Tuesday, July 26, 2011

HUKUM ABORSI ( MENGGUGURKAN JANIN )

Hukum Aborsi (Menggugurkan Janin) Adalah Perkara Yang Diharamkan


--------------------------------------------------------------------------------

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan


Wahai saudariku wanita Muslimah, berdasarkan tuntunan syari'at engkau mengemban amanah terhadap kehamilan yang Allah Ta'ala ciptakan dalam rahimmu. Untuk itu janganlah kamu tutup-tutupi amanat tersebut. Allah Ta'ala berfirman,


وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ


“Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (Al-Baqarah: 228)


Janganlah kamu mencari alasan untuk menggugurkan kandunganmu dan menghindar darinya dengan cara apapun, karena Allah Ta’ala memberikan keringanan padamu dengan berbuka di bulan Ramadhan bilamana puasa itu menyusahkan dirimu atau puasa itu dapat membahayakan kehamilanmu.


Sungguh, perbuatan aborsi (menggugurkan kandungan) tidak asing lagi di zaman ini. Padahal perbuatan ini adalah perbuatan yang diharamkan. Apabila ruh (nyawa) telah ditiupkan ke dalam kandungan dan janin itu kemudian mati karena aborsi, maka hal itu merupakan pembunuhan yang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan termasuk pembunuhan jiwa tanpa hak. Ini termasuk dalam rangkaian Hukum Pertanggungjawaban Pidana, pihak yang telah melakukan pembunuhan berkewajiban membayar diyat sesuai perincian ketentuan yang ada.


Menurut sebagian ulama, seseorang yang membunuh janin berkewajiban membayar kafarat yaitu dengan memerdekakan budak perempuan yang mukmin, jika tidak mendapatkannya maka berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Sebab sebagian ulama menyamakan perbuatan ini dengan al-ma’udatu ash-shughra (jenis ringan dari mengubur bayi hidup-hidup).


Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullahu Ta’ala berkata di dalam Majmu Al- Fatawa (11/151), “Adapun usaha untuk menggugurkan kandungan, maka hal itu tidak boleh, karena belum ada hak kematiannya. Namun jika ia sudah pasti mati, maka hal itu boleh.”


Majelis Hai'ah Kibar al 'Ulama' (Riyadh-Saudai Arabia) mengeluarkan surat keputusan fatwanya No. 140, tanggal 20/6/1407 H sebagai berikut:


1. Tidak boleh menggugurkan kandungan dalam berbagai usia, kecuali ada sebab (alasan) syar’i yang dibenarkan dan dengan ketentuan yang sangat ketat sekali.


2. Apabila usia kandungan berada di masa pertama yaitu 40 hari, sedang penggugurannya adalah maslahah syar’iyyah atau untuk mencegah bahaya, maka diperbolehkan menggugurkannya. Namun pengguguran pada masa sekarang karena (alasan) takut akan kesulitan dalam mendidik anak, atau takut akan kelemahan (kekurangan) dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mengasuhnya, atau karena berkaitan dengan masa depan mereka, atau karena tidak ada kesanggupan bagi suami-istri untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, maka hal-hal tersebut tidak boleh.


3. Tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan, walaupun kandungan itu baru berbentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudhghoh (segumpal daging), sampai diputuskan oleh tim dokter yang dipercaya bahwa kelanjutannya akan membahayakan, seperti bila diteruskan mengakibatkan kematian bagi sang ibu, maka boleh menggugurkan kandungan, itupun setelah mencari berbagai cara untuk menghindari bahaya tersebut.


4. Setelah masa bulan ketiga dan telah sempurna 4 bulan usia kandungan, tidak diperbolehkan penggugurannya sampai diputuskan oleh tim dokter spesialis yang dipercaya, bahwa adanya janin di dalam perut ibunya akan menyebabkan kematian (ibunya) dan hal itu setelah berupaya mencari berbagai cara untuk menyelamatkan hidupnya. Maka keringanan dalam mendahulukan pengguguran dengan syarat- syarat ini adalah mencegah yang lebih besar dari dua bahaya dan menghimpun yang lebih besar dari dua maslahat.


Majelis Hai'ah Kibar al 'Ulama' seiring mengeluarkan keputusan fatwanya ini mewasiatkan untuk bertakwa kepada Allah Ta'ala dan berlaku cermat penuh kehati- hatian dalam mengambil tindakan untuk masalah ini. Allah Ta'ala semata pengarunia taufiq. Semoga shalawat dan salam Allah Ta'ala limpahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan shahabatnya.


Dalam kitab Risalatu Ad-Dima’i Ath-Thabi’iyah lin-Nisa’ (Risalah Darah-darah Alami bagi Wanita) karya Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, beliau menyebutkan, “Apabila yang dimaksudkan pengguguran janin ini adalah penghilangannya, maka jika dilakukan setelah ruh (nyawa) ditiupkan ke dalamnya adalah haram tanpa keraguan, sebab termasuk pembunuhan jiwa tanpa hak. Dan pembunuhan jiwa yang diharamkan adalah haram menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma ‘Ulama.” (hal. 10)


Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Ahkamu An-Nisaa’ hal. 108-109 mengatakan, "Nikah disyariatkan untuk memperoleh anak, dan tidaklah setiap sperma dapat menjadi anak. Karena itu jika telah terbentuk berarti telah tercapai tujuan itu. maka kesengajaan menggugurkan adalah menyalahi hikmah. Apabila aborsi dilakukan di awal kehamilan –yakni sebelum ruh (nyawa) ditiupkan ke dalam (janin) tersebut- adalah dosa besar. Karena ia akan menginjak pada tahap penyempurnaan yang kemudian berlanjut kepada penyelesaian , kecuali bahwa hal tersebut lebih kecil dosa besarnya daripada yang telah ditiupkan ruh (nyawa) ke dalamnya. Maka keyakinan pengguguran terhadap janin yang telah ada ruh di dalamnya adalah sama seperti pembunuhan terhadap seorang mukmin. Allah Ta’ala telah berfirman :


وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ


“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa Apakah Dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)


Wahai saudariku wanita Muslimah, bertakwalah kepada Allah! Janganlah berani melakukan perilaku dosa semacam ini karena tujuan apapun. Dan janganlah tertipu oleh propaganda-propaganda yang meyesatkan dan tradisi bathil yang tidak bersandar pada akal sehat maupun agama.


[Dinukil dari kitab Tanbihat 'ala Ahkam Takhtash bil Mukminat, Penulis Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Edisi Indonesia Sentuhan Nilai Kefiqihan Untuk Wanita Beriman, Diterbitkan oleh Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta, hal. 39-42]

No comments:

Post a Comment