Sunday, July 24, 2011

'ADALAH SAHABAT' ( Tanggapan atas artikel Jalaluddin rahmat : "Sahabat dalam timbangan al-Qur an ) Bag.pertama

Apakah konsep tentang 'Adalah (kejujuran dan sifat keadilan serta dipercaya) Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?

Pendahuluan

Di Facebook, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengundang saya untuk mengomentari tulisannya, sebagai berikut: "Posts another article about "Sahabat dalam Timbangan Al-Quran" and invite people who sacralize sahabat to comment, including Abdul Hayyi Al-Kattani and others."

Membaca kalimat di atas, saya tertegun sejenak: apakah konsep tentang 'Adalah Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?

Salah Paham Tentang Konsep 'Adalah Sahabat.

Di sini, saya melihat ada kesalah-pahaman tentang konsep 'adalah para sahabat. Sebenarnya konsep "'adalah sahabat" sederhana saja. Yaitu menilai diri para sahabat Nabi SAW. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi SAW, serta seluk beluk kehidupan Nabi SAW, selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.

Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang ma’shum yang tak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat ma’shum atau terhindar dari dosa hanya dimiliki oleh Nabi SAW saja.

Secara logika, ini sangat diterima. Mengapa? Karena di mana pun di dunia ini, ketika orang ingin mengetahui sejarah dan catatan-catatan tentang kejadian sebelum kelahirannya, pasti memerlukan info dari orang yang hidup sebelumnya. Kita bisa saja lebih berpendidikan dari orang tua kita. Tapi kejadian-kejadian di tengah keluarga kita, sebelum kita lahir, atau ketika kita masih balita, pastilah mereka yang tahu. Sepintar dan sesuci apa pun kita melihat diri kita, tidak mungkin kita lebih tahu dari orang tua kita tentang semua kejadian sebelum kita lahir. Di sini, keinginan kita untuk mengetahui sejarah otentik keluarga kita atau masa-masa balita kita, harus meletakkan orang tua kita sebagai sumber informasi yang terpercaya. Kecuali jika mereka terbukti senang berdusta. Karena jika tidak, kemana lagi kita mesti mencari informasi tersebut?

Membatasi sumber informasi, membuat kita menghasilkan gambaran yang tidak otentik terhadap objek yang ingin kita ketahui.

Demikian juga dengan keinginan kita untuk mengetahui riwayat otentik Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi SAW. Melalui siapa kita mengetahui semua itu? Tentu jawabnya adalah melalui para sahabat, isteri-isteri beliau dan anak-anak serta menantu beliau yang pernah mengalami hidup bersama beliau atau mendengar suatu riwayat dari beliau.

Di sini kita mesti meletakkan para sahabat sebagai sumber informasi atau riwayat otentik dari Nabi SAW. Kecuali jika orang tersebut terbukti pernah berdusta terhadap Nabi SAW, atau Nabi SAW sudah memberikan kata pasti bahwa si A adalah sosok yang tidak bisa dipercayai/munafik.

Apakah ada alternatif selain itu untuk mengetahui riwayat otentik dari Nabi SAW?

Orang bisa mengatakan: "Ada, yaitu lewat anak dan menantu serta keturunannya. Yaitu anak beliau, Fathimah Radhiyallahu ‘anha dan menantu beliau, Ali bin Abi Thalib serta kedua anak mereka, Hasan dan Husein. Karena merekalah Ahlu Bait yang masuk dalam hadits Kisaa’.”

Tapi nyatanya untuk mengetahui keutamaan (fadhail) diri mereka saja kita harus mengandalkan riwayat-riwayat dari para sahabat. Bayangkan jika kita mencampakkan para sahabat atau isteri Rasulullah SAW sebagai sumber riwayat dari Nabi SAW, dari mana lagi kita mengetahui keutamaan atau fadhaail Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya yang disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW? Bukankah hadits Kisaa’ yang diagung-agungkan Syi’ah sebagai keutamaan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya itu diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, isteri Nabi SAW?

Orang bisa meneliti, kitab-kitab ulama Syi’ah Imamiyah Ja'fariyah yang mengklaim hanya mengandalkan riwayat dari Ahlu Bait, nyatanya mereka hampir tidak memiliki riwayat-riwayat yang bersambung dengan sanad sahih hingga Rasulullah SAW melalui jalur Ahlu Bait. Apakah seperti itu bisa dianggap otentik?

Kalau orang menisbahkan riwayat Ahlul Bait kepada Ja'far As-Shadiq, namun hingga saat ini kita tidak pernah tahu Ja'far As-Shadiq mempunyai kumpulan hadits atau karya tulis yang bisa dijadikan rujukan. Jadi dari mana kita tahu ajaran Nabi SAW yang otentik melalui Ahlul Bait?

Dan Al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini juga tidak diriwayatkan melalui Ahlu Bait. Tapi melalui jalur periwayatan para sahabat. Bagaimana jadinya jika kita menolak para sahabat sebagai jalur periwayatan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW? Dari mana kita mengetahui teks dan bacaan Al-Qur’an yang benar?

Oleh karena itu, tidak aneh jika para Imam dari kalangan keluarga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengambil riwayat-riwayat Sunnah dari kalangan sahabat serta berdalil dengan perbuatan mereka. Seperti diriwayatkan dalam salah satu dari empat kitab terpenting Syi’ah Imamiyah Ja'fariyah, yaitu kitab Man La Yahdhuruhul Faqih sebagai berikut:

قال الشيخ الصدوق 4242: وروى عبد الله بن ميمون عن أبي عبد الله ، عن أبيه عليهما الصلام قال : ":ان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله بتبوك يعبون الماء ، فقال رسول الله صلى الله عليه وآله : اشربوا في أيديكم فإنها من خير آنيتكم " . ( من لا يحضره الفقيه ج 3 ص 353)

Syekh Shaduq berkata: (4242) Abdullah bin Maimun meriwayatkan dari Abi Abdillah (Ja'far As-Shadiq) dari ayahnya ‘Alaihis salam, ia berkata: "Para sahabat Rasulullah SAW saat di Tabuk minum dengan secara langsung ke tempat air. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Minumlah dengan tapak tangan kalian, karena ia adalah gelas yang paling baik bagi kalian." (Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid. 3, hal. 353).

Konsep 'Adalah Sahabat Menurut Ulama.

Ibn Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (1/306-307): "Dari kalangan sahabat bisa saja seseorang dari mereka melakukan kesalahan, dan berbuat dosa. Karena mereka bukan orang-orang yang ma’shum. Namun mereka tidak mungkin sengaja berdusta. Karena siapa yang sengaja berdusta atas nama Nabi SAW niscaya Allah SWT akan membongkar dustanya." Dalil tentang hal itu terdapat dalam kitab Sahih Bukhari (6780) yang berisi tentang seorang laki-laki yang berulang kali dihadapkan ke pengadilan Rasul SAW untuk dihukum dera karena meminum-minuman keras. Kemudian ketika salah seorang sahabat melaknatnya, maka Nabi SAW mencegahnya sambil bersabda:

لا تلعنوه، فو الله ما علمت إنه يحب الله ورسوله

"Jangan kalian laknat dia, Karena demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Ibnu Hajar berkomentar: "Dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang menyangka bahwa pelaku dosa besar otomatis kafir. Karena Rasulullah SAW melarang orang melaknatnya. Sambil memerintahkan untuk mendoakan orang itu. Dari situ juga dipahami bahwa tidak ada unsur saling menafikan antara melanggar larangan dengan keberadaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hati pelaku dosa itu. Karena Rasul SAW memberitakan bahwa orang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang itu melakukan tindakan yang diharamkan." (Lihat: Fathul Bari: 12/78).

Kasus serupa pernah terjadi pada Hathib bin Abi Balta'ah, dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari (4890) dan Muslim (2494). Ia saat itu dituduh melakukan tindakan memata-matai kaum Muslimin. Namun demikian Nabi SAW tetap tidak memvonis dia sebagai kafir.

Orang yang mempelajari sirah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum niscaya akan mendapati sahabat yang diberitakan pernah melakukan dosa sangatlah sedikit jumlahnya. Dan diantara yang sedikit itupun tidak dapat dibuktikan kesalahannya.

Jika kita melihat dengan pandangan jujur, niscaya kita dapati para sahabat yang meriwayatkan sunnah tidak didapati melakukan dosa seperti itu. Sedangkan jika pun ada, ternyata yang melakukannya orang yang statusnya sebagai sahabat masih diperdebatkan, seperti Walid bin Uqbah. Dan begitu pun, Walid bin Uqbah tidak pernah meriwayatkan hadits, setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Sedangkan namanya disebut pada masa hidup Rasulullah SAW semata untuk kepentingan penjelasan hukum atas kasus yang terjadi, sesuai syari'ah.

Al-Alusi berkata dalam kitab Al-Ajwibah Al-'Iraqiyah, hal. 23-24:

"Bukanlah maksud perkataan kami: Seluruh sahabat 'uduul (dipercaya dan jujur), berarti mereka tidak melakukan kesalahan atau dosa sama sekali. Mereka bisa saja melakukan dosa… kemudian yang patut diingat bahwa dari kalangan sahabat yang melakukan dosa, hingga akhirnya dijatuhui hukuman, mereka sangat sedikit jumlahnya, dibandingkan ribuan sahabat yang mulia yang terbukti memegang teguh jalan hidup yang lurus. Dan Allah SWT menjaga mereka dari dosa dan maksiat, yang besar maupun kecil dan yang lahir maupun yang bathin. Sejarah yang jujur menjadi bukti atas fakta tersebut."

Sedangkan Abu Hamid Al-Ghazali berkata dalam kitab Al-Mustashfa, hal. 189-190 sebagai berikut:

“Yang dijadikan pegangan oleh para sahabat dan jumhur: bahwa 'adalah Sahabat diketahui sesuai dengan pemberian sifat 'adalah itu oleh Allah SWT kepada mereka. Serta pujian-Nya bagi mereka dalam Al-Qur’an. Ini adalah keyakinan kami tentang mereka. Kecuali jika terbukti secara nyata salah seorang dari mereka melakukan dosa dengan sengaja. Dan hal seperti itu ternyata tidak terjadi. Sehingga terhadap mereka tidak perlu lagi dilakukan screening ke-'adalah-an.

Ditulis Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani

1 comment: