Sunday, July 24, 2011

AHLU BAIT BERLEPAS DIRI DARI SYIAH

Masya Allah betapa jahat dan bencinya orang syi’ah ini kepada golongan Ahlussunnah. Saya ingatkan kembali kepada Syi’ah janganlah kalian menuduh sesama muslim dengan tuduhan tanpa bukti, dan jika tuduhan itu salah (orang yang dituduh tidak pernah melakukannya) maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma., ia mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: "Seorang laki-laki yang menuduh laki-laki lain itu jahat atau menuduhnya kafir, maka tuduhannya itu berbalik kepada dirinya, seandainya orang yang dituduhnya itu tidak seperti itu." (HR Muslim I - 33, 49)

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh as-Salafus shalih Al-Imam Ibnu Sirin Rahimahullah, beliau mengatakan:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian." (Muqaddimah Shahiih Muslim)

Beliau juga mengatakan: "Mereka (para shahabat dan tabi'in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang sanad hadits. Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat seperti Khawarij, Syi'ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: "Sebutkan kepada kami sanad kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan apabila datang dari ahli bid'ah maka ditolak haditsnya." (Ibid.)

Imam Husain ada di hati kami

Diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah adalah mencintai Ahlul Bait. Kami mencintai Ahlul bait Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, menjadikan mereka wali dan selalu menjaga hak-hak mereka yang pernah diwasiatkan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalla: “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku).” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2408 (36)

Maka Ahlussunnah sangat mencintai dan memuliakan mereka, karena hal itu adalah bagian dari kecintaan dan pemuliaan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan syarat: mereka (Ahlul bait) harus berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan nabi) dan berada diatas jalan yang lurus. Sebagaimana pendahulu mereka, seperti: Abbas dan anaknya, Ali dan anaknya. Adapun orang-orang yang menyelisihi bimbingan nabi dan tidak berada di jalan yang lurus maka kami tidak menjadikan mereka wali walaupun dari kalangan Ahlul bait.

Sebagaimana yang diceritakan dalam Al Qur’an:

“Cekalalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS. Al-Lahab: 1)”

Maka sikap Ahlussunnah terhadap Ahlul bait adalah sikap yang adil dan inshaf: Ahlussunnah menjadikan wali setiap Ahlul bait yang istiqamah diatas jalan yang lurus dan berlepas diri dari setiap Ahlul bait yang menyimpang.

Demikian pula (Ahlussunnah) berlepas diri dari Ahlul bid’ah dan Khurafiyyin, yaitu orang-orang yang bertawasul dengan Ahlul bait (yakni tawasul yang tidak benar) dan menjadikan mereka Tuhan selain Allah.

Ahlul bait berlepas diri dari Syi’ah

Maka manhaj Ahlussunnah dalam perkara ini dan selainnya adalah tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak pula bermudah-mudahan.

Ahlul bait yang berjalan diatas agama yang lurus juga mengingkari sikap berlebihan terhadap mereka serta belepas diri dari mereka. (sebagai contoh) Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah membakar orang-orang yang berlebihan terhadap dirinya dengan api. Ibnu Abbas juga sepakat membunuh mereka akan tetapi dengan cara di penggal bukan dibakar.

Dan Ali bin Abi Thalib pun ketika itu ingin membunuh Abdullah bin Saba’, gembong ghulah (pendiri syi’ah rafidhah) akan tetapi ia lari dan bersembunyi…….

(diterjemahkan dari kitabut tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Hal.71-73 cetakan I Maktabah Ibnu ‘Abbas)

Syi’ah bukanlah ahlul bait dan ahlul bait berlepas diri dari syi’ah keduanya terdapat perbedaan yang jauh bagaikan timur dan barat bahkan lebih jauh lagi

Barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?

Sangat tepatlah ucapan seorang penyair:

كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَبِذَاكَ

Setiap lelaki mengaku kekasih Laila

Namun Laila tidak pernah mengakuinya

Yang Ahlussunnah ketahui tentang Imam Husain, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga yang paling mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu ini. Imam Husain dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni syurga. Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, orang yang mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang harus dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman.

Ahlussunnah menganggap bahwa mencintai Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi Ali adalah bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus dijauhi. Imam Husain adalah anak dari penghulu wanita penghuni syurga, belahan hati Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan oleh Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul Bait ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”.

Imam Husain adalah penghulu Ahlussunnah, dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husain dan yakin bahwa cinta padanya adalah ikatan tali iman. Mencintai Imam Husain termasuk amal terbaik yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam rangka melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”. Barang siapa mencintai Imam Husain berarti dia telah mencintai Nabi dan sebaliknya, yang membenci Imam Husain berarti telah membenci Nabi.

Kami Ahlussunnah beranggapan mengenai Imam Husain sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau : “siapa yang menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian wahai Ahlul Bait?”

Kami Ahlussunnah meyakini bahwa Imam Husain telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau bantu-membantu dalam membunuh Imam Husain, atau mereka yang ridho atas kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam Husain adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husain juga bersabar dalam menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam Husain termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husain.

Setiap kami mengingat musibah itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti Husain, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi...dst) maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”

Walaupun kami mencintai Imam Husain, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”

Ahlussunnah tidak berdoa dan meminta pertolongan pada Imam Husain dengan alasan menghormatinya [Ahlussunnah tidak mengatakan: Ya Husain… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni] , karena Allah melarang kami berbuat demikian.

Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai tuhan selain Allah.

Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi, seperti kemaksuman dan kewenangan membuat syari’at baru, yang hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini.

Ahlul Bait adalah mereka yang paling keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.

Ahlussunnah tidak melanggar perintah kakek Imam Husain, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah. Rasulullah menerangkan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud. Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husain tidak pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husain sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husain.

Hari Asyura adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu syahidnya Imam Husain. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar, sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husain, dengan hati yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi kabar gembira.

(Dr. Abdul Wahhab Al Turairi )

1 comment:

  1. Masya Allah.. Nasehat yang berharga buat saya pribadi menghadapi berbagai fitnah dan syubhat Syiah ...

    ReplyDelete