Saturday, July 16, 2011

HUKUM BERDAKWAH DAN BERMAJLIS BERSAMA GOLONGAN YANG MENYIMPANG AQIDAHNYA ( AHLU BID'AH)

Sebagian kaum muslimin menganggap tidak masalah berdakwah bersama kelompok menyimpang, sampai-sampai menjadikan seorang yang menyimpang dari manhaj Salaf sebagai pemateri dalam acara-acara mereka, dengan dalih hal itu termasuk ifadah (memberi manfaat) dan istifadah (mengambil manfaat). Pada kesempatan yang lain, mereka pun menghadiri majelis-majelis yang diadakan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang dan ber-ta’awun bersama mereka dalam dakwah.

Seperti apa bimbingan ulama dalam masalah ini, mari kita simak fatwa berikut ini:

س : بناء على قوله تعالى : { وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ } (سورة المائدة الآية 2) ، يقال إنه يجب التعاون مع كل الجماعات الإسلامية ، وإن كانت تختلف بينها في مناهج وطريق دعوتهم ، فإن جماعة التبليغ طريق دعوتها غير طريق الإخوان المسلمين أو حزب التحرير أو جماعة الجهاد أو السلفيين . فما هو الضابط لهذا التعاون ؟ وهل ينحصر مثلا في المشاركة في المؤتمرات والندوات ؟ وماذا عند توجيه الدعوة إلى غير المسلمين ؟ حيث قد يكون هناك التباس كبير لدى المسلمين الجدد ، فإن كل جماعة من هذه الجماعات سوف توجههم إلى مراكزهم وإلى علمائهم ، فيكونون في حيرة من أمرهم . فكيف يمكن تفادي هذه الأمر ؟

ج : الواجب التعاون مع الجماعة التي تسير على منهج الكتاب والسنة وما عليه سلف الأمة في الدعوة إلى توحيد الله سبحانه ، وإخلاص العبادة له ، والتحذير من الشرك والبدع والمعاصي ، ومناصحة الجماعات المخالفة لذلك ، فإن

رجعت إلى الصواب فإنه يتعاون معها ، وإن استمرت على المخالفة وجب الابتعاد عنها والتزام الكتاب والسنة ، والتعاون مع الجماعة الملتزمة لمنهج الكتاب والسنة يكون في كل ما فيه خير وبر وتقوى من الندوات والمؤتمرات والدروس والمحاضرات ، وكل ما فيه نفع للإسلام والمسلمين .وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Pertanyaan: “Berangkat dari firman Allah Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan lah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran , dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)

Dikatakan bahwa wajib untuk tolong-menolong bersama setiap jama’ah Islamiyah, meskipun berbeda antara satu sama lain dalam manhaj dan metode dakwah mereka. Seperti Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, demikian pula Hizbut Tahrir, Jama’ah Jihad dan Salafiyin. Masing-masing berbeda metode dakwahnya. Jadi, apakah yang menjadi dhabit (ketentuan) dalam ta’awun ini? Apakah terbatas –misalkan- dalam kerja sama pada muktamar dan seminar? Lalu seperti apa mengarahkan dakwah kepada selain kaum muslimin? Karena bisa saja terjadi kebingungan yang besar pada diri orang-orang yang baru masuk Islam, jika setiap jama’ah berusaha mengarahkan mereka ke markas-markas mereka dan ulama-ulama mereka. Akhirnya, jadilah orang-orang yang baru masuk Islam tersebut kebingungan. Bagaimana solusi perkara ini?”

Jawab: “Yang wajib adalah ta’awun dengan jama’ah yang berjalan di atas manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti Salaful Ummah dalam dakwah kepada tauhidullah, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan men-tahdzir dari syirik, bid’ah dan maksiat.

Dan hendaklah menasihati jama’ah yang menyimpang. Jika jama’ah tersebut kembali kepada kebenaran, maka hendaklah ber-ta’awun bersamanya. Namun jika jama’ah tersebut tetap dalam penyimpangan maka wajib menjauh darinya dan berpegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Ta’awun haruslah bersama jama’ah yang berpegang teguh dengan manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam setiap kebaikan, kebajikan dan takwa, baik bentuknya seminar, muktamar, pelajaran maupun ceramah, serta segala yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.” [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (2/41-42)]
Bahaya Bermajelis dengan Kelompok Menyimpang

Hadirnya seseorang di majelis kelompok-kelompok yang menyimpang dari manhaj Salaf juga termasuk bentuk ta’awun kepada mereka dalam menyebarkan kesesatan dan menghancurkan Islam -secara sadar maupun tidak-. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim tersebut sesudah teringat (akan larangan itu).” ( Al-An’am: 68)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Dalam ayat ini terkandung nasihat yang agung bagi mereka yang mentolerir duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah, yaitu dengan orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika seseorang tidak mampu mengingkari atau mengubah kebid’ahan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka, dan tentu ini mudah baginya, tidak susah”.

Kemudian Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan diantara bahaya duduk bersama orang-orang yang menyimpang, “Terkadang orang-orang yang menyimpang tersebut menjadikan kehadiran seseorang bersama mereka (meskipun orang tersebut bersih dari kebid’ahan yang mereka lakukan) sebagai syubhat, dengannya mereka mengaburkan (permasalahan) atas orang-orang awam. Jadi, dalam kehadirannya (di majelis mereka) terdapat tambahan mudharat dari sekedar mendengarkan kemungkaran.” [Lihat Fathul Qodir, 2/185)]

Berikut beberapa atsar yang menunjukkan sikap Salaf dalam bermajelis dengan ahlul bid’ah dari kitab Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur (hal. 36-37) :

“Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin seraya berkata, “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu hadits kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak”. Keduanya berkata lagi, “Kalau begitu kami bacakan satu ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi”. Lalu keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata, “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Sungguh aku khawatir mereka bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka selewengkan maknanya sehingga tertanam dalam hatiku”.” [HR. Ad Darimy, (1/120/no. 397)]

Sallam rahimahullah berkata, “Seorang pengikut kesesatan berkata kepada Ayyub, “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?” Maka Ayyub segera berpaling dan berkata, “Tidak, meski setengah kalimat, meski setengah kalimat”. Beliau mengisyaratkan jarinya.” [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalika'i dalam Syarh Ushul Al-I'tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah (1/138/no. 101) dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)]

Al-Fudlail bin Iyyadh rahimahullah berkata, “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena sungguh saya khawatir kamu terkena murka Allah.” [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/462-463 no. 451-452) dan Al-Lalika'i dalam Syarhul Ushul (262)]

Maka Janganlah kita menolong seorang pelaku kebid’ahan dan orang-orang yang sangat dikhawatirkan darinya suatu kesesatan, yaitu dengan memuliakan orang tersebut sebagai pemateri pada dauroh-dauroh ataupun seminar-seminar yang kita adakan, sehingga dia bisa menghembuskan syubhat-syubhatnya dan menipu manusia seakan mereka layak mempelajari agama ini darinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan lah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran , dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memuliakan pelaku kebid’ahan maka sungguh dia telah menolongnya untuk menghancurkan Islam.” (Lihat Syarhus Sunnah (hal. 128), karya Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah]

Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama ini.” [HR. Muslim (no. 26)]

Dan telah dimaklumi bahwa bid’ah dalam agama serta mengajak kepada kelompok bid’ah, termasuk sebesar-besarnya kezaliman. Sedang Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh oleh api neraka.” ( QS . Hud: 113)

“Dikatakan bahwa makna ayat ini umum, mencakup orang-orang kafir maupun orang-orang beriman yang melakukan maksiat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka.” (Al-An’am: 68), telah berlalu penjelasan ayat ini. Pendapat inilah yang benar tentang makna ayat ini (yaitu juga mencakup orang-orang beriman yang melakukan pelanggaran). Jadi, ayat ini menunjukkan wajibnya meninggalkan para pelaku kekafiran dan pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan selain mereka, karena bersahabat dengan mereka juga termasuk kekafiran atau kemaksiatan, sebab suatu persahabatan tidak terjadi kecuali karena atas dasar cinta. Seorang yang bijaksana telah berkata:

عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ, وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ, فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِيْ

“Tentang seseorang tidak usah engkau tanyakan, namun tanyakanlah siapa temannya, karena setiap orang menyerupai temannya”.” [Lihat Tafsir al-Qurthubi, (9/112)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :

“Ahlul Bid’ah itu tidak bersandar kepada Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah serta Atsar Salafus Shalih dari kalangan Shahabat maupun Tabi’in. Mereka hanya berpedoman dengan logika dan kaidah bahasa. Dan kamu akan temukan mereka itu tidak mau berpedoman dengan kitab-kitab tafsir yang ma’tsur (bersambung riwayat dan penukilannya). Mereka hanya berpegang dengan kitab-kitab adab (sastra dan tata bahasa) serta kitab-kitab ilmu kalam (filsafat dan logika). Kemudian dari sinilah mereka membawakan pendapat dan pemikiran mereka yang sesat.” (Al Fatawa 7/119)

Imam Abu ‘Utsman Ismail Ash Shabuni rahimahullah mengatakan (Aqidah Salaf Ashabul Hadits halaman 114-115) –ketika menerangkan sikap dan pendirian Salafus Shalih terhadap bid’ah dan Ahlul Bid’ah– :

“Salafus Shalih membenci Ahlul Bid’ah yang (mereka itu) mengada-adakan perkara baru dalam agama ini yang (justru) bukan berasal dari agama itu sendiri. Salafus Shalih tidak mencintai Ahlul Bid’ah, tidak mau bersahabat dengan mereka, tidak mendengar perkataan mereka, tidak duduk bermajelis dengan mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam masalah agama, bahkan tidak mau berdialog dengan mereka. Salafus Shalih selalu menjaga telinga jangan sampai mendengar kebathilan Ahlul Bid’ah yang dapat menembus telinga dan membekas di dalam hati, dan akhirnya menyeret segala bentuk was-was dan pemikiran-pemikiran yang rusak.”

Dan mengenai sikap terhadap mereka (Ahlul Bid’ah) ini, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan jika kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka mengadakan pembicaraan yang lain.” (Al An’am : 68)

Wallahu A’la wa A’lam.
Al Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

No comments:

Post a Comment