama'ah shalat kaum wanita yang diimami wanita pula. Ketetapan ini juga berlaku bagi wanita yang melakukan shalat sendiri, sebagaimana tidak disyari'atkan bagi mereka mengumandangkan adzan.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' hal. 84 No. 5176]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah di Syari'atkan adzan dan iqamat bagi kaum wanita, baik sedang dalam perjalanan ataupun yang tidak, dan saat sendiri ataupun sedang bersama-sama ?
Jawaban
Tidak disyariatkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
...
[Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, syaikh Ibnu Baaz, hal. 32. Lihat buku At-Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashshu bil Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 27]
ADZAN WANITA DI TENGAH-TENGAH KAUM WANITA ATAU SAAT SENDIRIAN
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah wajib bagi wanita melakukan adzan dan iqamat untuk mendirikan shalat seorang diri di dalam rumah atau saat melakukan shalat jama'ah sesama kaum wanita ?
Jawaban
Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan hal itu dan juga tidak disyari'atkan bagi mereka untuk adzan dan iqamat.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' I/83, No. 9419]
APAKAH SEORANG WANITA HARUS IQAMAT SAAT IA MENJADI IMAM
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah :Lil Ifta' ditanya : Saya telah mengetahui bahwa seorang wanita tidak boleh iqamat, lalu pakah disyari'atkan baginya beriqamat jika ia mengimami shalat kaum wanita.?
Jawaban
Tidak disunnahkan beriqamat bagi jama'ah shalat kaum wanita yang diimami wanita pula. Ketetapan ini juga berlaku bagi wanita yang melakukan shalat sendiri, sebagaimana tidak disyari'atkan bagi mereka mengumandangkan adzan.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' hal. 84 No. 5176]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Benarkah Shalat Jum'at Sebagai Pengganti Shalat Zhuhur Dan Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita
Benarkah Shalat Jum'at Sebagai Pengganti Shalat Zhuhur Dan Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat Jum'at, apakah ia tidak berkewajiban lagi untuk melaksanakan shalat Zhuhur .?
Jawaban
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam Jum'at, maka telah cukup shalat Jum'at itu untuk menggantikan pelaksanaan shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum'at.
...
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4147]
HUKUM SHALAT JUM'AT BAGI WANITA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta diatanya : Apa hukumnya pelaksanaan shalat Jum'at bagi wanita, apakah shalat itu dilakukan sebelum atau sesudah kaum pria atau bersama-sama mereka .?
Jawaban
Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, tapi jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal 153-154, penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat Jum'at, apakah ia tidak berkewajiban lagi untuk melaksanakan shalat Zhuhur .?
Jawaban
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam Jum'at, maka telah cukup shalat Jum'at itu untuk menggantikan pelaksanaan shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum'at.
...
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4147]
HUKUM SHALAT JUM'AT BAGI WANITA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta diatanya : Apa hukumnya pelaksanaan shalat Jum'at bagi wanita, apakah shalat itu dilakukan sebelum atau sesudah kaum pria atau bersama-sama mereka .?
Jawaban
Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, tapi jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal 153-154, penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
PENGAKUAN KELOMPOK JAMA'AH TABLIGH_MENURUT MANTAN PENGIKUTNYA
PENGAKUAN KELOMPOK JAMA'AH TABLIGH_MENURUT MANTAN PENGIKUTNYA
by Alam Islamy
BAB III
PENGAKUAN MANTAN JAMA’AH TABLIGH
Beberapa mantan Jama’ah Tabligh dan para Ulama’ lainnya yang telah memahami dengan benar tentang JT ini telah sepakat atas sesatnya JT. Berikut ini kita ikuti penjelasan beliau, semoga kita dikaruniakan pemahaman yang benar oleh Allah subhanahu wa ta’ala agar dapat menyikapi dengan benar:
1. Asy Syaikh Sarda Muhammad Al Bakistani rahimahullah
Beliau berkata : “Inilah pengalamanku selama 10 tahun bersama JT. Sungguh JT dan Ulama’nya taklid buta terhadap Abu Hanifah dan berlebihan terhadapnya, bahwa semua yang keluar dari Ulama’nya JT selalu dibawa (ditafsirkan) kepada kebaikan, walaupun sudah jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara semua ucapan setiap orang yang bukan dari JT maka ucapan itu dianggap kedustaan dan mengada-ada.
JT telah membedakan antara dunia dengan agama (sekuler). JT mengimani 4 tokoh thariqah Sufi yaitu : Al-Jistiyah, An-Naqsyabandiyah, Al-Qadariyah, dan As-Sahrawiyah. Orang JT meyakini bahwa seorang yang meninggal dunia dan belum berbai’at kepada salah satu dari thariqah ini maka matinya mati jahiliyah.
Orang-orang JT lebih mencintai Syaikh-syaikh mereka di atas kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih takut kepada murka Syaikh mereka daripada kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Orang JT meyakini bahwa Aqidah yang dibawa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam adalah kesyirikan, sedangkan aqidah yang ada pada Syaikh-syaikh mereka Ad-Duyubandiyah dari JT itulah keimanan dan Islam. Syari’at itu ada yang datang dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan ada yang datang dari Syaikhnya JT.
2. Asy-Syaikh Abdurrohim Syah Ad-Duyubandi
Beliau telah melalui waktu yang panjang bersama pendiri JT, yaitu Muhammad Ilyas dan putra Muhammad Ilyas, yaitu Muhammad Yusuf. Beliau berkata : “Sesungguhnya keadaan JT ini harus kita sampaikan kepada umat karena sesungguhnya mereka itu adalah para da’i yang belum sampai kepada derajat da’i. Mereka memulai kegiatan dengan latihan berbicara di depan muslimin. Padahal kita dapati manusia tidak berani berbicara masalah kedokteran jika mereka belum menguasai ilmunya, tetapi JT ini sangat menganggap enteng (remeh) dalam urusan agama, walaupun belum mengerti apa-apa. Mengapa mereka (orang-orang JT) begitu beraninya? Karena keyakinan mereka, barangsiapa yang telah khuruj dua kali atau tiga kali, jangan ditanya lagi tentang ketinggian derajat mereka, para Ulama di hadapan mereka tidak ada apa-apanya.”
3. Asy-Syaikh Ihtisyamul Hasan Al-Kandahlawi Ad Duyubandi
Beliau adalah suami saudari Muhammad Ilyas (Ipar). Beliau bukan hanya sebagai mantan amir JT, tetapi sudah menjadi Khalifah JT pada kurun pertama. Beliau dalam waktu yang lama memimpin JT bersama Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi. Beliau berkata : “Sesungguhnya dakwah yang muncul dari markas Nizhamuddin Dahli bukan dakwah Ilmu dan Fiqih yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib bagi seluruh Masyayaikh yang telah menegakkan dakwah dan tabligh agar mencocoki thariqahnya Salafush Shalih dan Ulama’ yang benar.”
4. Asy Syaikh Saifurrohman bin Ahmad Ad Dahlawi
Beliau berkata : Sungguh benar orang yang mengatakan bahwa Yahudinya umat Islam adalah Syi’ah, sedangkan Yahudinya Ahlussunnah adalah orang yang taklid buta kepada Hanafi seperti JT, yang mereka menjadi penolong-penolong kejahilan dan taklid. Mereka adalah para penyembah tokoh-tokoh mereka dan mereka mengagungkan tokoh-tokoh mereka. Mereka telah menyuburkan kebid’ahan di dalam kaum muslimin. Mereka mewajibkan kepada muslimin suatu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka telah membuat syari’at dengan suatu syari’at yang tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mencintai ahli bid’ah sungguh dia telah menolong menghancurkan Islam.”
Beliau shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda :
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menahan taubat bagi ahli bid’ah.”
(Shahih Al Jami’ush Shoghir)
5. Asy-Syaikh Taqiyuddin Al Hilaly rahimahullah
Beliau mempersaksikan JT dengan mengatakan : “Telah muncul di abad ke-14 ini di negeri-negeri kaum muslimin, mulai dari timur sampai barat, gerakan dakwah yang pelakunya menampakkan keikhlasan, sabar, menahan beban di dalam berdakwah. Mereka kerahkan seluruh jiwa dan raga untuk pelaksanaan dakwah, yaitu dakwahnya suatu (Jama’ah Tabligh). Mereka meletakkan 6 rukun sebagai dasar dakwah mereka (gerakan dakwah mereka disebut khuruj). Khuruj bagi JT merupakan pondasi dasar dakwah mereka (artinya JT tidak akan berkembang tanpa khuruj, pent). Kedudukan khuruj ini seperti 2 kalimat syahadat di kalangan ahli istiqamah.
Barangsiapa yang mau menerima dan menyibukkan diri dengan khuruj, mereka akan dicintai dan dimulyakan dan dimintakan ampun (oleh orang-orang JT). Adapun yang tidak mau khuruj dengan JT, walaupun orang tersebut telah melaksanakan seluruh kewajiban, fardlu-fardlu, dan sunnah-sunnah. Dengan khuruj ini, ukuran bagi orang-orang JT untuk mencintai dan membenci (memusuhi) seseorang.
Sungguh dakwah JT ini telah menimbulkan bahaya besar di kalangan muslimin, baik bahaya dunia maupun akhirat, diantaranya yaitu :
1. Berbagai bid’ah dan perselisihan terhadap sunnah Nabi.
2. Melalaikan kewajiban terhadap keluarga, dengan tidak menunaikan hak-hak mereka.
3. Telah memalingkan para penuntut ilmu yang bermanfaat, baik ilmu dunia maupun agama
(karena selalu diajak khuruj, pent)
4. Terbengkalainya pekerjaan (karena selalu khuruj).
5. Berapa banyak terjadi pertengkaran dan perpisahan antara orang tua dengan anaknya, antara
suami dengan istrinya.
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kami mengeluhkan, kemudian kepada manusia atas bahaya kerusakan dan penyesatan besar yang ditimbulkan dari gerakan dakwahya JT ini. Maka wajib hukumnya bagi kaum muslimin yang memiliki sedikit ilmu untuk mengurangi kerusakan dan kejelekan yang diakibatkan gerakan dakwah JT ini dengan cara menjelaskan kepada muslimin kesesatan dan penyesatan JT sebagai pengamalan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqoroh : 159-160)
BAB IV
KASYFUSY SYUBHAT
(Menyingkap Kerancuan Jama’ah Tabligh)
Setelah diterbitkan buku kecil dan tipis berjudul ‘Menguak Kesesatan Jama’ah Tabligh’, banyak tanggapan, sanggahan, dan pembelaan baik dari orang yang mengaku Jama’ah Tabligh (JT) maupun dari luar JT, baik melalui telepon maupun SMS.
Sebenarnya para Ulama’ Ahlussunnah telah sepakat atas kesesatan Jama’ah Tabligh, hanya saja bagi
JT atau kelompok lain yang tidak mengerti prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah di dalam memahami dan mengamalkan Islam, menjadikan penjelasan para Ulama’ tentang kesesatan JT menjadi samar dan rancu (buram dihadapan mereka). Hal ini karena jauhnya mereka dari ilmu yang benar, yaitu yang telah dipahami oleh sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik, As-Salafy Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Berikut ini kami sampaikan kepada pembaca tentang kerancuan-kerancuan dari orang-orang yang mengaku JT atau para pembela JT yang telah menghubungi penulis. Karena banyaknya SMS atau telepon yang masuk, saya tidak perlu menyebutkan nama atau nomor HP atau telepon mereka. Saya hanya sebutkan kerancuan-kerancuan saja dan tanggapan saya, orang-orang yang mengaku JT atau pembela JT saya sebut fulan dan apabila berpindah pada orang lain saya sebut fulan ke-2 dan seterusnya. Lalu, teks SMS-nya pun sudah dalam bentuk rangkuman dari penulis karena yang dibutuhkan di sini adalah penjelasan kerancuannya.
Berikut petikannya :
Fulan : Buku Ustadz hanya fitnah karena apa yang ditulis benar-benar
tidak ada di lapangan. Kalau anda orang laki-laki, ayo sekarang turun ke
lapangan. Kalau tidak mau, sebaiknya Anda pakai kerudung saja!
Jawab : Untuk mengetahui kebenaran itu tidak mesti harus turun lapangan, tetapi hadir di
majelis-majelis ilmu dengan duduk di depan Ulama’, Ustadz, atau membaca kitab
para Ulama’ dan mendengarkan kaset-kasetnya para Ulama’, seperti kalau kita
ingin shalat yang benar maka tidak perlu turun ke lapangan, tetapi dengan taklim
atau membaca kitabnya para Ulama’. Adapun lapangan, kebanyakan lipstik atau
tipuan belaka.
Fulan : Buku Ustadz hanya fitnah.
Jawab : Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63)
Al Imam Ibnu Katsir mengatakan terhadap ayat ini, bahwa fitnah yang dimaksud adalah nifak, bid’ah…maka JT itulah fitnah.
Fulan : Sifat sahabat (yaitu 6 rukun JT) itu disebut bid’ah?
Jawab : Tidak ada riwayat atau ucapan para Ulama yang mengutamakan
bahwa 6 rukun JT adalah sifat sahabat. Sifat sahabat itu tidak dibatasi hanya 6
contoh, sahabat siapa yang khuruj 3 hari tiap bulan?
Fulan : Kalau sahabat khuruj seumur hidup, bukan 3 hari atau 40 hari,
sedangkan JT karena iman yang lemah maka dibatasi 3 hari, 40 hari dan seterusnya.
Jawab : Kalau begitu maka tidak benar bahwa khuruj dikatakan sebagai sifat sahabat
karena tidak ada sahabat yang khuruj 3 hari tiap bulan dan seterusnya. Berarti ini
hanya kedustaan dari JT atas nama sahabat dan dengan ini JT telah membuat
syari’at baru dalam agama Islam yang telah sempurna ini.
Fulan : Ustadz dan kelompoknya hanya merasa benar sendiri, tidak menghargai saudara
yang lain, suka memecah belah, dan ini sifat Yahudi, berapa anda digaji?
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kalau kalian melihat kemungkaran
maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu ubahlah dengan lisan, dan
seterusnya. Kalau saya dan kelompok saya adalah antek Yahudi, datangkan saksi
dan bukti jika Anda benar dan jujur.
Fulan ke-2 : Kenapa anda kok begitu bencinya kepada JT, padahal JT-lah yang telah
memakmurkan masjid, berdakwah menyadarkan muslimin. Berapa banyak
pemabuk menjadi tekun, orang kafir masuk islam.
Jawab : Karena JT itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.
Adapun berdakwah tidak harus ikut JT.
Fulan : Kelompok anda hanya memecah belah dan menghasut.
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam datang untuk memecah belah , antara haq dan
batil, antara ahli tauhid dan ahli syirik, antara Islam dan kekafiran sehingga menjadi
jelas dan berbeda antara gelap dan cahaya.
Fulan ke-2 : Bukankah Anda tahu besarnya dosa menghasut dan memecah belah, menghina
dan merendahkan orang lain?
Jawab : Di dalam Islam, jangankan mencela, membunuh pun asalkan dengan alasan yang
benar, dibolehkan.
Fulan ke-3 : Sebaiknya anda datang dulu ke markas JT, tanya apakah di sana itu seperti yang
Anda tulis, kalau tidak berarti fitnah.
Jawab : Belajar itu kepada para Ulama, bukan kepada ahli bid’ah agar tidak tertular virus
kesesatannya.
Fulan ke-3 : Saya ini orang awam dan saya ini antigolongan, sedangkan golongan anda suka
mencari kesalahan orang lain, itulah antek Yahudi, berapa anda digaji?
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Islam itu terpecah menjadi 73
golongan dan satu golongan yang selamat, berarti Anda tidak mau menjadi satu
golongan yang selamat tersebut karena Anda mengaku antigolongan?!
Fulan ke-3 : Apakah satu golongan tersebut yang suka memfitnah? Kalau Anda mengatakan
72:1, tetapi kalau JT diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang menilainya.
Jawab : Yang jelas Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda dan satu golongan yang
selamat dan Anda tidak mau golongan tersebut karena Anda bilang antigolongan,
kalau Anda bukan di dalam 73 golongan berarti Anda bukan Islam?
Fulan ke-3 : Saya masih mencari satu golongan yang selamat tersebut.
Jawab : Kalau begitu Anda tidak benar telah mengatakan antigolongan, maka hati-hatilah!
Fulan ke-4 : Siapa yang berani menyesatkan JT? Anda hanya memfitnah, tidak mengerti
lapangan.
Jawab : Para Ulama’ sepakat bahwa JT itu penuh ajaran sesat dan bid’ah.
Fulan ke-4 : Ulama’ anda adalah Ulama’ Mosad.
Jawab : Anda hanya latah pada kelompok Hidayatullah yang menuduh Ulama’ itu sebagai
agen mosad. Anda dan Hidayatullah tidak bisa membawa bukti dan saksi, kecuali
mengambil berita dari orang-orang kafir. Bagaimana Anda dan Hidayatullah bisa
mempercayai orang kafir untuk menjelekkan para Ulama’?
Fulan ke-4 : JT tetap eksis, pengikutnya tambah banyak, walaupun difitnah tidak berpengaruh?
Jawab : Eksis ajaran sesat tidak mengurangi kesesatan JT. Semakin banyak pengikutnya
semakin memperbesar dosa para da’inya, kebenaran tidak diukur dengan
banyaknya pengikut, tetapi diukur dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman para As Salafush Sholih.
Fulan ke-5 : Segeralah bertaubat! Kenapa Anda habiskan tenaga untuk memerangi JT, karena
JT semakin ditekan semakin eksis.
Jawab : Anda jangan GR dulu, saya tidak ada urusan dengan orang-orang JT, saya cuma
menasehati muslimin dari kesesatan JT.
Fulan ke-5 : Para pelacur anda biarkan, saudara yang mengajak ke masjid disesatkan. Siapa di
dunia ini yang berdakwah mengajak saudaranya ke masjid, yang selalu
memakmurkan masjid-masjid?
Jawab : Bahaya bid’ah itu lebih besar dari kemaksiatan karena bid’ah itu merusak agama
yang sempurna, sedangkan kemaksiatan melanggar agama. Pelaku bid’ah lebih sulit
untuk dinasihati dan lebih sulit untuk bertaubat karena mereka merasa di atas
petunjuk dan tidak merasa bersalah, sedangkan pelacur, mereka tetap meyakini
perbuatannya adalah maksiat dan dosa sehingga Ulama’ mengatakan : “Perbuatan
bid’ah dan pelakunya itu lebih disukai iblis daripada maksiat dan Allah subhanahu
wa ta’ala lebih memurkai perbuatan bid’ah dan pelaku maksiatnya daripada
maksiat.” Dan yang saya ketahui bahwa JT itu bukan memakmurkan masjid, tetapi
menyebarkan virus kesesatan di kalangan muslimin dan mengotori masjid-masjid
muslimin.
Dari sini kita dapat membuktikan secara jelas bahwa JT itu bukanlah ahli dakwah yang menyeru kepada al haq, tetapi merupakan gerakan dakwah yang menyeru kepada thariqah pendiri JT, yaitu Muhammad Ilyas Al Kandahlawi sebagaimana ini merupakan sifat dari semua kelompok sempalan yang menyeru kepada pendiri kelompok tersebut. Hal ini berbeda dengan prinsip dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang senantiasa menyeru kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafus Shalih.
Wallahu a’lam bish shawab
KESIMPULAN
Sekiranya buku kecil ini dapat mencukupi bagi para pembaca sekalian untuk menjadikan cara atau alasan mewaspadai diri-diri kita, keluarga kita, dan saudara-saudara kita dari pergerakan ajaran Brahma dan Budha yang dimasukkan ke dalam Islam oleh orang-orang firqah Tabligh.
Mengikuti ajaran sesat sangatlah berbahaya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kepada saudara-saudaraku sekalian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, hendaknya ekstra hati-hati, ekstra waspada, jangan tertipu oleh kesopanan, keramahan, kelembutan, kekhusyu’an shalat mereka, kesabaran dan keteguhan mereka, dan kesantunan berbagai lipstik indah lainnya karena di balik semua itu penuh bahaya kekufuran, kesyirikan, dan kesesatan.
Kepada para ta’mir masjid, hendaknya tidak mengizinkan rombongan Tabligh untuk menempati masjidnya, karena kalau memberi izin kepada mereka berarti membuka pintu bagi Tabligh untuk menyebarkan virus kesesatan Jama’ah Tabligh kepada Jama’ahnya. Selain itu juga merupakan lampu hijau bagi Tabligh untuk menularkan virus kesesatan mereka kepada masyarakat sekitar masjid, di samping aktivitas mereka selama di masjid yang dapat mengotori masjid. Para ta’mir bertanggung jawab dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala atas amanahnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi diri kita dan keluarga kita dari kelompok firqah Tabligh.
Amiinn…..Wallalhu a’lam bish shawwab
Penutup
Harapan besar dari penerbitan buku kecil ini adalah sebagai nasihat kepada saudara-saudara kami yang menjadi pengikut JT agar segera menyadari dan segera bertaubat mengambil pelajaran karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena hanya orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang bisa mengambil pelajaran dan peringatan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran.”
(QS. Al A’laa: 10)
Adapun orang yang binasa akan berpaling dari nasihat dan peringatan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang celaka akan menjauhinya, (yaitu) orang akan memasuki api yang besar (neraka).”
(QS. Al-A’laa: 11-12)
Dan telah banyak muslimin yang sempat terjerumus di dalam kesesatan JT ini, kemudian mereka kembali kepada jalan yang benar, yaitu thariqah (jalan) yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang mereka telah di ridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 100)
Dengan tidak mengurangi dan menambah dari thoriqoh yang telah dinyatakan sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (QS. Al Ma’idah : 3)
Semoga buku ini ditulis semata-mata mendorong untuk saling menasihati dalam kebaikan, ikhlas karena mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari hasad dan dengki. Karena sudah jelas dikalangan muslimin berdasarkan dalil-dalil yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.
Segala khilaf dan salah dalam buku ini adalah semata-mata dari penulis. Dan penulis bertaubat serta berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala baik di dunia ini maupun di akhirat kelak dan segala kebenaran yang terdapat dalam buku ini semata-mata dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menyelamatkan kita dari setiap kesesatan di dunia ini dan menyelamatkan dari siksa-Nya di neraka.
Amiinn…
Sumber :
Buku “Jama’ah Tabligh : Kenyataan & Pengakuan”
Penyusun : Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqohhar Al Atsary
Cetakan : Pertama Jumadil Akhir 1430 H Mei 2010 M
Penerbit : Hikmah Ahlus Sunnah
Perum KCVRI no. 49 Kencuran Ngaglik Sleman, Yogyakarta
REFERENSI
1. Tafsir Al-Qur’an karya Al-Imam Ibnu Katsir
2. Syarah Hadits Muslim karya Al Imam An Nawawi
3. Jama’atu Tabligh Aqoiduha Wata’rifuha karya Asy Syaikh Abu Usamah
Sayyid Tholiburrahman, Penerbit Daarul Bayan Lithob’i Wattauzi’
Islamabad Bakistan
4. Asy-Syari’ah karya Al-Imam Al Aajurri
5. Majalah Asy-Syari’ah edisi no. 07/1425 H/2004 M
6. Mengenal Tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin karya Asy-Syaikh Ahmad An-
Najmi
7. Al Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifha karya Asy Syaikh Abu Ibrohim Ibnu
Sulthon Al Adnany, tanpa penerbit.
8. Mengenal lebih dekat Jama’ah Tabligh bersama Asy Syaikh Ahmad bin
Yahya bin Muhammad An Najmi, Asy Syaikh Hamud At Tuwaijiri dan Asy
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Penerbit Cahaya Tauhid
Press Malang.
by Alam Islamy
BAB III
PENGAKUAN MANTAN JAMA’AH TABLIGH
Beberapa mantan Jama’ah Tabligh dan para Ulama’ lainnya yang telah memahami dengan benar tentang JT ini telah sepakat atas sesatnya JT. Berikut ini kita ikuti penjelasan beliau, semoga kita dikaruniakan pemahaman yang benar oleh Allah subhanahu wa ta’ala agar dapat menyikapi dengan benar:
1. Asy Syaikh Sarda Muhammad Al Bakistani rahimahullah
Beliau berkata : “Inilah pengalamanku selama 10 tahun bersama JT. Sungguh JT dan Ulama’nya taklid buta terhadap Abu Hanifah dan berlebihan terhadapnya, bahwa semua yang keluar dari Ulama’nya JT selalu dibawa (ditafsirkan) kepada kebaikan, walaupun sudah jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara semua ucapan setiap orang yang bukan dari JT maka ucapan itu dianggap kedustaan dan mengada-ada.
JT telah membedakan antara dunia dengan agama (sekuler). JT mengimani 4 tokoh thariqah Sufi yaitu : Al-Jistiyah, An-Naqsyabandiyah, Al-Qadariyah, dan As-Sahrawiyah. Orang JT meyakini bahwa seorang yang meninggal dunia dan belum berbai’at kepada salah satu dari thariqah ini maka matinya mati jahiliyah.
Orang-orang JT lebih mencintai Syaikh-syaikh mereka di atas kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih takut kepada murka Syaikh mereka daripada kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Orang JT meyakini bahwa Aqidah yang dibawa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam adalah kesyirikan, sedangkan aqidah yang ada pada Syaikh-syaikh mereka Ad-Duyubandiyah dari JT itulah keimanan dan Islam. Syari’at itu ada yang datang dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan ada yang datang dari Syaikhnya JT.
2. Asy-Syaikh Abdurrohim Syah Ad-Duyubandi
Beliau telah melalui waktu yang panjang bersama pendiri JT, yaitu Muhammad Ilyas dan putra Muhammad Ilyas, yaitu Muhammad Yusuf. Beliau berkata : “Sesungguhnya keadaan JT ini harus kita sampaikan kepada umat karena sesungguhnya mereka itu adalah para da’i yang belum sampai kepada derajat da’i. Mereka memulai kegiatan dengan latihan berbicara di depan muslimin. Padahal kita dapati manusia tidak berani berbicara masalah kedokteran jika mereka belum menguasai ilmunya, tetapi JT ini sangat menganggap enteng (remeh) dalam urusan agama, walaupun belum mengerti apa-apa. Mengapa mereka (orang-orang JT) begitu beraninya? Karena keyakinan mereka, barangsiapa yang telah khuruj dua kali atau tiga kali, jangan ditanya lagi tentang ketinggian derajat mereka, para Ulama di hadapan mereka tidak ada apa-apanya.”
3. Asy-Syaikh Ihtisyamul Hasan Al-Kandahlawi Ad Duyubandi
Beliau adalah suami saudari Muhammad Ilyas (Ipar). Beliau bukan hanya sebagai mantan amir JT, tetapi sudah menjadi Khalifah JT pada kurun pertama. Beliau dalam waktu yang lama memimpin JT bersama Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi. Beliau berkata : “Sesungguhnya dakwah yang muncul dari markas Nizhamuddin Dahli bukan dakwah Ilmu dan Fiqih yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib bagi seluruh Masyayaikh yang telah menegakkan dakwah dan tabligh agar mencocoki thariqahnya Salafush Shalih dan Ulama’ yang benar.”
4. Asy Syaikh Saifurrohman bin Ahmad Ad Dahlawi
Beliau berkata : Sungguh benar orang yang mengatakan bahwa Yahudinya umat Islam adalah Syi’ah, sedangkan Yahudinya Ahlussunnah adalah orang yang taklid buta kepada Hanafi seperti JT, yang mereka menjadi penolong-penolong kejahilan dan taklid. Mereka adalah para penyembah tokoh-tokoh mereka dan mereka mengagungkan tokoh-tokoh mereka. Mereka telah menyuburkan kebid’ahan di dalam kaum muslimin. Mereka mewajibkan kepada muslimin suatu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka telah membuat syari’at dengan suatu syari’at yang tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mencintai ahli bid’ah sungguh dia telah menolong menghancurkan Islam.”
Beliau shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda :
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menahan taubat bagi ahli bid’ah.”
(Shahih Al Jami’ush Shoghir)
5. Asy-Syaikh Taqiyuddin Al Hilaly rahimahullah
Beliau mempersaksikan JT dengan mengatakan : “Telah muncul di abad ke-14 ini di negeri-negeri kaum muslimin, mulai dari timur sampai barat, gerakan dakwah yang pelakunya menampakkan keikhlasan, sabar, menahan beban di dalam berdakwah. Mereka kerahkan seluruh jiwa dan raga untuk pelaksanaan dakwah, yaitu dakwahnya suatu (Jama’ah Tabligh). Mereka meletakkan 6 rukun sebagai dasar dakwah mereka (gerakan dakwah mereka disebut khuruj). Khuruj bagi JT merupakan pondasi dasar dakwah mereka (artinya JT tidak akan berkembang tanpa khuruj, pent). Kedudukan khuruj ini seperti 2 kalimat syahadat di kalangan ahli istiqamah.
Barangsiapa yang mau menerima dan menyibukkan diri dengan khuruj, mereka akan dicintai dan dimulyakan dan dimintakan ampun (oleh orang-orang JT). Adapun yang tidak mau khuruj dengan JT, walaupun orang tersebut telah melaksanakan seluruh kewajiban, fardlu-fardlu, dan sunnah-sunnah. Dengan khuruj ini, ukuran bagi orang-orang JT untuk mencintai dan membenci (memusuhi) seseorang.
Sungguh dakwah JT ini telah menimbulkan bahaya besar di kalangan muslimin, baik bahaya dunia maupun akhirat, diantaranya yaitu :
1. Berbagai bid’ah dan perselisihan terhadap sunnah Nabi.
2. Melalaikan kewajiban terhadap keluarga, dengan tidak menunaikan hak-hak mereka.
3. Telah memalingkan para penuntut ilmu yang bermanfaat, baik ilmu dunia maupun agama
(karena selalu diajak khuruj, pent)
4. Terbengkalainya pekerjaan (karena selalu khuruj).
5. Berapa banyak terjadi pertengkaran dan perpisahan antara orang tua dengan anaknya, antara
suami dengan istrinya.
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kami mengeluhkan, kemudian kepada manusia atas bahaya kerusakan dan penyesatan besar yang ditimbulkan dari gerakan dakwahya JT ini. Maka wajib hukumnya bagi kaum muslimin yang memiliki sedikit ilmu untuk mengurangi kerusakan dan kejelekan yang diakibatkan gerakan dakwah JT ini dengan cara menjelaskan kepada muslimin kesesatan dan penyesatan JT sebagai pengamalan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqoroh : 159-160)
BAB IV
KASYFUSY SYUBHAT
(Menyingkap Kerancuan Jama’ah Tabligh)
Setelah diterbitkan buku kecil dan tipis berjudul ‘Menguak Kesesatan Jama’ah Tabligh’, banyak tanggapan, sanggahan, dan pembelaan baik dari orang yang mengaku Jama’ah Tabligh (JT) maupun dari luar JT, baik melalui telepon maupun SMS.
Sebenarnya para Ulama’ Ahlussunnah telah sepakat atas kesesatan Jama’ah Tabligh, hanya saja bagi
JT atau kelompok lain yang tidak mengerti prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah di dalam memahami dan mengamalkan Islam, menjadikan penjelasan para Ulama’ tentang kesesatan JT menjadi samar dan rancu (buram dihadapan mereka). Hal ini karena jauhnya mereka dari ilmu yang benar, yaitu yang telah dipahami oleh sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik, As-Salafy Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Berikut ini kami sampaikan kepada pembaca tentang kerancuan-kerancuan dari orang-orang yang mengaku JT atau para pembela JT yang telah menghubungi penulis. Karena banyaknya SMS atau telepon yang masuk, saya tidak perlu menyebutkan nama atau nomor HP atau telepon mereka. Saya hanya sebutkan kerancuan-kerancuan saja dan tanggapan saya, orang-orang yang mengaku JT atau pembela JT saya sebut fulan dan apabila berpindah pada orang lain saya sebut fulan ke-2 dan seterusnya. Lalu, teks SMS-nya pun sudah dalam bentuk rangkuman dari penulis karena yang dibutuhkan di sini adalah penjelasan kerancuannya.
Berikut petikannya :
Fulan : Buku Ustadz hanya fitnah karena apa yang ditulis benar-benar
tidak ada di lapangan. Kalau anda orang laki-laki, ayo sekarang turun ke
lapangan. Kalau tidak mau, sebaiknya Anda pakai kerudung saja!
Jawab : Untuk mengetahui kebenaran itu tidak mesti harus turun lapangan, tetapi hadir di
majelis-majelis ilmu dengan duduk di depan Ulama’, Ustadz, atau membaca kitab
para Ulama’ dan mendengarkan kaset-kasetnya para Ulama’, seperti kalau kita
ingin shalat yang benar maka tidak perlu turun ke lapangan, tetapi dengan taklim
atau membaca kitabnya para Ulama’. Adapun lapangan, kebanyakan lipstik atau
tipuan belaka.
Fulan : Buku Ustadz hanya fitnah.
Jawab : Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63)
Al Imam Ibnu Katsir mengatakan terhadap ayat ini, bahwa fitnah yang dimaksud adalah nifak, bid’ah…maka JT itulah fitnah.
Fulan : Sifat sahabat (yaitu 6 rukun JT) itu disebut bid’ah?
Jawab : Tidak ada riwayat atau ucapan para Ulama yang mengutamakan
bahwa 6 rukun JT adalah sifat sahabat. Sifat sahabat itu tidak dibatasi hanya 6
contoh, sahabat siapa yang khuruj 3 hari tiap bulan?
Fulan : Kalau sahabat khuruj seumur hidup, bukan 3 hari atau 40 hari,
sedangkan JT karena iman yang lemah maka dibatasi 3 hari, 40 hari dan seterusnya.
Jawab : Kalau begitu maka tidak benar bahwa khuruj dikatakan sebagai sifat sahabat
karena tidak ada sahabat yang khuruj 3 hari tiap bulan dan seterusnya. Berarti ini
hanya kedustaan dari JT atas nama sahabat dan dengan ini JT telah membuat
syari’at baru dalam agama Islam yang telah sempurna ini.
Fulan : Ustadz dan kelompoknya hanya merasa benar sendiri, tidak menghargai saudara
yang lain, suka memecah belah, dan ini sifat Yahudi, berapa anda digaji?
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kalau kalian melihat kemungkaran
maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu ubahlah dengan lisan, dan
seterusnya. Kalau saya dan kelompok saya adalah antek Yahudi, datangkan saksi
dan bukti jika Anda benar dan jujur.
Fulan ke-2 : Kenapa anda kok begitu bencinya kepada JT, padahal JT-lah yang telah
memakmurkan masjid, berdakwah menyadarkan muslimin. Berapa banyak
pemabuk menjadi tekun, orang kafir masuk islam.
Jawab : Karena JT itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.
Adapun berdakwah tidak harus ikut JT.
Fulan : Kelompok anda hanya memecah belah dan menghasut.
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam datang untuk memecah belah , antara haq dan
batil, antara ahli tauhid dan ahli syirik, antara Islam dan kekafiran sehingga menjadi
jelas dan berbeda antara gelap dan cahaya.
Fulan ke-2 : Bukankah Anda tahu besarnya dosa menghasut dan memecah belah, menghina
dan merendahkan orang lain?
Jawab : Di dalam Islam, jangankan mencela, membunuh pun asalkan dengan alasan yang
benar, dibolehkan.
Fulan ke-3 : Sebaiknya anda datang dulu ke markas JT, tanya apakah di sana itu seperti yang
Anda tulis, kalau tidak berarti fitnah.
Jawab : Belajar itu kepada para Ulama, bukan kepada ahli bid’ah agar tidak tertular virus
kesesatannya.
Fulan ke-3 : Saya ini orang awam dan saya ini antigolongan, sedangkan golongan anda suka
mencari kesalahan orang lain, itulah antek Yahudi, berapa anda digaji?
Jawab : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Islam itu terpecah menjadi 73
golongan dan satu golongan yang selamat, berarti Anda tidak mau menjadi satu
golongan yang selamat tersebut karena Anda mengaku antigolongan?!
Fulan ke-3 : Apakah satu golongan tersebut yang suka memfitnah? Kalau Anda mengatakan
72:1, tetapi kalau JT diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang menilainya.
Jawab : Yang jelas Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda dan satu golongan yang
selamat dan Anda tidak mau golongan tersebut karena Anda bilang antigolongan,
kalau Anda bukan di dalam 73 golongan berarti Anda bukan Islam?
Fulan ke-3 : Saya masih mencari satu golongan yang selamat tersebut.
Jawab : Kalau begitu Anda tidak benar telah mengatakan antigolongan, maka hati-hatilah!
Fulan ke-4 : Siapa yang berani menyesatkan JT? Anda hanya memfitnah, tidak mengerti
lapangan.
Jawab : Para Ulama’ sepakat bahwa JT itu penuh ajaran sesat dan bid’ah.
Fulan ke-4 : Ulama’ anda adalah Ulama’ Mosad.
Jawab : Anda hanya latah pada kelompok Hidayatullah yang menuduh Ulama’ itu sebagai
agen mosad. Anda dan Hidayatullah tidak bisa membawa bukti dan saksi, kecuali
mengambil berita dari orang-orang kafir. Bagaimana Anda dan Hidayatullah bisa
mempercayai orang kafir untuk menjelekkan para Ulama’?
Fulan ke-4 : JT tetap eksis, pengikutnya tambah banyak, walaupun difitnah tidak berpengaruh?
Jawab : Eksis ajaran sesat tidak mengurangi kesesatan JT. Semakin banyak pengikutnya
semakin memperbesar dosa para da’inya, kebenaran tidak diukur dengan
banyaknya pengikut, tetapi diukur dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman para As Salafush Sholih.
Fulan ke-5 : Segeralah bertaubat! Kenapa Anda habiskan tenaga untuk memerangi JT, karena
JT semakin ditekan semakin eksis.
Jawab : Anda jangan GR dulu, saya tidak ada urusan dengan orang-orang JT, saya cuma
menasehati muslimin dari kesesatan JT.
Fulan ke-5 : Para pelacur anda biarkan, saudara yang mengajak ke masjid disesatkan. Siapa di
dunia ini yang berdakwah mengajak saudaranya ke masjid, yang selalu
memakmurkan masjid-masjid?
Jawab : Bahaya bid’ah itu lebih besar dari kemaksiatan karena bid’ah itu merusak agama
yang sempurna, sedangkan kemaksiatan melanggar agama. Pelaku bid’ah lebih sulit
untuk dinasihati dan lebih sulit untuk bertaubat karena mereka merasa di atas
petunjuk dan tidak merasa bersalah, sedangkan pelacur, mereka tetap meyakini
perbuatannya adalah maksiat dan dosa sehingga Ulama’ mengatakan : “Perbuatan
bid’ah dan pelakunya itu lebih disukai iblis daripada maksiat dan Allah subhanahu
wa ta’ala lebih memurkai perbuatan bid’ah dan pelaku maksiatnya daripada
maksiat.” Dan yang saya ketahui bahwa JT itu bukan memakmurkan masjid, tetapi
menyebarkan virus kesesatan di kalangan muslimin dan mengotori masjid-masjid
muslimin.
Dari sini kita dapat membuktikan secara jelas bahwa JT itu bukanlah ahli dakwah yang menyeru kepada al haq, tetapi merupakan gerakan dakwah yang menyeru kepada thariqah pendiri JT, yaitu Muhammad Ilyas Al Kandahlawi sebagaimana ini merupakan sifat dari semua kelompok sempalan yang menyeru kepada pendiri kelompok tersebut. Hal ini berbeda dengan prinsip dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang senantiasa menyeru kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafus Shalih.
Wallahu a’lam bish shawab
KESIMPULAN
Sekiranya buku kecil ini dapat mencukupi bagi para pembaca sekalian untuk menjadikan cara atau alasan mewaspadai diri-diri kita, keluarga kita, dan saudara-saudara kita dari pergerakan ajaran Brahma dan Budha yang dimasukkan ke dalam Islam oleh orang-orang firqah Tabligh.
Mengikuti ajaran sesat sangatlah berbahaya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kepada saudara-saudaraku sekalian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, hendaknya ekstra hati-hati, ekstra waspada, jangan tertipu oleh kesopanan, keramahan, kelembutan, kekhusyu’an shalat mereka, kesabaran dan keteguhan mereka, dan kesantunan berbagai lipstik indah lainnya karena di balik semua itu penuh bahaya kekufuran, kesyirikan, dan kesesatan.
Kepada para ta’mir masjid, hendaknya tidak mengizinkan rombongan Tabligh untuk menempati masjidnya, karena kalau memberi izin kepada mereka berarti membuka pintu bagi Tabligh untuk menyebarkan virus kesesatan Jama’ah Tabligh kepada Jama’ahnya. Selain itu juga merupakan lampu hijau bagi Tabligh untuk menularkan virus kesesatan mereka kepada masyarakat sekitar masjid, di samping aktivitas mereka selama di masjid yang dapat mengotori masjid. Para ta’mir bertanggung jawab dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala atas amanahnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi diri kita dan keluarga kita dari kelompok firqah Tabligh.
Amiinn…..Wallalhu a’lam bish shawwab
Penutup
Harapan besar dari penerbitan buku kecil ini adalah sebagai nasihat kepada saudara-saudara kami yang menjadi pengikut JT agar segera menyadari dan segera bertaubat mengambil pelajaran karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena hanya orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang bisa mengambil pelajaran dan peringatan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran.”
(QS. Al A’laa: 10)
Adapun orang yang binasa akan berpaling dari nasihat dan peringatan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang celaka akan menjauhinya, (yaitu) orang akan memasuki api yang besar (neraka).”
(QS. Al-A’laa: 11-12)
Dan telah banyak muslimin yang sempat terjerumus di dalam kesesatan JT ini, kemudian mereka kembali kepada jalan yang benar, yaitu thariqah (jalan) yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang mereka telah di ridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 100)
Dengan tidak mengurangi dan menambah dari thoriqoh yang telah dinyatakan sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (QS. Al Ma’idah : 3)
Semoga buku ini ditulis semata-mata mendorong untuk saling menasihati dalam kebaikan, ikhlas karena mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari hasad dan dengki. Karena sudah jelas dikalangan muslimin berdasarkan dalil-dalil yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.
Segala khilaf dan salah dalam buku ini adalah semata-mata dari penulis. Dan penulis bertaubat serta berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala baik di dunia ini maupun di akhirat kelak dan segala kebenaran yang terdapat dalam buku ini semata-mata dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menyelamatkan kita dari setiap kesesatan di dunia ini dan menyelamatkan dari siksa-Nya di neraka.
Amiinn…
Sumber :
Buku “Jama’ah Tabligh : Kenyataan & Pengakuan”
Penyusun : Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqohhar Al Atsary
Cetakan : Pertama Jumadil Akhir 1430 H Mei 2010 M
Penerbit : Hikmah Ahlus Sunnah
Perum KCVRI no. 49 Kencuran Ngaglik Sleman, Yogyakarta
REFERENSI
1. Tafsir Al-Qur’an karya Al-Imam Ibnu Katsir
2. Syarah Hadits Muslim karya Al Imam An Nawawi
3. Jama’atu Tabligh Aqoiduha Wata’rifuha karya Asy Syaikh Abu Usamah
Sayyid Tholiburrahman, Penerbit Daarul Bayan Lithob’i Wattauzi’
Islamabad Bakistan
4. Asy-Syari’ah karya Al-Imam Al Aajurri
5. Majalah Asy-Syari’ah edisi no. 07/1425 H/2004 M
6. Mengenal Tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin karya Asy-Syaikh Ahmad An-
Najmi
7. Al Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifha karya Asy Syaikh Abu Ibrohim Ibnu
Sulthon Al Adnany, tanpa penerbit.
8. Mengenal lebih dekat Jama’ah Tabligh bersama Asy Syaikh Ahmad bin
Yahya bin Muhammad An Najmi, Asy Syaikh Hamud At Tuwaijiri dan Asy
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Penerbit Cahaya Tauhid
Press Malang.
Subscribe to:
Posts (Atom)