Sunday, July 24, 2011

MADZHAB AHLUS SUNHAH TIDAK IDENTIK DENGAN ASY'ARIYAH

MADZHAB AHLUS SUNHAH TIDAK IDENTIK DENGAN ASY'ARIYAH

Seakan telah terijadi konsensus tak tertulis, bahwa setiap pengikut madzhab imam empat diberbagai belahan dunia selalu beraqidah Asy'ariyah,.Syafi'l fiqihnya, Asy'ari aqidahnya. Hanafi fiqihnya, Asy'ari aqidahnya. MaLiki fiqihnya, Asy'ari aqidahnya. Hambali fiqihnya, Asy'ari aqidahnya. Timbul pertanyaan benarkah imam-imam tersebut beraqidah Asy'ariyah?

Sungguh sangat ironis asumsi seperti ini. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Padahal Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan imam termuda di antara keempat imam tersebut dan dikagumi oleh Imam Abu Al Hasan-Al Asy'ari, tidak pernah berjumpa dengan Abu Al Hasan. Imam Ahmad lahir pada tahun 164 H dan wafat tahun 241. Adapun Abul Hasan lahir pada tahun 260 H (bahkan ada yang mengatakan tahun 270 H) dan wafat tahun 124 M. Jadi, Imam Ahmad lebih dahulu daripada Abul Hasan. Sehingga layak dipertanyakan, bagaimana mungkin Imam Ahmad mengikutl madzhab Abu AI Hasan dan menjadi Asy'ari?

Bila Imam Ahmad yang paling muda di antara empat Imam madzhab tersebut demikian keadaannya, bagaimana pula dengan Imam Syafi'i yang Lahir pada tahun 150 H dan wafat tahun 204 H. Kapan Imam Syafi'i kenal Asy'ariyah? Begitu pula dengan Imam Malik yang Lahir tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. Lebih ke atas Lagi Abu Hanifah, beliau lahir tahun 80 H wafat tahun 150 H.

Dengan demikian, sangat tidak mungkin para imam tersebut beraqidah Asy'ariyah. Sebuah madzhab aqidah yang muncul seecara baru, sesudah para imam tersebut wafat. Bahkan secara jelas, aqidah para iman tersebut adalah satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Hadits.

Imam Abu Hasan Al Asy'ari sendiri aqidahnya bukan Asy'ariyah Sebab paham Asy'ariyah telah ditinggalkannya semenjak beliau berguru kepada para murid imam Ahmad. dan kemudian beliau kembali kepada pemahaman Ahlu Sunnah, Sayangnya banyak kaum muslimin yang hanya bertaklid pada kesesatan. padahal figur-figur yang ditaklidinya tidak demikian.

Kita perhatikan, kehidupan Abul Hasan Asy'ari terdiri dari tiga tahap.[1]

Tahap pertama, ketika memeluk madzhab Mu'tazilah selama empat puluh tahun. di bawah asuhan ayah tirinya seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu Ali Al-Juba'i. Kemudlan beliau keluar, dan secara tegas menyatakan bahwa madzhab Mu'tazilah adalah sesat. Beliau sangat keras melakukan bantahan terhadap Mu'tazilah.

Tahap kedua. ketika mengikuti pemahaman Abu Muhammad Abdullah bin sa'id bin Kullab). Sebuah pemahaman yang bukan merupakan Mu'tazilah murni. tetapi juga bukan Sunnah murni. Di tangan Abu Al Hasan Al Asy'ari inilah, madzhab Kullabiyah berkembang, sehingga kemudian Lebih dikenal dengan aliran Asy'ariyah.

Tahap ketiga, ketika memeluk madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Yaitu setelah beliau meninggalkan madzhab Asy'ariyah atau Kullabiyah. Beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal dan madzhab para imam sebelumnya. Hal itu telah dinyatakan oleh Imam Abu Al Hasan sendiri dalam kitabnya yang beliau tulis pada akhir-akhir perjalanan hidupnya, yaitu kitab Al Ibanah 'an Ushul Ad Diyaniah.

Kesimpulannya, Abu Al Hasan Al Asy'ari pada akhir hayatnya mengikuti madzhab AhLu Sunnah wal Hadits. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta 'ala, yang telah Allah subhanahu wa ta 'ala tetapkan sendiri bagi diri-Nya dalam Al Qur'an, atau telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi wa salam dalam hadits-haditsnya: tanpa tahrif, tanpa ta'thil, tanpa rakyif dan tanpa tamtsil.

Inilah madzhab resmi Imam Abu AL Hasan Al Asy'ari . Sebab madzhab seseorang adalah madzhab yang dinyatakannya secara tegas pada akhir hayatnya. Jadi madzhab beliau bukan Asy'ariyah. Dan Ahlus Sunnah Juga tidak identik dengan Asy'ariyah. Asy'ariyah adalah madzhab baru sedangkan Ahlus Sunnah adalah para pengikut Sunnah (ajaran) Nabi Shalallahu'alaihi wa salam . Tetapi mengapa kaum muslimln banyak yang menutup mata terhadap masalah ini? Apakah karena taklid buta.

Footnote

1. Lihat Al-Qawaid Al Mutsla Fi Shifatillah wa Asma'ihi Al Husna, Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdr Rahim, Maktabah As Sunnah , Cet I Th. 1411H/1990M, Bab Khatimah

PANDANGAN ULAMA TENTANG ABU AL-HASAN AL-ASY'ARI

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau gunakan sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih terang, jelas dan sistematis demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".


AQIDAH ABU AL-HASAN AL-ASY'ARI
Secara garis besar aqidah asy'ari setelah beliau bertaubat merupakan aqidah Ahlussunnah wal jama'ah yaitu meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang boleh digambarkan, dan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi kewujudan-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Allah tidak diliputi arah. Allah ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Allah wujud setelah menciptakan tempat dan tanpa bertempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya bila, dimana dan bagaimana ada-Nya. Allah ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Allah tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Allah tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya. Allah tidak terjangkau oleh fikiran dan tidak terbayang dalam ingatan, karena apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Allah maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Allah berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, kerana Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh dia telah kafir. Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Alah juga yang menentukan rezeki dan ajal mereka. Tidak ada yang boleh menolak ketentuan-Nya dan tidak ada yang boleh menghalangi pemberian-Nya. Allah berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Allah kehendaki. Allah tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akan diminta dipertanggungjawakan atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Allah bersifat dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Nabi Muhammad diutuskan oleh Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Nabi Muhammad jujur dalam setiap apa yang disampaikannya.


SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu [1] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

" Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu." [Ali Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” [2]

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di antaranya:

[1]. Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

[2]. Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghuraba’(orang yang terasing). Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [3]

[3]. Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

[4]. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan [5] : “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, ber-tambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

[5]. Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah [6] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”

[6]. Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [7]

[7]. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[8]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penafsir al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ‘pena’ dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu 'anhuma pernah menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330 no. 4781).
[2]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Daarus Salaam), Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/79 no. 74).
[3]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[4]. Beliau Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimy t, adalah seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khuraasaan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15 no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264 no. 540).
[5]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albany Rahimahullah
[6]. Beliau Rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan al-Qur-an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Beliau meninggal di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
[7]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary Rahimahullah'
[8]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44)

No comments:

Post a Comment