Sunday, July 24, 2011

DIBOLEHKAN MENGUNGKAPKAN KESESATAN AHLU BID'AH

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalammu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam, ahlul bait dan sahabat-sahabat beliau. Kami juga memohon perlindungan kepada-Nya terhadap keburukan-keburukan hawa nafsu kami, serta berlindung terhadap akibat perbuatan buruk kami. Barangsiapa diberi karunia hidayah oleh Allah, niscaya ia akan mendapatkan hidayah. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada siapa pun yang dapat memberinya petunjuk.

Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat dan segala kesesatan tempatnya dineraka" (HR. Muslim no. 867)

Saudaraku, betapa berharganya sebuah hidayah dari Allah subhanahu wa ta'ala ketika seseorang diberikan hidayah untuk menerima Islam sebagai agamanya adalah suatu kenikmatan dan patut disyukuri, karena Allah telah menyelamatkan dirinya atas kekalnya dia didalam neraka-Nya. Dan alangkah sempurnanya ketika Allah memberikan hidayah yang ke-2 yakni Allah perkenalkan dia untuk mengenal Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi adalah musibah ketika seorang diberikan hidayah masuk kedalam Islam namun tidak Allah jadikan sebagai pengikut pemahaman yang shahih (al-jama'ah).

Abul 'Aliyah rahimahullah berkata: "Saya telah membaca ayat-ayat muhkam sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wasallam sekitar sepuluh tahun. Tenyata Allah telah menganugerahkan kepadaku dua kenikmatan yang saya tidak tahu mana yang lebih utama, yaitu Allah memberiku hidayah untuk menerima Islam dan tidak menjadikan aku seorang Haruri (Khawarij)."

(Diriwayatkan 'Abdurrazaq, Ibnu Sa'd dan Al Lalikai dalam Syarh Ushul I'tiqad :230 dengan lafadz yang berbeda, lihat mukaddimah Madarikun Nazhar Syaikh Ar Ramadlani hal 21)

Riwayat diatas menjadikan pelajaran kepada kita bahwa tiada yang lebih berharga daripada dien ini kecuali mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam dengan pemahaman shalafus shalih, beliau juga menerangkan bahwa alangkah beruntungnya Allah subhanahu wa ta'ala tidak menjadikannya sebagai ahlul bid'ah (pengikut kesesatan).

Saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan kita kaum mukminin sebagai penegak ingkarul mungkar (yang mengingkari kemungkaran) dan memerintahkan kebaikan, sebagaimana firmanNya.

"Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." [QS. Ali Imran: 104]

Namun disisi lain ada juga orang yang selalu memusuhi orang-orang yang berbuat kebaikkan, membela sunnah dan mencegah kemungkaran. Mereka salah memahami kebaikan seperti apa yang dia inginkan. Mereka memahami kebaikkan dalam artian yang sempit, kebaikan itu membacakan al Qur'an, membacakan hadits, ikut pengajian, sedekah, beramal shalih namun dia tidak memandang kebaikkan itu mengajak orang, melarang orang dari perbuatan bid'ah dan maksiat, melarang seseorang jatuh didalam kesesatan, kemudian memperingatkan kesalahannya, itu bukan dia anggap kebaikkan.

Selama kami menulis bantahan-bantahan syi'ah ini demi membela sunnah ternyata ada orang yang sifatnya seperti ini, dengki karena ada sesuatu penyakit didalam hatinya, mereka yang mencela kami berkata "Hentikan pertikaian ini! Andai saja kalian mengerti bahwa dengan perselisihan ini yang membuat kita dtertawakan bangsa kera yahudi lihat!! Mereka senang tak perlu mengeluarkan keringat untuk menghancurkan kita karena sudah dengan sendirinya saat ini islam semakin terpecah semakin merasa paling benar, semakin merasa golongannya yang paling benar dengan terus mengumbar kesalahan golongan lain."

Masya Allah...

Ketahuilah wahai saudaraku, orang yang mengatakan seperti ini tidaklah lepas dari empat kesalahan yaitu:

1. Dia telah berbuat dholim terhadap dirinya sendiri,
2. Dan dholim kepada orang lain yang membaca tulisannya,
3. Menutup mata terhadap kemungkaran yang ada maka patut dipertanyakan keimanannya ? Dan hendaknya dia takut terhadap ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam ini.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, Nabi shallalahu 'alaihi wassalam bersabda : “Tiada seorang nabi yang diutus Allah kepada ummatnya sebelumku, melainkan ada diantara ummatnya yang menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan (berbuat bid'ah). Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki keimanan sebiji sawipun. (HR Muslim).
4. Mencela orang yang tengah membela sunnah.
Hendaknya seseorang yang berkata seperti ini segera bertaubat dan takut terhadap Allah, sebab sekecil apapun perbuatan yang buruk itu akan mendatangkan azab bagi dirinya dan orang lain. Hendaknya dia takut akan ayat Allah tentang bani Israel yang dilaknat karena tiada diantara mereka yang mencegah kemungkaran, dalam al Qur'an dikatakan:

Telah dilaknat Orang-orang kafir dari Bani Israel melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. [QS. Al Maidah: 78-79].

Saudaraku, mencela dengan menerangkan kesalahan golongan atau orang yang mujahir (bermaksiat secara terang-terangan) bukanlah termasuk ghibah dalam 6 perkara berikut ini:

Al-Imam Nawawi Rahimahullah menjelaskan 6 perkara tersebut yaitu:

1. Orang yang terdholimi
Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi atau menganiaya diriku.
2. Yang memperkenalkan
Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela atau mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.
3. Yang memperingatkan
Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang atau kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal:
* Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.
* Meminta pendapat atau musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.
* Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru atau dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad atau dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.
* Seseorang yang memiliki tanggung jawab atau tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan
4. Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan
Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent)
5. Orang yang meminta fatwa
Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan atau tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya atau namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama atau personnya. Tapi menyebutkan nama atau personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang disebutkan dalam hasits Hindun berikut ini:

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anhuma beliau berkata :
Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda : “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)
6. Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran
Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia atau dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran atau kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.

(Imam Nawawi dalam “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa” oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121)

Ketahuilah saudaraku, jika seandainya orang syi'ah (si mubtadi') ini tidak berbuat fasik secara terang-terangan (mujahir) seperti ini, niscaya kami tidaklah menulis bantahan-bantahan terhadap syubhat yang berbahaya dari orang ini.

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Rahimahullah berkata:
“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa dan ahlul bid’ah yang menyesatkan (ummat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan balasan mereka. Ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)

Bahwa Ahlus sunnah sepakat mengungkap kebid’ahan dan menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada kaum muslimin, merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan dalil yang shahih boleh menghujat dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk menasihati ummat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah, beliau berkata: ”Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya : “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, ”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berarti berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu. (Majmu’ Fatawa 28/231-232).

Beliau Rahimahullah menambahkan "Apabila seorang mubtadi (ahli bid'ah) menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah, atau menempuh manhaj (jalan) yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya" [Majmu’ Fatawa 28/221]

Kepada orang Syi'ah yang membaca tulisan ini saya mengajak anda untuk kembali kepada jalan yang diridhai oleh Allah, janganlah anda mencela para sahabat, masih ingatkah dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS: At-Taubah: 100)

Keridhaan Allah bersama dengan orang-orang yang mengikuti mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, lalu bagaimana mungkin Allah ridha kepada anda jika anda menyelisihi mereka, bahkan mencelanya? Semoga Allah Ta’ala menunjukkan kebenaran kepada anda.

Ingatlah wahai orang syi'ah, mencela, memusuhi seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alayhi wassalam, mencela ulama-ulama sunnah sama dengan menghina, memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alayhi wassalam, dan kami akan senantiasa memusuhi orang yang memusuhi sunnah nabi-Nya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: "...Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku..." (HR. Bukhari)

“Janganlah kalian mencerca para shahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka (pahala) infaq kalian tidak akan mencapai (pahala) infaq sebanyak dua telapak tangan mereka bahkan tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ketahuilah wahai orang syi'ah barangkali tidak disini (ditempat lain) selain bulletin ini anda bisa leluasa menebar syubhat, menyesatkan ummat, namun Allah maha bijaksana dan maha adil, Allah masih berkehendak membangkitkan orang-orang yang senantiasa menolong agama-Nya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda :
"Akan terus ada sekelompok dari umatku yang menampakkan kebenaran hingga datang keputusan Allah sedang mereka dalam keadaan menang." (Hadits Muttafaq 'alaihi dari Al Mughirah radliyallahu 'anhu)

1 comment:

  1. Mencerca sahabatku?? Nabi SAW bicara dgn siapa ?? Musuh atau keluarga ??

    ReplyDelete