Sunday, July 24, 2011

ALLAH SWT DIATAS LANGIT ( Pendirian 4 imam mazhab tentangnya,serta bantahan bahwa ibnu wahab berpaham tajsim )

Yang Benar Allah Bersemayam Di Atas 'Arasy

Hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Salami menceritakan ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. kemudian baginda (Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam) menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu baginda bersabda:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Di manakah Allah? dia menjawab: Di Langit baginda bertanya lagi : Siapa aku? Jawab Jariah: Kamu Rasulullah. Lalu baginda berkata: merdekakan dia karena dia adalah Mukminah.
Takhrij hadis ini seperti berikut:

Muslim bin Hajjaj dalam Sahih Muslim, no: 537.
Malik bin Anas dalam al-Muwattha', no: 1468.
Abu Daud al-Tayalisi dalam al-Musnad, no: 1105.
Muhammad bin Idris as-Syafi'i dalam al-Umm, no: 242.
'Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf, no: 16851.
Ibn Abi Syaibah dalam al-Musannaf, no 30333.
Ahmad bin Hanbal dalam al-Musannaf, no: 7906, 23762, 23765 & 23767.
Abu Daud al-Sajastani dalam Sunan Abu Daud, no: 930 & 3282.
Ibn Qutaibah dalam Ta'wil Mukhtalaf al-Hadis, no: 272.
'Utsman bin Sa'id al-Darimi dalam al-Rad 'ala al-Jahmiyyah, no: 62.
al-Harith bin Abi Usamah dalam al-Musnad, no: 015.
'Amr bin Abi 'Ashim al-Shaibani dalam al-Sunnah Li Ibn Abi 'Ashim, no: 489.
al-Nasai dalam Sunan al-Nasai, no: 1142, 7708, 8535 & 11401.
Ibn Jarud dalam al-Muntaqa, no: 212.
Ibn Khuzaimah dalam Kitab al-Tauhid wa Itsbat Sifat al-Rabb 'Azza wa Jalla, no: 178, 179, 180, 181 & 182.
Abi 'Uwanah dalam al-Musnad, no: 1727 & 1728.
Abu al-Husain 'Abd al-Baqi' dalam al-Mu'jam al-Sahabah, 735.
Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, no: 165 & 2247.
al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir, no: 937 & 938.
Muhammad bin Ishaq bin Manduh dalam al-Iman, no: 091.
al-Lalaka'I dalam Syarah Usul I'tiqad Ahl al-Sunnah, no: 652.
Abu Nu'aim al-Asbahani dalam al-Musnad al-Mustakhraj 'ala Sahih Imam Muslim, no: 1183.
Ibn Hazm dalam al-Muhalla, no: 1664.
al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, no: 15266, 15268, 19984 & 19985.
'Abd Allah bin Muhammad bin 'Ali al-Harawi dalam al-'Arba'in fi Dalail al-Tauhid, no: 011.

Hadis di atas adalah SAHIH. Imam Muslim telah memasukkan hadis ini kedalam kitab Sahihnya pada kitab ( المساجد والمواضع الصلاة ) dalam bab (تحريم الكلام في الصلاة ونسخ ما كَان مِن إباحتِه ). Bahkan sangat masyhur karena banyaknya hadis ini diriwayatkan sepertimana takhrij di atas. Ada sebahagian golongan yang sangat anti kepada wahabi atau salafi, mereka kononnya berhujah berlandaskan al-Quran dan Sunnah padahal hanyalah mengikut nafsu semata karena mereka ingkar aqidah para salaf bahawa Allah di atas ‘Arasy. Mereka mempertahankan aqidah “ALLAH WUJUD BILA MAKAN” tidak di atas, tidak dibawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam dan tidak di luar. Bahkan, mereka ingkar dengan hadis di atas dengan menjatuhkan darjatnya kepada dha’if semata-mata ingin membenarkan hujah mereka. Kemudian mereka pula mencerca ulama hadis yang tidak bersalah dengan tuduhan yang tidak berasas


Para Salafus Soleh tidak pernah pun mentakwil ataupun menukar (tahrif) makna hadis ini. Hadis ini juga menunjukkan tidak salah jika berkata Allah itu di atas langit karena Allah itu di atas 'Arasy dan 'Arasy itu adalah di atas langit. Sebagaimana Firman Allah:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Tuhan yang Maha Pemurah beristiwa di atas 'Arasy. [QS. Taha: 5]
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

Kemudian Dia beritiwa ke arah langit dan langit itu masih merupakan asap. [QS. Fushsilat: 11]

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy. [QS al-Sajdah: 4]

Apakah yang dimaksudkan dengan "Istiwa"? Istiwa (استوى) bermaksud tinggi di langit (ارتفع إلى السماء). Ini sebagaimana pendapat yang dikuatkan oleh Ibn Jarir Radhiyallahu 'anhum dalam Tafsir At-Tobari. Setelah itu Ibn Jarir Radhiyallahu 'anhum menyebut: "Makna yang paling benar tentang firman Allah (ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ) adalah tinggi di atas langit dan meninggi, kemudian Ia mengatur langit dengan kekuasaan-Nya dan menciptakannya menjadi tujuh langit."

Berkata Ibn Kathir Rahimahullah:
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. ...

“Dan adapun FirmanNya Ta’ala: (ثم استوى على العرش) maka bagi manusia pada masalah ini pendapat yang banyak dan bukanlah di sini tempat membahasnya dan sesungguhnya hendaklah diikuti dalam masalah ini mazhab Salaf As-Soleh: Malik, Auza’i, As-Tsaury, Al-Laith bin Saad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan selainnya daripada imam-imam muslimin dahulu dan sekarang yaitu melalukannya seperti mana datangnya tanpa takyif (memberi rupa), dan tidak pula tsaybih (penyerupaan), dan tidak pula ta’thil (membatalkan sifat)....” –Tafsir al-'Adzhim.

Inilah pandangan Salafus Soleh dan inilah pendapat yang lebih pantas didahulukan berbanding pendapat ulama-ulama mutaakhirin yang telah mengubah atau mentakwil Istawa dengan makna 'menguasai' seperti golongan pendahulu asya’irah.

Ibn 'Abd al-Barr menjelaskan tentang hadis ini:

وأما قوله في هذا الحديث للجارية: أين الله ؟ فعلى ذلك جماعة أهل السنة وهم أهل الحديث، ورواته المتفقهون فيه، وسائر نقلة، كلهم يقول ما قال الله تعالى في كتابه: ((الرحمن على العرش الستوى)) وأن الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان.

"Dan adapun hadis jariah: Di manakah Allah? Maka menjadi pegangan atasnya oleh jamaah ahli sunnah dan mereka mereka adalah juga ahli hadis dan seluruh perawi yang memahaminya, mereka semua berkata sebagaimana firman Allah dalam kitabnya: "al-Rahman Bersemayam di atas 'Arasy." Dan bahawa sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla di langit dan Ilmunya pada setiap tempat. –Al-Istizkar: al-Jamii' li mazhab Fuqaha al-Ansor wa 'Ulama al-Aqtar

Perkataan Ulama Imam Empat Mazhab

1. IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang Zat Allah kecuali kepada diriNya, dan tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapat (ra’yu)nya. Maha Suci serta Maha Tinggi Allah Ta’ala, Rabb semesta Alam.” –Syarhul Aqidah at-Tahawiyah (2/472), tahqiq Dr. At-Turky, Jalaulm’Ainain, hal. 368

Ketika Imam Abu Hanifah ditanya tentang nuzulul Ilah (turunnya Allah), ia menjawab: “Ia turun dengan tidak kita menanyakan bagaimana (kaifiatnya) caranya.” –Aqidatus salaf Ashabil Hadis, hal. 42, al-Asma’ Was Sifat oleh al-Baihaqi, hal. 456

Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?” bererti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahawa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. –al-Fiqhul Absath, hal. 46

Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.” Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (QS. al-Hadid: 4).

Imam Abu Hanifah menjawab: “Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, sesungguhnya aku selalu bersamamu, padahal engkau tidak ada di sampingnya.” –al-Asma’ was Sifat, hal. 429

2. IMAM MALIK BIN ANAS

Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah peluh. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata: “Cara bersemayamNya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwanya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku menyangka engkau adalah si pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar. –Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, hal. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, hal. 103

3. IMAM MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya Shalallahu 'alaihi wassalam. kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah Subhanallahu wa Ta'ala. yang telah sampai kepadanya dalil bahawa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam. yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan masalah itu. Maka barangsiapa yang mengingkari atau berbeza dengan semuanya itu padahal hujah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, bererti ia kafir kepada Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Adapun jika ia menentang karena belum mendapat hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni karena kebodohannya, karena pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.

Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah Subhanallahu wa Ta'ala. bahawa Dia Maha Mendengar dan bahawa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (QS. al-Maidah: 64). Dan bahawa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “...Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (QS. az-Zumar: 67) dan bahawa Allah itu memiliki wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan: “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah...” (QS. Al-Qasas: 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (QS. Ar-Rahman: 27). Juga bahawa Allah mempunyai tumit, sesuai dengan pernyataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam: “Sehingga Rabb Azza wa Jalla meletakkan tumitNya pada Jahannam.” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848) dan Allah ketawa berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya....” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim, no:1890).

Dan bahawa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadis Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. tentangnya. Begitu juga keterangan bahawa Allah Subhanallahu wa Ta'ala. itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam. ketika baginda menyebut dajjal, baginda bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933). Dan bahawa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama, juga bahawa Allah Subhanallahu wa Ta'ala. mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah hal.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis)

Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta'ala. sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. untukNya, hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau fikiran dan orang yang mengingkarinya karena bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir. Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam.

Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 11). –Dinukil daripada I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

4. IMAM AHMAD BIN HANBAL

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyebut kata-kata Imam Hanbal: “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” –Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30)

Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. –Manaqib Imam Ahmad, hal. 221

Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan: “Jahm bin Safwan telah menyangka bahawa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. dalam hadisnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” –Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, hal. 104

Demikian di atas saya nukilkan kenyataan-kenyataan para Imam empat bagi membuktikan aqidah para salaf adalah sama dan tidak ada penambahan juga tidak ada pengurangan. Tidak ada takwil dengan makna tahrif apatah lagi menta’tilkan yaitu mengosongkan dari sebarang sifat. Maka, jelas aqidah yang benar dan selamat adalah mengatakan Allah bersemayam di atas ‘Arasy sebagaimana hujah-hujah telah diberikan di atas tadi. Mereka golongan asya’irah bermati-matian hendak menyelewengkan fakta yang ada sebaliknya jawaban mereka sendiri menguburkan hujjah mereka karena ketidakjujuran mereka dalam menukilkan tulisan ulama-ulama terdahulu. Semoga Allah membukakan hati mereka agar terus mengkaji sehingga menemui kebenaran yang amat lazat jika dapat dirasakan oleh sesiapa yang pernah merasakannya yang dinamakan sebagai al-Hidayah.

Pasal TAJSIM (Menjisimkan/ menyerupakan Allah dengan makhluk)

Termasuk yang dituduhkan juga tentang Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab adalah beliau dianggap mujassim, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Beliau telah menerangkan keyakinan dia tentang masalah ini dan ternyata sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :

"Termasuk beriman kepada Allah adalah: beriman dengan apa yang Allah sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya, tanpa adanya tahrif (merubah teks maupun makna dari nash aslinya -pent) ataupun ta’thil (menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan terhadap diri-Nya -pent), bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah ., Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allah sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allah. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allah dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allah. Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allah menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli takyif (menggambarkan hakikat sifat-sifat Allah) maupun ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli tahrif maupun ahli ta’thil, maka Dia berfirman (yang artinya): Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam (Q.S. As Shaffat : 180-182) (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)

"Dan sudah dimaklumi bahwa ta’thil adalah lawan dari tajsim, ahli ta’thil adalah musuh ahli tajsim, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)

Dari pernyataan yang beliau ucapkan sendiri dalam kitabnya Ad Durarus Saniyah ini tidaklah mungkin beliau menta'wilkan sifat-sifat-Nya kepada makhluk. Maka terbantahlah sudah tuduhan bahwa beliau mengatakan Allah bersemayam di atas punggung-punggung kedelapan kambing hutan, na'udzubuillah, Maha suci Allah dari apa yang mereka tuduhkan.

No comments:

Post a Comment