Sunday, July 10, 2011

ASY'ARIYAH JAHMIYAH MENGIMANI DUELISME

Asya’irah Jahmiyah Mengimani Duelisme


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [Al Hadid: 4]

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada” [al-Mujadalah: 58]


Dari ayat ini maka lahirlah satu keimanan, bahwa kalau tuhan itu berada di atas Langit bererti keabsahan ayat diatas hilang dan bererti juga bahwa al Quran saling berlawanan antara kandungannya; yang kedua-dua ini – satunya mengimani Tuhan di Arasy dan yang keduanya fenomena saling berantagonis adalah satu hal yang mustahil bagi Maha Suci Tuhan.

Justeru yang benarnya bagi penganut paham Asya’irah; bahwa Allah itu wujud tanpa mengambil tempat. Dan barangsiapa yang mengimani sebaliknya, termasuklah bahwa Allah itu istiwa di atas Langit bererti dia telah menjisimkan Tuhan, beraqidah persis Yahudi!

Keimanan seperti ini memang kita sebagai Ahlus Sunnah memahaminya – terbit dari Jahmiyyah, Asya’irah, Mu’tazilah, Syiah dan beberapa sekte lain -sehingga kita tidak kisah kalau merka memanggil kita sebagai mujassimah. Kerna para imam dari dahulu lagi telah menginagatkan kepada kita hal yang demikian; Imam Ishaq bin Rahawaih, Abu Hatim ar Razi, ash Shabuni, Ibnu Taimiyyah dan lainnya (Lihat Syarh Ushul I’tiqad I/204 oleh Imam al Lalikai, Aqidah ath Thahawiyah I/85, Minhajus Sunnah II/75 dan Aqidah Salaf hal. 116).

Imam ash Shabuni meriwayatkan dalam Aqidah Salaf halaman 116 bahwa Imam Ahmad bin Sinan al Qaththan rahimahullah pernah berkata: “Tidak ada seorang ahli bid’ah pun di dunia ini kecuali dia benci terhadap ahli hadits”

Makanya tak pelik kalau ada manusia pondokius yang selalu menyesatkan Salafi dengan alasan ini, kerna sebelum kita dikatakan sesat, para imam terdahulu sudah disesatkan mereka.

Memang orang sesat tak melihat jalan petunjuk, dan memandang orang yang tidak sesat sebagai manusia yang tersesat; walhal dirinya yang sesat tidaklah diketahuinya lantaran dia tidak menemukan hidayah dan basirh.

Tetapi yang lebih menakjubkan adalah apabila kita menyatakan bahwa para sufi yang bercokol dengan ajaran Hindu itu sebagai sesat dan menyesatkan; lantas mereka ini; Asya’irah – Jahmiyyah, membela mati-matian sehinggakan mereka mengatakan bahwa Ibn Arabi dan Hallaj sebagai mu’min dan syeikh kabir!

Maha Suci Allah dari kekufuran mereka berdua.

Pengiktirafan mereka kepada jalan sufi berupa satu yang sukar kita imani dan terima secara waras. Kalau saya ini gila, ya mungkin juga saya kan menerimanya.

Ini kerna keimanan “Wujud Allah” antara Aya’iran dan Sufi amat berseberangan, bertentangan dan saling menyalahkan – duelisme! Bagaiman dua pandangan yang saling bertilak belakang diterima dan disepakati kebenarannya?

Inilah yang bisa membikinkan manusia waras seperti kita kebingungan.

Asya’irah mengatakan bahwa Tuhan itu Wujud Tak Bertempat

Sufi mengatakan bahwa Wujud Tuhan itu pada semua makhluknya – ada di mana-mana.

Asya’irah beriman bahwa kalau tuhan itu bertempat mak kita telah menjisimkan tuhan, bererti bahwa sufi juga mujassimah pada kontek ini.

Sufi pula beriman bahwa kalau tuhan itu tidak ada dimana-mana, bererti bahwa tuhan itu tidak wujud, lantaran dalam pengertian sufi bahwa Allah adlah hakikat sedangkan makhluk adalah bayangan semata-mata.

Kerna itu Allah menyebutkan dalam Al Mujadalah: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya”, begitu juga ayat seterusnya: “Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya”. Mengapa tidak Allah gunakan “Dan tiada [pembicaraan antara] empat orang, melainkan Dia-lah yang kelimanya” atau “Dan tiada [pembicaraan antara] enam orang, melainkan Dia-lah yang ketujuhnya”?

Ini menunjukkan bahwa Allah melengkapkan kejadian makhluk, sehingga apa yang wujud di dunia ini sebenarnya adalah zat tuhan itu yang hakikat. Kalaulah campuran manusia dan tuhan menjadi angka ganjil, bereti bahwa Tuhan itu terpisah dengan makhluk, dan ini tidak dikhabarkan oleh Allah az zawajalla. Makhluk membutuhkan uhan tetapi Tuhan tidak membutuhkan manusia, tanpa sadar sebenarnya Tuhan juga membutuhkan kita untuk menjadi Sang Pencipta. Tanpa mansia, tuhan tak bererti, lalu untuk ada ertinya maka Tuhan menjadikan manusia.

Inilah paham sufi dalam melihat wujud Tuhan!

Lalu persoalannya, bagaimanakah para Jahmiyah Asya’irah seperti Al Kauthari, Abdullah Al Harari al Ahbashi, Hasan As Saqaf As Sy’ie, Nuh Ha Men Keller, Gf Haddad, Nizam Qubrusi as Sufi, Hisham Kabbani, keluarga Al Ghumari, dan seperti juga para penyangjung mereka di negara kita yang lantang mencela Salafi, bisa menerima sufi yang nyata menyalahi aqidah “Tuhan Wujud Tanpa Tempat”, dan dalam masa yang sama mereka menyesatkan paham Salaf?

Walhal; aqidah yang mereka anuti itu, tak ada sepotong hadith pun, malah tak ada sekerat ucapan para imam sahabat dan pra imam sesudahnya.

Begitu juga dengan aqidah sufi yang sekelian ulama menghukum kafir Ibn Arabi dan Hallaj, yang aqidah ini dibina tanpa ada sepotong hadith, atau atsar atau ucapan para imam, malah Imam Syafi’e sendir mencela sufi!

Lalu bagaiman mereka bisa menyesatkan Salafi, walhal kita memiliki hujjah tentang hal Allah Istiwa di Atas Lanit yang menghampiri jumlahnya 1000 dalil nash!

Akhirnya, benarlah kata Albani, sang ilmuan hadith; “Burung itu akan bersama dengan kelompoknya”

Apakah gagak yang hitam akan terbang bersama cenderawasih? pasti tidak. Dan apakah cenderwasih akan menerima gagak yang hitam? Pasti tidak. Lalu kerna despresi; gagak akan mencela cenderawasih dan kemudian gagak akan menganggap bahwa dirinya putih dan cenderawasih adalah hitam.

Mungkin ketika mereka pada peringkat awal, mereka menjadi mujassimah, dan kemudian apabila umur sudah tua dan muka sudah kerepot, maka kesedaran untuk menjiwai alam kerohanian Hindu pun menerpa lalu mereka menjadi politisme pula.

Justeru, Asya’irah Jahmiyah telah menjadi satu kelompok yang beriman dengan sistem Duelisme; bukan sahaja mereka ini sebenarnya mujassimah kerna melihat Tuhan dalam kerangka pandang seorang manusia, malah mereka juga mengimani Politisme.

Menjadi Asya’irah Jahmiyah maknanya menidakkan wujud tuhan kerna dari logik yang selalu mereka gunakan metodanya; sesuatu yang tidak wujud tidak perlukan tempat.

Menjadi Sufi bereti menyembah banyak tuhan malah termasuk diri sendiri; mengikut logik; kalau wujud tuhan ada dimana-mana dan Tuhan adalah pelengkap makhluk bererti bahwa diri sendiri juga adalah tuhan!

Akhirnya, mana satukah yang benar wahai Asya’irah Jahmiyah? Allah itu dimana-mana, atau Allah itu tidak bertempat? Atau keduanya kalian terima? Dan mengapa kalian tidak mahu tunduk kepada basirah – Allah Di Atas Arysh!

http://loluconagama.wordpress.com

No comments:

Post a Comment