Menyambut Kelahiran Cahaya Mata Dengan Sunnah
Pendahuluan
Dalam suatu hadis, ada diriwayatkan supaya mengahwini wanita-wanita yang subur supaya berupaya melahirkan zuriat yang baik-baik.
Ini adalah sebagaimana hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (r.a.), Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (s.a.w.) bersabda:
“Kahwini-lah wanita-wanita yang penyayang dan subur kerana sesungguhnya pada hari kiamat kelak aku berbangga dengan umatku yang paling ramai bilangannya berbanding nabi-nabi yang lain.” (Hadis Riwayat Ahmad di dalam Musnadnya, jil. 3, m/s. 158 & 245)
Dalam hal ini, antara hikmah yang dapat kita semua perhatikan adalah kelak anak-anak tersebut mampu membantu mendoakan kebaikan buat kita dan juga (dengan izin-Nya) membantu kita di masa-masa hadapan.
Ini dapat dilihat dalam hadis dari Abu Hurairah r.a., bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apabila seseorang manusia itu mati, terputuslah daripadanya segala amalan melainkan tiga perkara: 1 – Sedekah Jariah, 2 – Ilmu yang bermanfaat, dan 3 – Anak soleh yang mendoakannya.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab Wasiat, Hadis no. 14. Dan Abu Daud, Kitab Wasiat, no. 3880)
Oleh itu, selain memiliki zuriat yang ramai, ayah dan ibu juga perlulah berusaha untuk mendidik dan menjaga anak-anak tersebut dengan usaha yang keras, tanggungjawab, dan didikan yang sebaik-baiknya.
Dalam suatu hadis, Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala (s.w.t.) akan menanyakan kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya (dikuasainya), adakah dia menjaga atau menyia-nyiakannya. Sehinggakan seseorang akan ditanyakan mengenai rumah tangganya.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban dalam Sahihnya. Lihat: Sislsilah al-Ahaadis ash-Shahihah, no. 1626)
Oleh itu, serba sedikit, melalui tulisan ini ia dimulakan dengan memahami adab-adab dalam menyambut kelahiran anak-anak sebagai cahaya mata penyeri keluarga berdasarkan sunnah-sunnah yang sahih.
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci dalam bidang ini, hal yang tentu saja bermanfaat. Apa yang mereka katakan kami ringkaskan sebagai berikut: "Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam mempunyai tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa keseluruhannya agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada solat, puasa dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah." (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu'atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq 'Ilajiha, hal. 76.
MEMPERHATIKAN ANAK SEBELUM LAHIR
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah, Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda : "Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi." (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
'
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar."
'
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
'
MEMPERHATIKAN ANAK KETIKA DALAM KANDUNGAN
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya.
'
Sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah membebaskan separuh solat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil". (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: "Isnad hadits inijayyid' ) Si ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang soleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orang tua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a orang tua untuk anaknya.
Cahaya Mata Penyeri Kehidupan
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata (berdoa): “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pimpinan bagi orang-orang yang bertakwa”. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) kerana kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya…” (al-Furqon, 25: 74-75)
Anak-anak yang dilahirkan adalah merupakan kurnia dari Allah dan merupakan suatu bentuk amanah bagi kedua ibu dan bapa untuk menjaganya dengan kaedah yang digariskan. Ia berupaya menjadi penyeri kehidupan dan menggembirakan hati bagi mereka yang mengerti. Anak-anak adalah termasuk juga ke dalam salah satu perhiasan dan kesenangan dunia yang digambarkan oleh Allah s.w.t. sebagaimana dalam firman-Nya, (maksudnya):
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).” (Ali Imran, 3: 14)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi sholeh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi, 18: 46)
Doa Sebagai Sarana Dikurniakan Anak Yang Sholeh
Doa adalah salah satu sarana yang agung yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman sebagai suatu bentuk penghubung dirinya kepada Allah s.w.t.. Melalui doa, Allah s.w.t. memberi peluang kepada kita untuk memohon sesuatu yang diperlukan dan diingini. Malalui doa jugalah Allah akan membantu kita dengan mengabulkan (memperkenankan) apa yang diingini oleh hati-hati kita. Allah s.w.t. berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahawasanya Aku adalah dekat. Aku memperkenankan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah, 2: 186)
Melalui al-Qur’an sendiri, terdapat banyak kisah-kisah dan doa-doa yang boleh menjadi contoh kepada para keluarga, pasangan suami isteri, dan mereka yang berkaitan, tentang kehebatan doa agar dikurniakan cahaya mata serta meraih kurniaan anak yang sholeh.
Sebagai contoh, di sini diutarakan dua kisah dan doa yang berkaitan;
1 – Doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (a.s.),
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.” (al-Baqarah, 2: 126-128)
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” .... “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim, 14: 35 & 39)
2 – Doa Nabi Zakaria ‘alahis salam;
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh." (Ali Imran, 3: 38-39)
Isteri Nabi Zakariya adalah seorang yang mandul dan dia sendiri adalah seorang yang sangat tua, namun dengan kuasa dan izin dari Allah, doanya telah diperkenankan. Menurut Sheikh Abdur Rahman as-Sa’di, “Kedua hal itu (tua dan mandul) merupakan penghalang, namun Allah berfirman (maksudnya) “Demikianlah, Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya”. Bahawasanya sebagaimana telah berlaku hikmah-Nya dengan berjalannya segala sesuatu itu menurut sebab-sebabnya yang wajar, maka Allah juga berkuasa merubah hukum alam tersebut menurut kekuasaan dan apa yang dikehendaki-Nya.” (Tafsir as-Sa’di (Judul Asli: Taisir al-Karim al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan), jil. 1, m/s. 490)
Tanggungjawab Melahirkan Anak
Allah s.w.t. berfirman (maksudnya,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (al-Ahqaaf, 46: 15)
Seorang ibu, memiliki tanggungjawab yang besar bagi menjaga dan sekaligus melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat walaupun dengan susah payah.
Di dalam suatu hadis, disebutkan tentang kisah (dari hadis Imran bin Hushain) seorang wanita yang telah berzina sehinggalah dia hamil. Lalu dia merasa bersalah dan berjumpa dengan Nabi s.a.w. agar menjatuhkan hukuman kepadanya atas kesalahannya berzina. Tetapi Nabi berpesan kepada walinya supaya memawa dia pulang dan mengawasinya dengan baik sehinggalah dia telah melahirkan anaknya.
“Bahawasanya ada seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, yang pada ketika itu dia dalam keadaan hamil kerana hasil perbuatan zina. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan perbuatan yang mengharuskan hukum hadd. Kerana itu, laksanakanlah hukuman itu ke atas-ku”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil walinya lalu bersabda, “Perlakukanlah/jagalah dia dengan baik. Jika dia telah melahirkan, bawalah dia menghadapku”. Maka walinya pun melaksanakan apa yang diperintah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam...” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab al-Hudud, no. 4207)
Daripada kisah ini dapat dilihat betapa besarnya peranan ibu untuk menjaga, dan melahirkan anak yang dikandungnya dengan keadaan yang selamat.
Meng-azankan Bayi Pada Telinganya
Berkenaan permasalahan ini, ada suatu perbahasan yang agak menarik dan sekaligus memberikan kesimpulan yang agak kontra dengan kebiasaan amalan masyarakat kita yang biasa mengazankan telinga bayi sebaik saja kelahirannya. Oleh itu, di sini saya utarakan satu perbahasan mengenai status hadis berkaitan meng-azankan telinga bayi.
Hadis Pertama
Hadis ini berasal dari Abu Rofi’, bekas budak Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (s.a.w.), ia berkata: “Saya melihat Rasulullah s.a.w. azan, seperti azan solat, di telinga al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah radhiyallahu ‘anha (r.anha.) melahirkannya”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (5105), at-Tirmidziy (4/1514), al-Baihaqiy dalam al-Kubro (9/300), dan dalam asy-Syu’ab (6/389-390), ath-Thabraniy dalam al-Kabir (931-2578), dan dalam ad-Du’a (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdur-Razzaq (7986), ath-Thoyalisiy (970), al-Hakim (3/179), dan al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah (11/273).
Al-Hakim berkata, “Sahih sanadnya sekalipun keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya”. Akan tetapi, ia disanggah oleh adz-Dzahabi dengan berkata: “Ashim adalah dho’if (lemah)”. at-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan ats-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.
Ini juga merupakan Hadis Riwayat ath-Thabraniy dalam al-Kabir (926,2579), dan dibawakan hadis ini oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (4/60) dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau azan di telinga al-Hasan dan al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan hal itu kepada mereka”.
Di dalam sanad hadis ini terdapat Hammad bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Menurut al-Bukhari, “Mungkar hadisnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan hadisnya”. al-Haitsami berkata dalam al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin Syu’aib, sedang dia adalah amat lemah”.
Di dalamnya juga terdapat Ashim bin Ubaidillah, seorang yang dho’if (lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi Sufyan ats-Tsaury, sama ada dalam hal sanad mahupun redaksi hadis, ini adalah kerana ia telah meriwayatkannya dari Ashim dari Ali bin al-Husain dari Abi Rofi’. Dia menggantikan Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin al-Husain, dan ia juga menambahkan lafaz pada redaksi hadis, “…al-Husain”, dan perintah berazan. Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima hadisnya, jika menyendiri dalam meriwayatkan hadis, kerana kelemahan pada dirinya yang telah anda ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang lebih tsiqah (terpercaya) dan teliti daripada dirinya seperti ats-Tsaury. Dengan ini, hadis Hammad menjadi mungkar kerana kelemahannya yang pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang lebih tsiqah.
Adapun jalur kedua dari Sufyan, terdapat seorang yang bernama Ashim bin Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (r.h.) berkata dalam at-Taqrib, “Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam at-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah yang membangunkan (membina) Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari fulan dari Nabi s.a.w. bahawa beliau telah membangunkannya”. Ini untuk menggambarkan rawi ini bermudah-mudah meriwayatkan hadis, tanpa memperhatikan hadis yang ia riwayatkan sehingga dia banyak menyelisihi orang yang lebih tsiqah.Adz-Dzahaby berkata dalam al-Mizan (2/354), “Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah hadisnya mungkar. Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan hadis Abu Rofi’, “Bahawa Rasulullah s.a.w. meng-azani telinga al-Hasan dan al-Husain”. Ringkasnya, hadis ini dho’if (lemah) kerana masalahnya ada pada Ashim, sedang anda telah tahu keadaan dirinya.
Ibnul Qoyyim menyebutkan dalam dalam kitabnya Tuhfah al-Wadud (hal.17) hadis Abu Rofi’, lalu membawakan dua hadis yang satunya dari Ibnu Abbas, dan lainnya lagi dari al-Husain bin Ali. Beliau menjadikan kedua hadis ini sebagai penguat bagi hadis Abu Rofi’ dan membuatkan tajuk, “Bab: Dianjurkannya azan ditelinga bayi”. Hal ini sebenarnya kurang tepat sesuai dengan perbahasan yang akan kita ketahui kemudian, Insya Allah.
Hadis Kedua
Adapun hadis kedua dari Ibnu Abbas r.a., diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari al-Hasan bin Amer bin Saif as-Sadusy, ia berkata, al-Qosim bin Muthoyyib Telah menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas: ”Bahawasanya Nabi s.a.w. azan di telinga al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”. Kami katakan, “Bahkan hadis ini palsu”. Penyakitnya ada pada al-Hasan bin Amer. Al-Hafizh berkata dalam at-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”. Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109), “Saya pernah mendengarkan ayahku berkata: [Kami pernah melihat al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tidak menulis hadis darinya, sedang dia itu ditinggalkan hadisnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam al-Mizan, “al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhory berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah Hadis bahawa hadis dho’if (lemah) tidak akan boleh dinaik taraf menjadi hadis sahih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain, dengan syarat: Tiada orang (perawi) yang teruk ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sehingga ada pendusta (dalam jalur periwayatannya). Jadi, hadis kedua dari Ibnu Abbas ini (dalam keadaanya sebegini) tetap kedudukannya sebagai hadis dho’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Berdasarkan ilmu hadis, hadis Ibnu Abbas tersebut tidak boleh dijadikan sebagai penguat bagi hadis Abu Rofi’. Jadi, hadis Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadis dho’if, sedang hadis Ibnu Abbas adalah palsu!!
Hadis Ketiga
Adapun hadis al-Hasan bin Ali, hadis ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Talhah bin Ubaidillah dari al-Hasan bin Ali, ia berkata: Bersabda Rasulullah s.a.w., “Barang siapa yang dikurniakan seorang anak, lalu ia meng-azani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tidak akan dimudharatkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”.
Hadis Riwayat Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6/390), Ibnus Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah (623). Hadis ini dibawakan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’’ (4/59) dengan katanya, “Hadis Riwayat Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghifary, sedang ia itu matruk (ditinggalkan hadisnya)”.
Bahkan hadis al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya memalsukan hadis sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadis adh-Dho’ifah (321). Dengan itu, hadis Abu Rofi’ tetap keadaannya sebagai hadis dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.”
Terdahulu, Syaikh Al-Albani pernah meng-hasan-kan hadis ini dalam Kitabnya Shahih Sunan at-Tirmidzy (1224), Shahih Sunan Abu Daud (4258), al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah al-Ahadis adh-Dho’ifah (1/493).
Namun kemudiannya Syaikh al-Albani menyemak semula peng-hasanan yang beliau lakukan terhadap hadis Abu Rofi’ (hadis pertama) dan meletakkannya di dalam Kitab adh-Dho’ifah pada cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang saya tegaskan (walaupun Kitab asy-Syu’ab telah dicetak), bahawa hadis Ibnu Abbas tidak sesuai/layak untuk dijadikan penguat (bagi hadis Abu Rofi’ - pent.), kerana di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat hairan terhadap al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana mereka berdua hanya men-dho’if-kan hadis tersebut sehingga saya hampir memastikan sesuainya hadis tersebut dijadikan sebagai penguat. Makanya, dengan itu saya menganggap bahawa diantara kewajiban saya adalah untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada perbahasan akan datang (no.6121)”.
Di sana ada sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib al-Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadis ini sekali lagi turut tidak boleh dijadikan sebagai penguat kerana di dalamnya ada rawi pendusta. Abu Ishaq al-Huwainy berkata dalam al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tidak ada satu hadis pun yang boleh menjadi penguat bagi hadis ini menurut yang saya ketahui, Wallahu a’lam”.
Jadi, tiga hadis di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-azankan, dan meng-iqomatkan telinga bayi yang baru lahir, kerana kelemahan dan kepalsuannya.
Sumber: Buletin Juma’at al-Atsariyyah, edisi 02 Tahun I.
Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne. No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
Kesimpulannya:
Dengan perbahasan ini, ia menunjukkan bahawa meng-azankan pada telinga bayi di saat kelahirannya adalah tidak sahih dari sunnah Nabi s.a.w.. Wallahu a’lam...
Mentahnik Bayi Dengan Kurma
Tahnik bermaksud memamahkan kurma hingga hancur, menyuapkan ke mulut bayi dan menggosokkan kurma tersebut (yang telah hancur tadi) ke langit-langit mulut si bayi. Ia dilakukan dengan memasukkan sedikit kurma yang telah hancur dikunyah ke mulut bayi, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan dan kiri dengan lemah lembut. Ia dilakukan sehinggalah mulut bayi tersebut dapat mengecapi/memakan kurma yang dimamah tadi dengan sebaiknya.
Ini adalah berdasarkan beberapa hadis yang menunjukkan perihal kesunnahan perbuatan ini yang tsabit dari Nabi s.a.w. sendiri. Antara hadisnya adalah sebagaimana berikut,
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu (r.a.), katanya: “Telah dilahirkan untukku seorang bayi lelaki lalu aku membawanya kepada Nabi s.a.w. dan baginda menamakannya Ibrahim lalu ditahnikkannya dengan sebiji buah kurma. Beliau mendoakan keberkatan dan kemudiannya memulangkannya kembali kepadaku.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab Aqiqah, no. 376)
Berkata Dr. Faruq Musahil dalam Majalah al-Ummah al-Qathariyah, jil. 50 dalam sebuah artikel berjudul: “Perhatian Islam Terhadap Nutrisi Anak”, ketika menjelaskan hadis berkaitan tahnik, beliau menyatakan:
“Tahnik dengan timbangan apapun merupakan sebuah mukjizat kedoktoran Nabi yang telah berlaku sejak empat belas abad yang lalu agar manusia mengetahui tujuan dan hikmah di sebaliknya. Berdasarkan ilmu kedoktoran, anak kecil itu (khususnya yang baru sahaja lahir) memiliki kebarangkali yang tinggi untuk mengalami kematian dan penyakit jika terjadinya dua perkara, (iaitu) – 1 – Jika kadar gula dalam darah berkurang (disebabkan kelaparan), dan – 2 – Jika darjah suhu tubuh mereka turun mendadak ketika dihadapkan kepada udara dingin dari persekitaran mereka.” (Dinukil dari Buku “Mendidik anak Bersama Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, Terbitan Pustaka Arafah, oleh Muhammad Suwaid)
Berdasarkan pembuktian saintifik, sememangnya hal ini diperakui di mana gula yang merupakan binaan dari glucosa terutamanya gula dari buah-buahan seperti kurma merupakan gula teringkas yang mudah dicernakan dan pemberi tenaga segera kepada tubuh badan sekaligus membantu menentukan kandungan gula dalam darah. Gula juga memainkan peranan dalam kadar metabolisma dalam badan yang mana berupaya memberikan kesan peningkatan suhu badan pada kadar tertentu.
Mendoakan Kebaikan/Keberkatan
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu (r.a.), katanya: “Telah dilahirkan untukku seorang bayi lelaki lalu aku membawanya kepada Nabi s.a.w. dan baginda menamakannya Ibrahim lalu ditahnikkannya dengan sebiji buah kurma. Beliau mendoakan keberkatan dan kemudiannya memulangkannya kembali kepadaku.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab Aqiqah, no. 376)
Aqiqah Dan Mencukur Rambut Bayi
Aqiqah di sini dimaksudkan dengan menyembelih haiwan dan mencukur rambut si bayi.
Dari satu hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda (maksudnya):
“Sesuatu yang perlu mengiringi bayi yang lahir itu adalah aqiqah. Oleh itu, sembelihlah untuk tujuan aqiqah itu dan singkirkanlah darinya bahaya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab Aqiqah, no. 380)
Dalam hadis yang lain,
“Setiap anak (yang lahir) dipelihara dengan aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh, lalu diberi nama dan dicukur rambutnya.” (Hadis Riwayat Tirmidzi. Disahihkan oleh al-Albani. Lihat: Sahihul Jami’ oleh al-Albani, no. 4184)
Hukum Aqiqah;
Hukum aqiqah, menurut Sheikh Dahlawi rahimahullah (r.h.), “Disunnahkan bagi orang yang memiliki atau mampu membeli dua ekor kambing agar menyembelih dua ekor untuk anak- lelaki.” (Rujuk: Hujjatullah al-Baalighah, 2/144)
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal r.h., “Sesungguhnya aqiqah itu menghidupkan sunnah dan aku berharap agar Allah memberi ganjaran yang setimpal.” (Rujuk: Kitab Tuhfat al-Maulud, m/s. 39)
Menurut Imam Malik, “Persoalan aqiqah menurut pandangan kami adalah bahawa orang yang menyembelih aqiqah. Ia boleh melakukan aqiqah untuk anaknya dengan kambing, sama ada kambing jantan mahupun betina. Aqiqah itu bukanlah wajib, akan tetapi mustahab (disukai/sunnah) dan ia sentiasa diamalkan oleh orang-orang dari kalangan kita.” (al-Muwattha’, Kitab Aqiqah (26), no. 7)
Disunnahkan Pada Hari Ketujuh;
“Setiap anak (yang lahir) dipelihara dengan aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh...”
Dalam riwayat yang lain, ath-Thabrani dan Dhiya’ juga meriwayatkan secara marfu’ dari Buraidah r.a., “Aqiqah itu disembelihkan pada hari ke tujuh, atau ke empat belas, atau dua puluh satu.” (Lihat: Shahihul Jami’, no. 4132)
Jika melihat zahir hadis, ia jelas menunjukkan bahawa disunnahkan aqiqah itu pada ari yang ke tujuh. Namun ada sebahagian pendapat menyatakan dibolehkan ber-aqiqah pada hari yang lain jika tidak dapat pada hari yang ke tujuh. Sebagaimana pendapat Ibnul Qayyim,
“Melakukan aqiqah pada hari ke tujuh adalah sunnah. Namun, jika disembelih pada hari ke empat, ke lapan, ke sepuluh, atau selepasnya tetap dikira sebagai aqiqah. Aqiqah itu dikira mengenai hari penyembelihan bukannya hari dimasak dan dimakan.” (Rujuk Tuhfat al-Maulud, m/s. 43) Wallahu a’lam...
Haiwan Sembelihan;
1 – Aqiqah itu dilakukan untuk anak lelaki adalah dengan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing. Dan jantina haiwan itu tidak mengapa sama ada jantan ataupun betina.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid secara marfu’, “Aqiqah adalah hak yang mesti ditunaikan. Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang sepadan, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.” (Disahihkan oleh al-Albani, lihat: Shahihul Jami’, no. 4106 dan 4107)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (r.anha), berkata: “Bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aqiqah untuk anak lelaki dengan dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing”.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, no. 1565. Ibnu Majah, no. 3163. Disahihkan oleh al-Albani)
Menurut Imam Malik, “Persoalan aqiqah menurut pandangan kami adalah bahawa orang yang menyembelih aqiqah. Ia boleh melakukan aqiqah untuk anaknya dengan kambing, sama ada kambing jantan mahupun betina...” (al-Muwattha’, Kitab Aqiqah (26), no. 7)
2 – Haiwan mestilah sihat, sempurna, dan tidak cacat.
Menurut Imam Malik, “Mereka yang melaksanakan aqiqah untuk anaknya, sama hal nya dengan melaksanakan ibadah kurban. Binatang yang disembelih tidak boleh buta sebelah matanya, tidak boleh kurus, cacat, atau sakit. Juga tidak boleh dijual dagingnya mahupun kulitnya dan tidak boleh dipatahkan tulangnya. Keluarga yang melakukan aqiqah boleh makan dagingnya dan menyedekahkannya kepada orang lain. Namun, si anak tidak boleh menyentuh darahnya.” (al-Muwattha’, Kitab Aqiqah (26), no. 7)
Mecukur Keseluruhan Rambut Bayi;
“Setiap anak (yang lahir) dipelihara dengan aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh, lalu diberi nama dan dicukur rambutnya.” (Hadis Riwayat Tirmidzi. Disahihkan oleh al-Albani. Lihat: Sahihul Jami’ oleh al-Albani, no. 4184)
Selain melaksanakan ‘aqiqah, disunnahkan untuk mencukur keseluruhan rambut si anak sebagaimana hadis di atas.
Kemudiannya, rambut yang telah dicukur, disunnahkan juga untuk menimbangnya dan kemudian mengeluarkan sedekah berdasarkan kiraan berat rambut yang ditimbang dengan beberapa keping perak. Iaitu menukarkan berat rambut dengan berat perak.
Imam Malik meriwayatkan, bahawa “Fatimah, anak Rasulullah (s.a.w.) menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab, dan Ummi Kaltsum dan mengeluarkan sedekah mengikut kiraan berat rambut yang ditimbang dengan (nilai) perak.” (al-Muwattha’, Kitab Aqiqah (26), no. 2)
Memberikan nama;
Disunnahkan juga memberi nama kepadanya jika ia belum diberikan nama pada hari ‘aqiqah dilaksanakan atau ketika rambut dicukur, sebagaimana hadis “...lalu diberi nama dan dicukur rambutnya” iaitu dengan memberikan kepadanya nama yang baik. Ini dapat dilihat dalam beberapa hadis antaranya,
Dari Abu Wahb al-Jusyami r.a., bahawa Nabi s.a.w. bersabda, “Namailah (anak-anakmu) dengan nama-nama para nabi. Sedangkan nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman, dan nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb dan Murrah.” (Hadis Riwayat Abu Daud dan an-Nasa’i. Sanad Hadis ini majhul, namun dapat dikuatkan dengan beberapa hadis-hadis yang lain. Lihat: Jami’ al-Ushul, 1/357, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth)
Dari Abu Basrah, Nabi s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik nama kamu adalah Abdullah dan Abdurrahman serta Harits.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani. Lihat: Shahihul Jami’, no. 3269)
Ibu bapa hendaklah menjauhi diri dari meletakkan/memberikan nama kepada anak tersebut dengan nama-nama yang khusus bagi Allah seperti al-Ahad (yang Esa), al-Kholiq (yang Maha Pencipta), dan seumpamanya. Juga janganlah sekali-kali meletakkan nama dengan nama-nama yang buruk dan memiliki maksud yang tidak elok.
Sheikh Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid menyatakan, “Kuniyah (nama panggilan) kepada bayi juga akan mendatangkan kesan yang amat besar ke atas dirinya. (Rujuk: Tasmiyat al-Maulud, m/s. 706, oleh Sheikh Dr. Bakr)
Mengkhatan-kan Anak
Khatan ialah sesuatu yang dipotong bagi lelaki dan perempuan. Dalam erti kata lain, memotong lebihan kulit yang berada di kepala zakar bagi lelaki. (Lihat: al-Aulaad wa Tarbiyatuhum fi Dhau’i al-Islam, karya Sheikh Muhammad al-Muqbil, m/s. 91)
Menurut pendapat yang lain, “Kata khitan menurut bahasa bererti memotong kulit yang menutupi kepada zakar. Sedangkan menurut istilah syar’i, adalah memotong bulatan bahagian hujung hasyafah, iaitu tempat pemotongan kulit yang menutupi kepala zakar yang juga menjadi tempat kemuliaan dari hukum syari’at. Ini berdasarkan hadis, “Jika telah bertemu dua khitan (kemaluan) maka wajib mandi” (Lihat: Silsilah al-Ahaadis ash-Shahihah, no. 1261).” (Rujuk: Mendidik Anak Bersama Nabi, m/s. 94, oleh Muhammad Suwaid)
Khatan bagi anak perempuan adalah memotong lebihan kulit yang menyerupai balung ayam jantan yang terletak di atas faraj. (Rujuk: Didik Anak Cara Islam, m/s. 46, oleh Syaikhah Abdullah)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Syaddad bin Aus r.a., bahawa Nabi s.a.w. bersabda, “Khitan itu merupakan sunnah bagi kaum lelaki dan kemuliaan bagi kaum wanita.”
Daripada Abu Hurairah r.a., aku mendengar Nabi bersabda, “Lima (5) perkara adalah fitrah bagi manusia, (iaitu) berkhatan, mencukur bulu ari-ari, memendekkan misai, memotong (memendekkan) kuku, dan mencabut bulu ketiak.”(Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Pakaian, no. 779)
Ibnul Jauzi menyatakan bahawa berkhatan itu adalah sunnah muakkadah menurut pandangan Malik dan Abu Hanifah, manakala menurut asy-Syafi’i adalah fardhu. (Lihat: al-Qawaanin al-Fiqhiyah, m/s. 314, oleh Ibnul Jauzi)
Adab mengkhatan bagi anak perempuan, dari Ummu ‘Athiyyah, Rasulullah s.a.w. telah menyatakan kepada tukang khitan dengan katanya, “Apabila kamu melakukan khatan janganlah berlebih-lebihan kerana ia itu akan mendatangkan kebaikan kepada perempuan tersebut dan ia lebih disukai oleh suami.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Lihat: Shahiul Jami’, no. 7352)
Menyusukan Dan Memelihara Anak
Seorang ibu yang melahirkan anaknya hendaklah memelihara, menjaga, membelai dan menyusukan anaknya. Ia juga turut menjadi tanggungjawab si bapa dalam urusan memberi nafkah yang baik kepadanya dan memastikan anak tersebut sentiasa dalam keadaan yang selamat.
Allah s.w.t. berfirman (maksudnya):
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, iaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan kerana anaknya dan seorang ayah kerana anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permesyuwaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan bayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahawa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah, 2: 233)
Menurut Sheikh Abdur Rahman as-Sa’di di dalam Tafsirnya, “Khabar dari ayat ini menunjukkan sebagai suatu perintah – “hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”. Apabila seseorang bayi telah sempurna dua tahun menyusu ibu, maka telah selesailah tempoh menyusunya dan air susu yang diberi selepas tempoh itu adalah menyamai dengan pelbagai makanan yang lain. Kerana itu jugalah, penyusuan yang berlaku setelah tempoh dua tahun itu tidaklah dikira (sebagai wajib) dan tidak juga diharamkan.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan kerana anaknya dan seorang ayah kerana anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.”
Hal ini mencakupi buat mereka yang masih dalam ikatan pernikahan dengan suaminya mahupun yang telah diceraikan; maka seorang ayah wajib memberinya makan. Ertinya, memberi nafkah dan pakaian iaitu upah bagi pekerjaan menyusui yang dilakukan. Ini juga menunjukkan bahawa apabila masih dalam ikatan pernikahan, suaminya wajib memberi nafkah dan pakaian, sesuai menurut keadaannya. Kerana itu Allah berfirman, (maksudnya) “seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” Tidaklah seseorang yang fakir dibebankan untuk memberikan nafkah seperti nafkahnya orang yang kaya, dan tidak pula seorang yang tidak mempunyai harta hingga mendapatkannya.” (Tafsir as-Sa’di (Judul Asli: Taisir al-Karim al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan), jil. 1, m/s. 377-379)
Oleh itu, ayah dan ibu serta waris, seharusnya menggalas tanggungjawab bagi memastikan anak yang di bawah jagaan mereka mendapat pemeliaharan yang baik bermula dari pemberian susu ibu sebagai nutrisi pertamanya dalam tempoh yang telah ditunjukkan. Atas alasan yang tertentu juga dan tidak memudharatkan, dibolehkan bagi si ayah dan ibu (penjaga) untuk meminta orang lain untuk menyusukan anak tersebut.
Dalam beberapa kajian saintifik, air susu ibu memiliki nutrisi yang sangat-sangat penting dan mencukupi bagi seorang bayi yang berada di bawah umur 2 tahun. Di samping itu ia turut membantu membina proses tumbesaran yang normal, membantu penghasilan antibodi yang baik, dan membantu memelihara kesihatan bayi dengan lebih sempurna berbanding dengan susu-susu buatan yang selainnya. Kasih sayang si ibu terhadap anak juga akan menjadi lebih terserlah dan si anak mendapat belaian yang sewajarnya dari seorang ibu yang penyayang.
Ibu Bapa Yang Sholeh Dan Kesannya
Peribadi yang baik dan soleh adalah merupakan tauladan yang terbaik buat anak-anak yang berada di bawah jagaan mereka. Ini terlaksana antaranya apabila kedua orang tua mempunyai disiplin dan keperibadian yang bertaqwa kepada Allah dengan mengikuti panduan yang ditunjukkan oleh-Nya di samping sentiasa bekerjasama bagi melaksanakan tugas dalam mendidik dengan baik.
Ini juga dapat dilihat melalui firman Allah s.w.t. (yang maksudnya):
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebahagiannya (mewarisi) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran, 3: 34)
Sheikh Abdur Rahman as-Sa’di berkomentar, “Dan Allah menyebutkan keluarga-keluarga besar tersebut dan apa yang di dalamnya berupa manusia-manusia yang agung yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, dan bahawasanya keutamaan dan kebaikan itu telah diwariskan secara turun temurun oleh anak-cucu mereka, yang mencakupi lelaki dan wanita. Ini adalah merupakan kurniaan yang paling utama dan tempat kemurahan dan kebaikan-Nya yang paling utama. (Tafsir as-Sa’di (Judul Asli: Taisir al-Karim al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan), jil. 1, m/s. 487)
Kesan daripada Ibu bapa yang bertaqwa dan sholeh, para malaikat juga turut mendoakan buat mereka kebaikan dan memohonkan syurga buat anak-anak yang memiliki ibu bapa yang sholeh. Ini dapat dilihat dari firman Allah s.w.t. berikut (maksudnya):
“Ya Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam Syurga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka serta keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Mukmin, 40: 8)
Malah, suatu anugerah dari Allah s.w.t., seandainya anak-anak cucu yang tersebut lahir dan hidup dalam keadaan yang penuh taqwa dan keimanan, taat kepada Allah s.w.t., maka Allah juga turut menyatakan bahawa kelak nanti di Syurga, Allah akan mempertemukan mereka.
Allah s.w.t. berfirman (maksudnya): “Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (ath-Thuur, 52: 21)
Anak-Anak Yang Sholeh Akan Mendoakan Ibu Bapanya
Memiliki anak yang sholeh adalah merupakan sebahagian kurniaan yang sangat bermakna bermula dari dunia sehinggalah meninggal dunia. Ini terlaksana melalui keperibadiannya yang sentiasa merendah diri menjaga akhlak kepada ibu bapa atau orang tua, sekaligus mendoakan kebaikan buat kedua ibu dan bapanya tidak kira semasa hayatnya mahu pun setelah meninggal dunia. Ini dilihat dari firman Allah s.w.t. yang maksudnya,
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (al-Isra’, 17: 24-25)
“Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku petunjuk untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (an-Naml, 27: 19)
Juga melalui hadis Nabi s.a.w., kita dikhabarkan bahawa doa dan amalan anak-anak yang sholeh itu sentiasa memberi kesan yang baik kepada kedua orang tuanya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia.
“Apabila seseorang manusia itu mati, terputuslah daripadanya segala amalan melainkan tiga perkara: 1 – Sedekah Jariah, 2 – Ilmu yang bermanfaat, dan 3 – Anak soleh yang mendoakannya.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab Wasiat, Hadis no. 14. Dan Abu Daud, Kitab Wasiat, no. 3880)
Penutup Dan Kesimpulan
Ketika menyambut kelahiran orang baru (bayi), agama kita agama Islam memiliki ciri-ciri yang istimewa beradasarkan contoh daripada sunnah untuk dilaksanakan dan dipraktikkan. Ianya selain berupa bentuk sebagai tanggungjawab, ia juga sebenarnya merupakan suatu amalan yang berbentuk ibadah yang bertujuan mencari keredhaan Allah dalam menerima kurniaan anugerah-Nya melalui anak yang diberi. Praktik amalan tersebut secara ringkas dapatlah disimpulkan sebagaimana berikut,
1 – Melahirkan si anak dengan baik.
2 – Mentahnik.
3 – Mendoakan Kebaikan.
4 – Melaksanakan ‘aqiqah dan mencukur keseluruhan rambutnya.
5 – Memberikan nama kepada anak yang dilahirkan.
6 – Mengkhatankan-nya.
7 – Memelihara, menjaga, menyusukan, dan memberikan nafkah.
No comments:
Post a Comment