Friday, July 22, 2011

KEUTAMAAN MU'AWIYAH RA ( caci maki nabi saw menjadi penyuci )

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Dalam Shahih Bukhari, dalam Kitab Fadhail Ash Shahabah (Keutamaan-keutamaan Sahabat), Imam Al Bukhari menempatkan bab khusus untuk Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu, yakni Bab Dzikru Mu’awiyah. Beliau menyebutkan tiga riwayat tentang keutamaannya:

Riwayat pertama:

حدثنا الحسن بن بشر: حدثنا المعافى، عن عثمان بن الأسود، عن ابن أبي مليكة قال: أوتر معاوية بعد العشاء بركعة، وعنده مولى لابن عباس، فأتى ابن عباس، فقال: دعه فإنه صحب رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Bercerita kepada kami Al Hasan bin Bisyr, bercerita kepada kami Al Ma’afi, dari Utsman bin Al Aswad, dari Ibnu Abi Malikah, dia berkata:

“Muawiyah melakukan shalat witir setelah isya dengan satu rakaat, dan di sisinya ada pelayan Ibnu Abbas, lalu dia (pelayan) mendatangi Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas berkata: “Biarkan dia, karena dia adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari No. 3553)

Kedudukan Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu sebagai sahabat nabi sudah menunjukkan keutamaannya yang tinggi, dibanding manusia setelahnya.

Riwayat kedua:

حدثنا ابن أبي مريم: حدثنا نافع بن عمر: حدثني ابن أبي مليكة: قيل لابن عباس: هل لك في أمير المؤمنين معاوية، فإنه ما أوتر إلا بواحدة؟ قال: أصاب، إنه فقيه.

Bercerita kepada kami Ibnu Abi Maryam, bercerita kepada kami Nafi’ bin Umar, bercerita kepada saya Ibnu Abi Malikah:

“Dikatakan kepada Ibnu Abbas: Apa pendapat anda tentang Amirul Mu’minin Muawiyah, bahwa dia tidaklah melakukan witir melainkan satu rakaat? “ Ibnu Abbas menjawab: “Dia benar, dia adalah seorang yang faqih (faham agama).” (HR. Bukhari No. 3554)

Riwayat Ketiga:

حدثني عمرو بن عباس: حدثنا محمد بن جعفر: حدثنا شعبة، عن أبي التياح قال: سمعت حمران بن أبان، عن معاوية رضي الله عنه قال: إنكم لتصلون صلاة، لقد صحبنا النبي صلى الله عليه وسلم فما رأيناه يصليها، ولقد نهى عنهما. يعني: الركعتين بعد العصر.

Bercerita kepadaku ‘Amru bin Abbas, bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far, bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi At Tiyah, dia berkata: Aku mendengar Humran bin Aban, dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya kalian telah melakukan shalat, dan kami telah bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami belum pernah melihatnya dia melakukan shalat itu, dan beliau telah melarangnya. Yakni dua rakaat setelah ‘ashar. (HR. Bukhari No. 3555)

Komentar Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

"تنبيه": عير البخاري في هذه الترجمة بقوله ذكر ولم يقل فضيلة ولا منقبة لكون الفضيلة لا تؤخذ من حديث الباب، لأن ظاهر شهادة ابن عباس له بالفقه والصحبة دالة على الفضل الكثير، وقد صنف ابن أبي عاصم جزءا في مناقبه، وكذلك أبو عمر غلام ثعلب، وأبو بكر النقاش وأورد ابن الجوزي في الموضوعات بعض الأحاديث التي ذكروها ثم ساق عن إسحاق بن راهويه أنه قال لم يصح في فضائل معاوية شيء، فهذه النكتة في عدول البخاري عن التصريح بلفظ منقبة اعتمادا على قول شيخه، لكن بدقيق نظره استنبط ما يدفع به رءوس الروافض، وقصة النسائي في ذلك مشهورة، وكأنه اعتمد أيضا على قول شيخه إسحاق، وكذلك في قصة الحاكم.وأخرج ابن الجوزي أيضا من طريق عبد الله بن أحمد بن حنبل: سألت أبي ما تقول في علي ومعاوية؟ فأطرق ثم قال: اعلم أن عليا كان كثير الأعداء ففتش أعداؤه له عيبا فلم يجدوا، فعمدوا إلى رجل قد حاربه فأطروه كيادا منهم لعلي، فأشار بهذا إلى ما اختلقوه لمعاوية من الفضائل مما لا أصل له وقد ورد في فضائل معاوية أحاديث كثيرة لكن ليس فيها ما يصح من طريق الإسناد، وبذلك جزم إسحاق بن راهويه والنسائي وغيرهما، والله أعلم



Peringatan : pembukaan Al Bukhari dalam biografi ini dengan ucapannya DzikruI (menyebut/mengingat), dan dia tidak menyebut dengan istilah Fadhilah (keutamaan) dan bukan pula Manaqib (Kebaikan), dan dia juga tidak mengambil dari hadits tentang bab ini (bukan berarti dia tidak memiliki keutamaan, pen), karena sesungguhnya secara zahir kesaksian dari Ibnu Abbas terhadapnya sebagai orang yang faqih dan sebagai ‘sahabat’ menunjukkan keutamaannya yang banyak. Ibnu Abi ‘Ashim telah menyusun sebuah juz tentang kebaikan-kebaikan Mu’awiyah, begitu pula Abu ‘Umar Ghulam Tsa’lab, dan Abu Bakar An Niqasy. Sedangkan Ibnul Jauzi telah menyebutkan dalam Al Maudhu’at sebagian hadits-hadits yang mereka sebutkan, kemudian dia menyebutkan dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia berkata: Tidak ada suatu pun yang shahih tentang keutamaan Mu’awiyah. Maka, ini merupakan titik keadilan Al Bukhari yang di satu sisi dia mengakui dan memegang apa yang diucapkan dari perkataan gurunya (Ishaq), tetapi dengan pandangannya yang halus, beliau juga melakukan istimbath (penyimpulan) yang dijadikan sebagai bantahan untuk tokoh-tokoh rafidhah (Syiah). Kisah An Nasa’i tentang hal ini juga terkenal, seakan dia juga bersandar dengan perkataan gurunya, Ishaq. Demikian juga dalam cerita Al Hakim. Ibnul Jauzi juga meriwayatkan dari jalan Abdullah bin Ahmad bin Hambal: “Aku bertanya kepada ayahku; apa pendapat engkau tentang Ali dan Mu’awiyah?” lalu dia diam. Kemudian berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Ali memiliki banyak musuh lalu dia menyelediki musuh-musuhnya, dan dia punya aib tetapi mereka tidak menemukannya. Lalu mereka berpegang kepada seorang laki-laki yang telah memeranginya dan menjatuhkannya, sebagai muslihat dari mereka untuk Ali.” Beliau mengisyaratkan hal ini kepada perselisihan para ulama tentang keutamaan Mu’awiyah yang mana tidak ada dasarnya. Telah datang berbagai riwayat keutamaan Mu’awiyah sejumlah hadits yang banyak, tetapi tidak terdapat padanya keshahihan sanadnya. Dan inilah yang dipastikan oleh Ishaq bin Rahawaih, An Nasa’i, dan selainnya. Wallahu A’lam (Fathul Bari, 7/104. Darul Fikr)

Inilah pandangan objektif dari Al Hafizh Ibnu Hajar, di mana dia di satu sisi mengakui bahwa riwayat-riwayat ini tidak dalam judul keutamaan (Fadhilah) dan kebaikan (Manaqib) Mu’awiyah, tetapi dia menyebutkan bahwa keutamaan Muawiyah telah ditunjukkan oleh kesaksian Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma sebagai seorang faqih dan sahabat nabi.

Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar tidak sepenuhnya tepat. Sebab Imam Al Bukhari walau pun tidak memasukkan riwayat-riwayat di atas dalam bab fadhilah atau manaqib, namun Imam Al Bukhari memasukkan tiga riwayat ini dalam Kitab Fadhail Ash Shahabah (Keutamaan-Keutamaan Shahabat), artinya Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu termasuk jajaran para sahabat yang diakui memiliki keutamaan bersama para sahabat lainnya.

Selain itu, dalam Shahih Bukhari ini ada beberapa sahabat nabi lainnya yang tidak di beri judul bab Fadhilah dan Manaqib. Mereka adalah Al ‘Abbas bin Abdil Muthalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Usamah bin Zaid, Al Ash-har (kerabat nabi) yaitu Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’, dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum. Nama-nama ini diberi judul Bab oleh Imam Al Bukhari dengan Dzikru, bukan Fadhilah dan Manaqib. Namun demikian penyebutan Bab dzikru terhadap mereka sama sekali tidak menurunkan keutamaan mereka, kecuali di mata kaum para pencela sahabat nabi.

Benarkah Hadits-Hadits Keutamaan Mu’awiyah Tak Ada Yang Shahih?

1. Berikut tertulis dalam Sunan At Tirmidzi dalam Kitab Al Manaqib ‘an Rasulillah, pada Bab Manaqib Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

حدثنا محمد بن يحيى حدثنا أبو مسهر عبد الأعلى بن مسهر عن سعيد بن عبد العزيز عن ربيعة بن يزيد عن عبد الرحمن بن أبي عميرة وكان من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم

عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لمعاوية اللهم اجعله هاديا مهديا واهد به

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yahya, telah bercerita kepada kami Abu Mushir Abdul A’la bin Mushir, dari Sa’id bin Abdul Aziz, dari Rabi’ah bin Yazid, dari Abdurrahman bin Abi ‘Amirah, dan dia seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda kepada Muawiyah:

“Ya Allah jadikanlah dia sebagai orang yang bisa memberikan petunjuk dan seorang yang diberi petunjuk (Mahdi) dan berikanlah hidayah (kepada manusia) melaluinya.”

(HR. At Tirmidzi No. 3842, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Ahmad No. 17895, Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 5/240. Ibnu Abi ‘Ashim, Al Aahaad wal Matsani No. 1129, Al Khathib dalam Tarikh Baghdad , 1/207-208, Ibnul Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah No. 442, Al Khalal dalam As Sunnah No. 699, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jam Ash Shahabah, 2/146, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 660, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 8/358. Imam Ibnu Abdil Bar dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Lihat Al Ishabah, 4/342-343 dan Fathul Bari, 7/104)



Hadits ini shahih. Berkata Syaikh Syu’aib Al Arnauth:



رجاله ثقات رجال الصحيح، إلا أن سعيد بن عبد العزيز، الذي مدار الحديث عليه، اختلط في آخر عمره فيما قاله أبو مسهر ويحيى بن معين.



“Rijal hadits ini tsiqat (terpercaya) dan merupakan para perawi hadits shahih, kecuali Sa’id bin Abdul Aziz, dia menjadi pokok perbincangan hadits ini, dia telah mengalami kekacauan hapalan pada akhir usianya seperti yang dikatakan oleh Abu Mushir dan Yahya bin Ma’in.” (Musnad Ahmad No. 17895, dengan tahqiq; Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dan lainnya)



Syaikh Al Albani telah memberikan keterangan yang sangat panjang tentang shahihnya hadits ini. Kami tahu, sebagian kalangan sangat membenci Syaikh Al Albani, yakni kalangan syiah dan sebagian ‘alawiyin, dan menyebutnya sebagai salah satu gembong Wahabi zaman ini. Oleh karena itu tadinya kami enggan mengambil faedah darinya. Namun kami melihat pembahasan beliau sangat bagus, dan kami yakini bahwa bagi manusia yang objektif akan mengambil kebenaran dari mana saja asalnya. Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:



رجاله كلهم ثقات رجال مسلم ، فكان حقه أن يصحح



“Semua rijal (perawinya) adalah tsiqat (terpercaya) dan merupakan perawi yang dipakai Imam Muslim, maka hadits ini lebih benar adalah shahih.” (As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)



Lalu kenapa Imam At Tirmdzi ‘hanya’ menghasankan?



Dijawab oleh Syaikh Al Albani sebagai berikut:



لأن سعيد بن عبد العزيز كان قد اختلط قبل موته ، كما قال أبو مسهر
و ابن معين ، لكن الظاهر أن هذا الحديث تلقاه عنه أبو مسهر قبل اختلاطه ، و إلا
لم يروه عنه لو سمعه في حالة اختلاطه ، لاسيما و قد قال أبو حاتم : " كان أبو
مسهر يقدم سعيد بن عبد العزيز على الأوزاعي " .



“Karena Sa’id bin Abdul Aziz mengalami kekacauan hapalan sebelum wafatnya, sebagaimana dikatakan Abu Mushir dan Ibnu Ma’in, tetapi zahir hadits ini menunjukkan bahwa Abu Mushir meriwayatkan hadits ini darinya sebelum dia (Sa’id bin Abdul Aziz) mengalami kekacauan hapalan, seandainya tidak demikian Abu Mushir tidak akan meriwayatkan darinya jika dia mendapatkan hadits itu ketika keadaan hapalannya kacau. Apalagi Abu Hatim telah berkata: “Abu Mushir lebih mengutamakan Sa’id bin Abdul Aziz dibanding Imam Al Auza’i.” (Ibid)



Ya, benar apa yang dikatakan Syaikh Al Albani. Mana mungkin Abu Mushir di satu sisi mengetahui S’aid bin Abdul Aziz kacau hapalannya di akhir hayat, lalu di sisi lain dia mau meriwayatkan hadits ini dari Sa’id bin Abdul Aziz ketika dalam keadaan kacau hapalannya? Maka pastilah ini diriwayatkan oleh Abu Mushir dari Sa’id bin Abdul Aziz ketika Sa’id sebelum kacau hapalannya. Wallahu A’lam



Selain itu hadits ini memiliki empat riwayat lain yang dijadikan sebagai mutaba’ah (penguat) terhadapnya. (Selengkapnya lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)



Selain itu hadits ini juga dinyatakan SHAHIH oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (8/129), dan Imam Adz Dzahabi mengakui kehasan-an hadits ini dalam Siyar A’lamin Nubala (3/125), juga Al Jurjani menghasan-kan dalam Al Abaathil ( 1/193).



Maka, doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Ala Aalihi wa Sallam ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu yang sangat jelas. Kelompok syiah terus-menerus mengulang bahwa sebagian sahabat –termasuk Mu’awiyah- telah berubah menjadi pelaku maksiat bahkan menjadi kafir setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Persangkaan ini membawa konsekuensi:

1. Menunjukkan bahwa doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk Mu’awiyah tidak maqbul. Tentunya ini merupakan penghinaan atas kehormatan dan kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
2. Teranulirnya banyak ayat dan perkataan nabi yang menyatakan keutamaan mereka, seakan Allah dan RasulNya salah dalam memuji mereka. Tentunya pula ini merupakan kelancangan terhada firman Allah ‘Azza wa Jalla dan perkataan RasulNya.



2. Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, dari hadits Ummu Haram Radhiyallahu ‘Anha, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا

“Pasukan pertama dari umatku yang berperang mengarungi lautan telah wajib bagi mereka (yakni surga)”. (HR. Bukhari No. 2924)

Mu’awiyahlah yang menjadi panglima angkatan laut tersebut. Angkatan laut kaum Muslimin berperang mengarungi lautan pada masa kekhalifahan beliau.

Hal ini diceritakan oleh Bukhari dan Muslim, yang meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Anas bin Malik dari bibinya, Ummu Haram binti Milhan Radhiyallahu ‘Anhuma berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidur di dekat saya. Kemudian beliau terbangun, lalu tersenyum. Saya bertanya: “Apa yang membuatmu tersenyum?” Beliau menjawab:

أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ يَرْكَبُونَ هَذَا الْبَحْرَ الْأَخْضَرَ كَالْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa orang dari umatku yang mengarungi samudera biru ini, laksana para raja di atas singgasananya!”

“Mintalah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka!” pinta Ummu Haram. Lalu Rasulullah mendoakannya. Kemudian beliau tidur lagi. Dan beliau melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, lalu Ummu Haram bertanya seperti di atas, dan Rasulullah menjawabnya seperti jawaban sebelumnya. Ummu Haram berkata,”Mohonlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka,” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,”Engkau termasuk golongan pertama (dari angkatan laut tersebut)!”

Kemudian Ummu Haram keluar berperang menyertai suaminya, yakni Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhuma, bersama pasukan angkatan laut yang pertama kali diberangkatkan di bawah kepemimpinan Mu’awiyah. Sekembalinya dari peperangan tersebut, mereka singgah di Syam, lalu diserahkan kepadanya seekor kuda tunggangan. Kuda tunggangan tersebut membuatnya jatuh, hingga ia meninggal Radhiyallahu ‘Anhuma. (HR. Bukhari No. 2799 dan Muslim No. 1912)

3. Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah sekretaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan bahwa Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

قال: ومعاوية، تجعله كاتبا بين يديك. قال "نعم".

Abu Sufyan berkata: “Dan Mu’awiyah, kau jadikanlah dia sebagai juru tulis bagimu.” Beliau bersabda: “Ya.” (HR. Muslim No. 2501)

Beliau adalah salah seorang juru tulis wahyu, dan ini menunjukkan keutamaannya. Kalau bukan karena keutamaannya, karena apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkatnya?

4. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

كُنْتُ أَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَارَيْتُ خَلْفَ بَابٍ قَالَ فَجَاءَ فَحَطَأَنِي حَطْأَةً وَقَالَ اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ هُوَ يَأْكُلُ قَالَ ثُمَّ قَالَ لِيَ اذْهَبْ فَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ هُوَ يَأْكُلُ فَقَالَ لَا أَشْبَعَ اللَّهُ بَطْنَهُ

“Saya bermain bersama anak-anak lalu datang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan saya bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan mengeluarkan saya dan berkata: pergilah dan panggilah Muawiyah kepada saya. Maka saya mendatanginya, dan berkata: “Dia sedang makan.” Kemudian Nabi memintaku lagi: “Pergilah dan panggil Muawiyah kepadaku.” Saya katakana; “Dia masih makan.” Maka Nabi bersabda: “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” (HR. Muslim No. 2604)

Sebagian kecil kalangan tidak menerima jika hadits ini dijadikan sebagai keutamaan Mu’awiyah, karena mereka berpegang pada lahiriyah hadits saja. Bagi mereka ini adalah doa buruk buat Mu’awiyah. Lalu mereka memutar-mutar lidah mereka dengan berbagai alasan dan kata-kata yang dibuat-buat dengan target bahwa Mu’awiyah tetaplah terhina dalam pandangan mereka.

Ada pun Ahlus Sunnah, menetapkan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan sendiri. Oleh karena itu hanya nabi yang berhak menjelaskan apa maksud ucapan beliau yang bernadakan buruk kepada seorang muslim.
Imam Muslim memasukkan hadits Mu’awiyah di atas dalam Bab Man La’anahu An Nabi Aw Sabbahu Aw Da’a ‘Alaihi Wa Laisa Huwa Ahlan Lidzalika Kaana Lahu Zakatan Wa Ajran Wa rahmatan (Orang yang dilaknat, dicaci maki atau dido’akan jelek oleh Nabi sedangkan orang itu tidak layak diperlakukan seperti itu maka laknatan, caci maki dan doa itu menjadi penyuci, pahala dan rahmat baginya).
Banyak hadits nabi yang menyebutkan bahwa caci makian beliau itu adalah tazkiyah (pensucian), pahala, kaffarat (tebusan) dan rahmat bagi orang yang menerimanya. Berikut akan saya paparkan bberapa saja.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

دخل على رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلان. فكلمها بشيء لا أدري ما هو. فأغضباه. فلعنهما وسبهما. فلما خرجا قلت: يا رسول الله! من أصاب من الخير شيئا ما أصابه هذان. قال "وما ذاك" قالت قلت: لعنتهما وسببتهما. قال "أو ما علمت ما شارطت عليه ربي؟ قلت: اللهم! إنما أنا بشر. فأي المسلمين لعنته أو سببته فاجعله له زكاة وأجرا".

Datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dua laki-laki, keduanya datang dengan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu, lalu beliau memarahinya dan melaknat serta mencaci mereka berdua. Ketika keduanya keluar, aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Siapa yang mendapatkan kebaikan seperti yang didapatkan oleh kedua orang itu?” Beliau menjawab dengan balik bertanya: “kebaikan apa itu?” ‘Aisyah berkata: saya menjawab: “Engkau telah melaknat dan mencaci mereka berdua.” Beliau bersabda: “Apakah engkau tidak tahu isi perjanjian yang aku buat bersama Tuhanku ?” saya minta: “Ya Allah! Sesungguhnya saya ini hanyalah manusia, maka siapa saja umat Islam yang saya laknat atau caci maka jadikanlah itu sebagai pensuci dan pahala baginya.” (HR. Muslim No. 2600)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"اللهم! إنما أنا بشر. فأيما رجل من المسلمين سببته، أو لعنته، أو جلدته. فاجعلها له زكاة ورحمة".
“Ya Allah! Sesungguhnya saya hanyala manusia. Laki-laki mana saja dari kaum muslimin yang saya caci, atau laknat, atau cambuk, jadikanlah itu sebagai pembersih dan rahmat baginya.” (HR. Muslim No. 2601)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"اللهم! إني أتخذ عندك عهدا لن تخلفنيه. فإنما أنا بشر. فأي المؤمنين آذيته، شتمته، لعنته، جلدته. فاجعلها له صلاة وزكاة وقربة، تقربه بها إليك يوم القيامة".

“Ya Allah! Sesungguhnya saya telah mengambil janji kepadaMu yang tidak pernah Kau ingkari. Sesungguhnya saya hanyalah manusia. Maka, mukmin mana saja yang saya sakiti, saya caci, saya laknat, dan saya cambuk maka jadikanlah itu sebagai doa, pensuci, dan sebagai pendekatan diri kepadaMu pada hari kiamat.” (Ibid)
Dan masih banyak riwayat serupa. Inilah sikap kita seharusnya, yaitu menyikapi sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan, tidak merekayasa, apalagi menyimpangkannya. Oleh karena itu, doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu: “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” Merupakan tazkiyah, kaffarat, doa, dan rahmat bagi Mu’awiyah sebagaimana yang Nabi katakan sendiri.
Oleh karena itu Imam Ibnu ‘Asakir berkomentar tentang hadits Muawiyah di atas: sebagai hadits paling shahih tentang fadhilah (keutamaan) Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu. Berikut ini adalah ulasan Syaikh Al Albani yang sangat bagus:

و قد يستغل بعض الفرق هذا الحديث ليتخذوا منه مطعنا في معاوية رضي الله عنه ،
و ليس فيه ما يساعدهم على ذلك ، كيف و فيه أنه كان كاتب النبي صلى الله عليه
وسلم ؟ ! و لذلك قال الحافظ ابن عساكر ( 16 / 349 / 2 ) " إنه أصح ما ورد في
فضل معاوية " فالظاهر أن هذا الدعاء منه صلى الله عليه وسلم غير مقصود ، بل هو
ما جرت به عادة العرب في وصل كلامها بلا نية كقوله صلى الله عليه وسلم في بعض
نسائه " عقرى حلقى " و " تربت يمينك " . و يمكن أن يكون ذلك منه صلى الله عليه
وسلم بباعث البشرية التي أفصح عنها هو نفسه عليه السلام في أحاديث كثيرة
متواترة .
“Sebagian firqah telah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mencela Mu’awiyah. Padahal hadits ini tidaklah mendukung apa yang mereka sangka. Bagaimana tidak, sebab Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya (2/349/16) mengatakan: “Ini adalah hadits yang paling shahih tentang keutamaan Mu’awiyah.” Maka, secara zahir doa buruk dari Rasulullah ini tidaklah beliau maksudkan untuk mencela. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab yang menyempaikan perkataan yang tidak diniatkan. Sebagaimana perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sebagian isterinya: Aqri Halqi (kemandulanku adalah nasib malangku) dan ucapan Beliau: taribat yaminuka (tangan kananmu belepotan debu). Mungkin juga hal ini merupakan gaya bahasa yang menjadi khas beliau sebagai manusia. Buktinya banyak hadits yang bernada seperti ini yang banyak lagi mutawatir.” (Ash Silsilah Ash Shahihah No. 82)
Demikian sekelumit keutamaan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu. Keutamaan ini sudah memadai untuk membuktikan kedudukan beliau sebagai salah seorang sahabat nabi yang dimuliakan. Tetapi, Ahlus Sunnah mengakui bahwa Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu tidaklah dapat dibandingkan dengan keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Bahkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu sendiri mengakui keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu di atas dirinya.
Imam As Suyuthi Rahimahullah menyebutkan:

وأخرج البيهقي وابن عساكر عن إبراهيم بن سويد الأرمني، قال: قلت لأحمد بن حنبل: من الخلفاء؟ قال: أبو بكر، وعمر، وعثمان، وعلي قلت: فمعاوية؟ قال: لم يكن أحق بالخلافة في زمان علي من علي.
Al Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir meriwayat dari Ibrahim bin Suwaid Al Armani, dia berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hambal: “Siapakah para khalifah?” Beliau menjawab: “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.” Saya bertanya: “Mu’awiyah?” Dia menjawab: “Tak seorang pun yang berhak menjadi khalifah pada zaman Ali dibanding Ali sendiri.” (Tarikhul Khulafa’, Hal. 152. Maktabah Nizar Mushthafa Al Baz. Tarikh Dimasyq, 6/422. Darul Fikr)
Wallahu A’lam

Oleh: Farid Nu’man Hasan

No comments:

Post a Comment