Sunday, July 31, 2011

TRADISI MASYARAKAT ISLAM YANG BERSUMBER DARI AJARAN AGAMA HINDU

TRADISI MASYARAKAT ISLAM YANG BERSUMBER DARI AJARAN AGAMA HINDU


Banyak upacara adat yang menjadi tradisi di beberapa lingkungan masyarakat Islam yang sebenarnya tidak diajarkan dalam Islam. Tradisi tersebut ternyata bukan bersumber dari agama Islam, tetapi bersumber dari agama Hindu. Agar lebih jelasnya dan agar umat Islam tidak tersesat, marilah kita telah secara singkat hal-hal yang seolah-olah bermuatan Islam tetapi sebenarnya bersumber dari agama Hindu.


1. Tentang Selamatan yang Biasa Disebut GENDURI [Kenduri atau Kenduren]

Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. [Masalah ini] terdapat pada kitab sama weda hal. 373 (no.10) yang berbunyi “Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui”. Yang gunanya untuk menjauhkan kesialan.

“Sloka prastias mai pipisatewikwani widuse bahra aranggaymaya jekmayipatsiyada duweni narah”.

[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah :”Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:57)

Juga terdapat pada kitab siwa sasana hal. 46 bab ‘Panca maha yatnya’. Juga terdapat pada Upadesa hal. 34, yang isinya:

a. Dewa Yatnya [selamatan]Yaitu korban suci yang [secara] tulus ikhlas ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan bakti sujud memuji, serta menurut apa yang diperintahkan-Nya (tirta yatra) metri bopo pertiwi.

b. Pitra Yatnya Yaitu korban suci kepada leluhur (pengeling-eling) dengan memuji [yang ada] di akhirat supaya memberi pertolongan kepada yang masih hidup.

c. Manusia Yatnya Yaitu korban [yang] diperuntukan kepada keturunan atau sesama supaya hidup damai dan tentram.

d. Resi Yatnya Yaitu korban suci [yang] diperuntukan kepada guru atas jasa ilmu yang diberikan (danyangan).

e. Buta Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada semua makhluk yang kelihatan maupun tidak, untuk kemulyaan dunia ini (unggahan).


[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah :”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(QS. Al-Baqoroh[2]:170)[Lihat juga QS. Al-Maidah[5]:104, Az-Zukhruf [43]:22) Tujuan dari yang [disebutkan] di atas merupakan usaha untuk meletakkan diri pada keseimbangan dalam hubungan diri pribadi dengan segala ciptaan Tuhan, [serta] untuk membantu kesucian/penghapus dosa.


[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah : ”Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Az-Zumar [39]:2). Periksa juga surat 18: 110, 39: 65, 16: 36, 7: 59,65,73,85, 4: 116, 6: 88, 17: 39.


2. Tentang Sesajen


“Makiyadi sandyan malingga renbebanten kesaraban kerahupan dinamet deninhuan keletikaneng rinubebarening………..”


Sesajen tujuannya memberi makan leluhur pada waktu hari tertentu atau dilakukan pada setiap hari.[Dilakukan] untuk memberikan keselamatan kepada yang masih hidup, juga persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan sinar suci kepada para Dewa. Karena pemujaan tersebut dianggap mempengaruhi serta mengatur gerak kehidupan, bagi mereka yang masih menginginkan kehidupan [dan] hasil/rezeki di dunia akan mengadakan pemujaan dan persembahan ke hadapan para Dewa. [Hal ini] juga terdapat pada kitab Bagawatgita hal. 7 no. 22, yang artinya “Diberkati dengan kepercayaan itu, dia mencari penyebab apa yang dicita-citakan”.


[Masalah ini] bertentangan dengan Firman Allah : ”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim."(QS. Yunus [10]:106) Periksa juga surat Ghofir :60.

3. Tentang Wanita Hamil

Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan (telonan, tingkepan). [Hal ini] terdapat dalam kitab Upadesa hal. 46. Dan setelah bayi lahir, ari-ari[nya] terlebih dahulu dibersihkan dan dicampurkan dengan bunga, dan kemudian dimasukkan dalam kelapa/kendil untuk kemudian ditanam. Bila perempuan di kiri pintu, bila laki-laki di kanan pintu dan diadakan genduri (sepasar, selapan, telonan, dst)

Tentang bunga:Putih : Dewa BrahmaMerah : Dewa WisnuKuning : Dewa Syiwa

4. Tentang Penyembelihan Kurban


Penyembelihan kurban untuk orang mati pada hari naasnya (hari 1,7,4,….1000) [terdapat] pada kitab Panca Yadnya hal. 26, Bagawatgita hal. 5 no. 39 yang berbunyi “Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban, upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan dunia.” (Mewedha, yasinan, tahlilan)


Bertentangan dengan Firman Allah :"Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.An-Al’aam [6]: 162). Lihat juga 27: 80, dan 35: 22


5. Tentang Kuade/Kembar Mayang


Kuade merupakan hasil karya dan sebagai simbol pada manusia atas kemurahan para Dewa-Dewa. Sedang kembar mayang sebagai penolak balak dan lambang kemakmuran.


Kita harus yakin atas pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imron [3]: 160)


Sesuai perintah Alloh [mengenai] jalan keselamatan”Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS.Al-Isro’[17]: 15). Periksa juga 39: 55

6. Tentang Mendirikan Rumah


Pada dasarnya rumah yang baru lulus [selesai dibangun], melakukan [hal-hal] sebagai berikut:a. Membuat carang pendoman (takir)b. Peralatan jangga wari (tikar, kasur, bantal, sisir, cermin)


7. Tentang Hari/Saptawara [berkaitan dengan mencari rezeki]


Minggu Raditya 5 [arah Timur]Senin Soma 4 [arah Utara]Selasa Anggoro 3 [arah Barat Daya]Rabu Buda 7 [arah Barat]Kamis Respati 8 [arah Tenggara]Jum’at Sukra 6 [arah Timur Laut]Sabtu Sanescara 9 [arah Selatan]


Palawara hari:Tumanes Legi 5Pahing 9Pon 7Wage 4Kliwon 8


8. Tentang Pujian [yakni yang dilakukan sesudah adzan untuk menunggu iqomat]Terdapat pada kitab Rig Weda hal. 10 :”Tunja tunji ya utari stoma indrastya wajrinah nawidhi asia sustutim” Artinya: ‘Makin tinggilah pujian kami dalam nyanyian kepada Dewa Indra Yang Perkasa’.


[Hal ini] bertentangan dengan Firman Alah :”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’roof[7]: 205). Periksa juga 7: 55, 19: 1,2,3


BERIKUT INI DIKUTIP DARI : TIM PENYUSUN DAN PENELITI NASKAH BUKU - DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN HINDU DAN BUDHA


- Roh itu bertingkat kedudukannya, berfungsi menunjang kelestarian alam dan kita yang masih hidup- Menunjang kehidupan roh tersebut- Meningkatkan kedudukan roh walau di alam Dewata, agar akhirnya manunggal dengan Brahma dan agar tidak terlahir lagi dalam bumi [reinkarnasi]- Bahwa amerta adalah santapan yang diperlukan untuk kelestarian para dewa dan roh dewa dan roh suci lainnya. Dan apabila kita berhasil mempersembahkan amerta itu ke hadapan para dewa, maka sebagai imbalan, roh tersebut yang ada hubungannya dengan kita diampuni dan dibebaskan serta berhak mendapat tempat yang lebih tinggi- Bahan baku amerta ialah makanan, minuman serta sari rasa yang sedap. Inilah yang dibutuhkan makhluk itu- Dengan memenuhi persyaratan, kita bisa memohon amerta untuk kepentingan pribadi maupun dewa dan roh yang lain. Dengan mengorbankan makanan [dan] minuman tertentu dapat dijadikan bahan dasar permohonan. Semakin banyak persembahan atau kurban akan semakin baik. Dan amerta semakin banyak, akhirnya roh pemohon bersama dengan bahan [menyebar] ke alam sekitar melalui suara dengan pemujaan, genta, dan asap dupa.- Slametan memberikan kekuatan hidup para dewa, memberikan ampunan kepada roh yang berdosa, [dan] dapat memberikan kesucian pada roh yang sudah diampuni dosanya.- Akan tetapi kalau tidak, slametanasura akan bebas mengganggu manusia. Banyak orang sakit, kesurupan, roh orang yang baru meninggal mengikuti sanak keluarga- Para dewa akan puas kalau [diadakan] genduri. Sesaji roh suci itu pun akan sering turun ke bumi sebagai tamu luhur bagi masyarakat pemuja sekaligus menurunkan berkah subur makmur panen berlimpah. Dewa akan turun keseluruhan dengan berpasangan, menyantap genduri [dan] sesajen yang dipersembahkan.


Subhanakallohumma wa bihamdihi, asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin


Sumber : Catatan al akh Anwar Baru Belajarhttp://www.facebook.com/note.php?note_id=144069222302928


ACARA KEMATIAN 7, 40, 100, 1000 HARI ADALAH DARI AJARAN HINDU

Bismillah,

Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah.


Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu.


Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepadaSang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi).


Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : "Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.


Dalam buku media Hindu yang berjudul : "Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal" karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : "Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu


Telah jelas bagi kita pada awalnya ajaran ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur ajaran seperti ini diperbolehkan??


Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya.


Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya?

Allah berfirman :


وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ


”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170)


Allah berfirman :


وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


"Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya" (QS Al Baqarah 42)


Allah subhanahu wa ta'ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah???

Selanjutnya Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu".[QS. Albaqoroh : 208].

Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah...

TIDAK SETENGAH HINDU...SETENGAH ISLAM...



Allahul musta'an


oleh Abu Salman Al-farisy
Oleh : Abdul Aziz

Muallaf dari agama Hindu, asal Blitarmasuk Islam tahun 1994


Sumber : Catatan Al Akh Aris Diansah dengan judul asli "Ajaran Gado-gado (Hindu-Islam)"http://www.facebook.com/notes/aris-diansah/ajaran-gado-gado-hindu-islam/439464374660

Friday, July 29, 2011

PENGKHIANATAN SYIAH TERHADAP AHLU BAIT

Pengkhianatan Terhadap Ahlul Bait


Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan ada di neraka.

Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan, dibenarkan orang yang berdusta dan didustakan orang yang jujur, dipercaya orang yang khianat dan dikhianati orang yang amanah…” (HR. Ibnu Majah 4042, disahihkan al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 1887)

“Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara ciri yang paling menonjol dari orang-orang munafik adalah kebiasaan mereka berdusta dan kelakuan mereka yang selalu mengingkari janji dan berkhianat. Dan diantara ciri khas para penghianat adalah dia tidak membedakan bersama siapa dia berkhianat serta bersama siapa dia dapat dipercaya. Sungguh kedustaan adalah bagian dari penyakit nifaq yang apabila telah mengalir dalam darah seseorang akan menjadikannya sebagai seorang penghianat, walaupun kepada orang-orang yang paling dekat dengannya.

Orang-orang Syiah yang ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait, terutama kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, sesungguhnya telah tampak dengan jelas penghianatan mereka sejak periode pertama gerakan Tasyayyu’ (Menjadi Syiah), pada saat fitnah berkobar diantara dua orang sahabat Nabi yang mulia, Ali dan Muawiyah Radhiyallahu anhuma.

Maka ditulislah risalah ini di tengah badai fitnah ketika sejarah Islam diselubungi kabut tebal kedustaan (taqiyyah) pemahaman para penghianat dan pendusta yang memutar balikkan sejarah dengan berlindung di balik kata-kata cinta kepada Ahlul bait padahal sesungguhnya merekalah orang-orang berada dibarisan terdepan dalam menghianati Ahlul bait.

Sikap Para Pengkhianat Terhadap Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu

Sebagian besar pendukung[1] (syiah) Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah penduduk Iraq, terutama penduduj Kufah dan Bashrah. Ketika Ali berkeinginan untuk pergi berperang bersama mereka ke Syam, setelah berhasil meredam fitnah Kaum Khowarij (salah satu sekte pecahan syiah Ali sendiri yang malah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib), mereka malah meninggalkan beliau Radhiyallahu Anhu padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk membantunya dan pergi bersamannya. Tetapi dalam kenyataannya, mereka semua membiarkannya, dan mereka mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, anak panah kami telah musnah, pedang-pedang dan tombak-tombak kamu telah tumpul, maka kembalilah bersama kami, sehingga kami menyediakan peralatan yang lebih baik” Kemudian Ali Mengetahui, bahwa semangat merekalah yang sesungguhnya sudah tumpul dan melemah, dan bukan pedang-pedang mereka. Mulailah mereka pergi secara diam-diam dari tempat tentara Ali Bin Abi Thalib dan kembali ke rumah mereka tanpa sepengatahuan beliau, sehingga kamp-kamp militer tersebut menjadi kosong dan sepi. Ketika beliau melihat hal tersebut, beliau kembali ke Kufah dan mengurungkan niatnya untuk pergi.[2]

Ali Bin Abi Thalib mengetahui bahwa perkara apa pun tidak dapat mereka menangkan walaupun mereka telah berbuat adil dan beliau adalah seorang yang adil walaupun kepada para pendukung beliau, beliau tidak dapat menyembunyikan kekesalannya dan persaksiannya terhadap para penipu ini kemudian berkata kepada mereka, “Kalian hanyalah pemberani –pemberani dalam kelemahan, serigala-serigala penipu ketika diajak bertempur, dan aku tidak percaya pada kalian…kalian bukanlah kendaraan yang pantas ditunggangi, dan bukan pula orang mulia yang layak dituju. Demi Allah sejelek-jelek provokator perang adalah kalian. Kalianlah yang akan tertipu, dan tidak akan dapat merencanakan tipu daya jahat, dan kebaikan kalian akan lenyap dan kalian tidak dapat menghindar” [3]

Yang anehnya lagi, para pendukung (syiah) Ali di Iraq ini tidak hanya mundur dari medan perang ke Syam bersama beliau, tetapi mereka juga takut dan keberatan untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri.[4] sementara pasukan Muawiyah telah menyerang Ain At Tamr dan daerah-daerah Iraq yang lain. Mereka tidak tunduk terhadap perintah Ali untuk mempertahankannya, sampai-sampai Amirul Mukminin Ali berkata kepada mereka,”Wahai penduduk Kufah, setiap kali kalian mendengar kedatangan pasukan dari Syam, maka setiap orang dari kalian masuk ke dalam kamar rumahnya dan menutup pintunya seperti masuknya biawak ke persembunyiannya dan hyena ke dalam sarangnya….Orang yang tertipu adalah orang yang kalian bodohi, dan bagi yang menang bersama kalian, adalah menang dengan bagian yang nihil. Tidak ada orang-orang yang berangkat ketika dipanggil, dan tidak ada saudara-saudara yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kita kembali” [5].

Sikap Para Pengkhianat Syiah terhadap Al Hasan bin Ali Radhiyallahu anhu.

Ketika Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu terbunuh oleh Ibnu Muljam (seorang khowarij yang tadinya termasuk syiah Ali namun mengkafirkan beliau setelah itu), Al Hasan Radhiyallahu anhu dibaiat menjadi khalifah, dan beliau yakin tidak dapat berhasil perang melawan Muawiyah. Terutama setelah sebelumnya sebagian pengikutnya di Iraq telah meninggalkan ayahnya. Tetapi para para pengikut mereka di Iraq kembali meminta Al Hasan untuk memerangi Muawiyah dan penduduk Syam, padahal jelas-jelas sebenarnya Al Hasan berkeinginan menyatukan kaum muslimin saat itu, karena beliau faham sekali tentang kelakuan orang-orang syiah di Iraq ini yang beliau sendiri membuktikan hal tersebut, Ketika beliau menyetujui mereka (orang-orang syiah di Iraq) dan beliau mengirimkan pasukannya serta mengirim Qais bin Ubadah di bagian terdepan untuk memimpin dua belas ribu tentaranya, dan singgah di Maskan, ketika Al Hasan sedang berada di Al Mada’in tiba-tiba salah seorang penduduk Iraq berteriak bahwa Qais telah terbunuh. Mulailah terjadi kekacauan di dalam pasukan, para maka orang-orang syiah Iraq kembali para tabiat mereka yang asli (berkhianat), mereka tidak sabar dan mulai menyerang kemah Al Hasan serta merampas barang-barangnya, bahkan mereka sampai melepas karpet yang ada dibawahnya, mereka menikamnya dan melukainya. Dari sinilah salah seorang penduduk Syiah
Iraq, Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi merencanakan sesuatu yang jahat, yaitu mengikat Al Hasan bin Ali dan menyerahkan kepadanya, karena ketamakannya dalam harta dan kedudukan. Pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud Ats Tsaqafi[6] telah datang, dia adalah salah seorang wali dari Mada’in dari kelompok Ali. Dia (Mukhtar bin Abi Ubaid) bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan harta dan kedudukan? Dia berkata, “Apakah itu?” Dia Menjawab,”Al Hasan kamu ikat lalu kamu serahkan kepada Muawiyah” Kemudian pamannya berkata “ Allah akan melaknatmu, berikan kepadaku anak putrinya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia memperhatikannya lalu mengatakan, kamu adalah sejelek-jelek manusia” [7]

Maka Al Hasan radhiyallahu anhu sendiri berkata “ Aku Memandang Muawiyah lebih baik terhadapku disbanding orang-orang yang mengaku mendukungku (Syiahku), mereka malah ingin membunuhku, mengambil hartaku, demi Allah saya dapat meminta dari Muawiyah untuk menjaga keluargaku dan melindungi keselamatan seluruh keluargaku, dan semua itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluarga dan keturunanku menjadi punah. Demi Allah, jikalau aku berperang dengan Muawiyah niscaya mereka akan menyeret leherku dan menganjurkan untuk berdamai, demi Allah aku tetap mulia dengan melakukan perdamaian dengan Muawiyah dan itu lebih baik disbanding ia memerangiku dan aku menjadi tahanannya”

Maka para penghianat ini sebenarnya amat benci terhadap Al Hasan bahkan keturunannya, namun mereka berusaha menutup-nutupinya, maka mereka (syiah rafidhoh imamiyah) mengeluarkan keturunan Al Hasan dari silsilah para Imam ma’shum versi mereka yang mereka mengangkat Imam-Imam mereka itu bahkan diatas kedudukan para Nabi dan malaikat terdekat dengan Allah (tulisan Khumaini dalam, al hukumah islamiyah hal 52), walaupun demikian agar tidak terbongkar kebencian mereka ini mereka tetap mencantumkan Al Hasan dalam deretan Imam mereka. Itulah cara dan memang tabiat mereka untuk menipu kaum muslimin.

Mengapa mereka tidak mencantumkan keturunan Al Hasan dalam imam-imam mereka? Apa keturunan Al Hasan bukan keturunan ahlul bait? Jawabnya adalah karena Al Hasan berdamai dengan Muawiyah dan menyatukan kaum muslimin saat itu, sehingga tercelalah keturunannya dan tidak layaklah mereka menjadi imam mereka, itulah hakikat tabiat sejati seorang penghianat yang tidak pernah menginginkan perdaimaian dan persatuan diantara kaum muslimin.

Sikap Para Pengkhianat Syiah terhadap Husain bin Ali Radhiyallahu anhu

Setelah wafatnya Muawiyah Radhiyallahu anhu pada 60 H yang sebelumnya beliau menunjuk Yazid[8] untuk menjadi pemimpin yang niat beliau agar tidak terjadi lagi perpecahan diantara kaum muslimin dalam masalah kekuasaan. Maka berpalinglah para utusan ahli dari Iraq kepada Husain bin Ali Radhiyallahu anhu dengan penuh antusias dan simpati, Lalu mereka berkata kepada Husain,“Kami telah dipenjara hanya demi engkau, dan kami juga tidak mengikuti shalat jum’at bersama penguasa yang ada, sehingga datanglah Sang Imam (Al Mahdi) kepada kami“

Di bawah tekanan mereka, terpaksa Husain memutuskan untuk mengirim anak pamannya, Muslim bin Aqil untuk mengetahui keadaan yang terjadi, maka keluarlah Muslim pada bulan Syawal tahun 60 H.

Ia tidak mengetahui telah tibanya penduduk Iraq sehingga mereka datang kepadanya, maka mulailah mereka berbaiat kepada Husain. Disebutkan, bahwa jumlah mereka yang berbaiat sebanyak dua belas ribu orang, kemudian penduduk Kufah pun mengirim utusan utnuk membaiat Husain dan semuanya berjalan dengan baik.

Tetapi sayang, Husain radhiyallahu anhu tertipu oleh penghianatan mereka. Husain pergi menemui mereka walaupun sudah diperingatkan oleh para sahabat Nabi dan orang-orang yang terdekat dengan beliau agar tidak keluar menemui mereka, hal itu karena mereka telah mengetahui penghianatan yang selama ini telah dilakukan oleh kaum Syiah Iraq. Sampai-sampai Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata kepada Husain , “Apakah engkau akan pergi ke kaum (golongan) yang telah membunuh pemimpin mereka, merampas negeri mereka, dan memusnahkan musuh mereka, walaupun mereka telah melakukan hal itu, apakah kamu tetap pergi kepada mereka? Mereka mengajakmu kesana, sedang penguasa mereka bersikap tiran terhadap mereka, apa yang mereka lakukan hanya untuk negara mereka saja, mereka hanya mengajak anda menuju medan perang dan pembantaian, dan anda tidak akan aman bersama mereka, mereka akan mengkhianati, menipu, membangkang, meninggalkan, dan berbalik memerangi kamu dan nanti mereka menjadi orang yang sangat keras permusuhannya kepadamu..“

Begitu juga Muhammad bin Ali bin Abi Thalib yang populer dengan gelar Ibnu al-Hanif, sudah menasehatkan kepada saudaranya al-Husein radhiyallahu ‘anhum seraya mengatakan: “Wahai saudaraku, penduduk Kufah sudah Anda ketahui betapa pengkhianatan mereka terhadap bapakmu Ali radhiyallahu ‘anhu dan saudaramu al-Hasan radhiyallahu ‘anhu. Saya khawatir nanti keadaanmu akan sama seperti keadaan mereka sebelumnya!”[9]

Dengan jelas tampaklah pengkhianatan Syiah ahli Kufah, walaupun mereka sendiri yang telah mengharapkan akan kedatangan Husain, hal itu sebelum Husain sampai kepada mereka. Maka penguasa Bani Umayyah, Ubaidillah bin Ziyad ketika mengetahui sepak terjang Muslim bin Aqil yang telah membaiat Husain dan sekarang berada di Kufah, ia segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya, sekaligus terbunuh pula tuan rumah yang menjamunya Hani bin Urwah Al Muradi. Dan kaum Syiah Kufah tidak akan memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu anhu, hal itu mereka lakukan karena Ubaidillah bin Ziyad memberikan sejumlah uang kepada mereka.

Ketika Husain Radhiyallahu anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekita 70 orang laki-laki dan langkah itu ditempuh setelah adanya perjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, Maka terbunuhlah Al Husain Radhiyallahu anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya termasuk ketiga saudara dari Husain sendiri Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib, dan Ustman bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum , ketiga anak Ali bin Abi Thalib selain Hasan, Husain dan Muhammad Ibn Hanafiyyah radhiyallahu ‘anhum.

Ketika Husain Radhiyallahu anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekitar 70 orang laki-laki, dan langkah itu ditempuh setelah adanya pernjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah Al Husain Radhiyallahu anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya. Ucapannya yang terakhir sebelum wafat adalah “Ya Allah berikanlah putusan di antara kami dan diantara orang-orang yang mengajak kami untuk menolong kamu namun ternyata mereka membunuh kami“.[10]

Bahkan doanya atas mereka (syiah) sangat terkenal, beliau mengatakan sebelum wafatnya, “Ya Allah, apabila Engkau memberi mereka kenikmatan, maka cerai beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata kemudian memusuhi kami dan membunuh kami“.[11]Maka terungkap jelaslah kelakuan para penghianat yang menjadikan tameng dan mereka bertopeng dibalik ungkapan kecintaan mereka kepada Ahlul bait yang mereka jadikan kecintaan tersebut sebagai alasan memusuhi setiap orang yang mereka benci, padahal sungguh merekalah penghianat sesungguhnya yang menyimpan kebencian dendam kepada Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beserta Ahlul Bait dan para sahabatnya. Yang selama ini mereka putarbalikkan sejarah dengan riwayat-riwayat palsu mereka yang itu memang tabiat dan ajaran agama mereka sesungguhnya dengan Taqiyyah (kedustaan) yang selalu mereka lakukan.

Maka wajib bagi kita mengambil ibroh dan pelajaran dari sejarah ini, penghianatan yang berulang-ulang mereka lakukan kepada orang-orang yang dikatakan mereka cintai (ahlul bait) mereka berkhianat, apalagi kepada kaum muslimin secara umum, ditipunya Syaikh Syaltut (tokoh lembaga darut taqrib: lembaga pendekatan sunni-syiah) oleh mereka, digantungnya Syaikh Ahmad Mufti Zaddah tahun 1993 (tokoh lembaga darut taqrib dari kalangan ahlussunnah di iran). Sudah cukup menjadi bukti pengkhianatan adalah tabiat dan kelakuan mereka yang sudah mendarah daging dan patut kita waspadai.

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S. Al-An’am: 159)

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiadaTuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun danbertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

Nota Kaki :

1.Tidak semua pendukung Ali bin Abi Thalib fanatik, yang dimaksudkan disini adalah para pengikut Abdullah bin saba ((yahudi yg pura-pura masuk Islam) yang memang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib bahkan sampai menuhankannya

2.Tarikh Ath Thabari : Tarikh Al Umam wa Al Muluk, 5/89-90. Ibnul Atsir, Al kamil fi at Tarikh, 3/349.

3.Tarikh Ath Thabari, 5/90. Al Alam Al Islami fi ashri Al Umawi hal 91.

4. Mirip seperti kelakuan Syiah rafidhoh (faksi hizbullah) di masa ini yg katanya ingin membela palestina namun hanya bertahan di libanon saja mempertahankan wilayahnya.

5.Tarikh Ath Thabari 5/135. Al Alam Al Islami Fi Ashri Al Umawi hal 96.

6.Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi inilah yang menentang Daulah Umawiyah dan mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait serta menuntut kematian Al Husain.Itu semua tidak lain hanyalah topeng dan kedok untuk bersembunyi dari kerakusannya terhadap kekuasaan.

7.Tarikh Ath Thabari, 5/195. Al Alam Al Islami fi Ashri Al Umawi. Hal 101.

8. Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja islam Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim secara khusus (ta yin). Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari) Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya

9. Al-Luhuuf; oleh Ibn Thawus; hal. 39. Asyuura’; oleh al-Ihsa-i; hal. 115. Al-Majaalisu al-Faakhirah; oleh Abdu al-Hu-sein; hal. 75. Muntaha al-Amaal; (1/454). Alaa Khathi al-Hu-sain hal.96.110) Al-Majaalisu al-Faakhirah; hal.79. ‘Alaa Khathi al-Husain; hal 100. Lawaa’iju al-Asyjaan; oleh al-Amin; hal. 60. Ma’aalimu al-Madrasatain (3/62).

10. Tarikh Ath Thabari, 5/389

11. Al Irsyad, hal 241. I’lam Al Wara li Ath Thibrisi, hal 949. (doa Husein Radhiyallahu anhu ini terjawab syiah sampai saat ini berpecah belah sedemikian rupa setiap kewafatan imam mereka, mereka berpecah belah satu dan lainnya, dan diantara mereka saling kafir mengkafirkan satu dengan lainnya).

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sumber :http://abu-hanan.blogspot.com/

http://rafidhah.wordpress.com/

Wednesday, July 27, 2011

KISAH TAUBAT SEORANG KIYAI

“Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”
“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)

“Kita biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)

Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.

Keberanian beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.
Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau.

Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada umumnya.

Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para ulama tanah haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai pewaris para Nabi.
Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.

Walaupun beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.
Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.
Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.

Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.
Inilah fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:

“Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”

(Dinukil dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)
catatan: Note ini ditulis hanya semata-mata sebagai nasehat, bukan karena ada alasan sentimen atau kebencian terhadap sebuah kelompok. Silahkan nukil dan share serta pergunakan untuk kebutuhan dakwah ilalloh.


-Abu Shofiyah Aqil Azizi- jazahullah khairan
Artikel www.muslim.or.id

MENYIKAPI ESQ

Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul ESQ Kecerdasan Emosi dan Spiritual yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian.

Buku ini dikatakan oleh penulis di dalam kata pengantarnya akan membahas bagaimana cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan diharapkan akan tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.

Akan tetapi, setelah kami telaah buku ini, ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali hal-hal yang menyimpang dari agama Islam yang haq, agama yang dibawa oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam dan disampaikan kepada para sahabatnya rodliyallohu anhum dan kemudian disampaikan oleh para sahabatnya kepada generasi sesudah mereka. Karena itulah, insya Alloh di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian catatan-catatan terhadap buku ini sebagai nasihat untuk para pembaca buku ini dan kaum muslimin secara umum.

Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini memiliki judul lengkap Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta cetakan kedua puluh dua, November 2005 M.

Talbis Penulis

Penulis berkata di dalam hal. xxxviii–xl :
Mengutip pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop…Kecerdasan spriritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan oleh Zohar dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelegence (London, 2000), dua di antaranya adalah: Pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di jaringan syaraf dan otak … ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau Spiritual Center secara transedental…

Meskipun keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Dan melalui perenungan yang panjang, akhirnya dengan izin Allah saya meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas bentuk sinergi keduanya ke dalam ESQ (Emotional and Spititual Quotient).

Kami katakan: Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir, karena ESQ penemuannya adalah sinergi dari pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey dan SQ (Spiritual Quotient) yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dan didukung oleh V. S. Ramachandran dengan teori God-Spot-nya. Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil adalah warisan jelek orang-orang Yahudi, Alloh subhanahu wata’ala telah mencela mereka di dalam kitab-Nya: Dan janganlah kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu sedang kalian mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 42)

Qotadah rohimahulloh berkata tentang tafsir ayat ini:
“Janganlah kalian campur adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, dalam keadaan kalian mengetahui bahwa agama Alloh yang haq adalah Islam dan bahwasanya agama Yahudi dan Nasrani yang kalian pegang sekarang ini adalah agama yang bid’ah bukan dari Alloh!” (Tafsir Ibnu Katsir 1/109)

Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil juga merupakan cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak akan mungkin diterima oleh manusia, bersegeralah setiap orang membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka bukanlah merupakan bid’ah, melainkan adalah sunnah. Karena itu, bid’ah tersebar di kalangan manusia karena mengandung kebenaran dan kebatilan.

Suara Hati Sebagai Landasan Islam?!

Penulis berkata di dalam hlm. xxxix :
Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata…

Penulis juga berkata di dalam hlm. xlv :
Jadi, saya berani mengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, di mana suara hati adalah menjadi landasannya.

Penulis juga berkata di dalam hlm. liv:
Tidak perlu berpikir bahwa ini adalah buku dakwah atau buku agama, atau jangan berpikir bahwa buku ini akan mendoktrin anda tentang suatu agama. Pergunakan suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, yang merupakan karunia Tuhan.

Kami katakan: Demikianlah penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam. Ini adalah metode agama Sufi yang sesat. Seorang tokoh Sufi, Abu Yazid al-Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari tulisan para ulama dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati, kami katakan: Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” (Thobaqoh Sya’roni 1/5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh membantah perkataan ini dengan mengatakan: “Adapun yang dinukil dari orang-orang tsiqoh dari Nabi shollallho alahi wassallam yang ma’shum maka dia adalah haq, seandainya bukan karena penukilan yang ma’shum maka sungguh kamu dan orang-orang yang semisalmu boleh jadi termasuk orang-orang musyrik dan boleh jadi termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun yang datang kepadamu maka dari mana kamu tahu bahwa itu adalah wahyu dari Alloh dan dari mana kamu tahu bahwa itu bukan wahyu dari setan? Sedangkan wahyu ada dua: wahyu dari Alloh dan wahyu dari setan.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada sekutu-sekutunya (dari manusia) agar mereka membantah kamu". [QS. al-An’am : 121].

Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)". [QS. al-An’am: 112]

Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? "[QS. asy-Syu’aro‘ : 221].” (Majmu’ Fatawa 13/73)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga berkata: “Di antara pokok-pokok yang disepakati di kalangan para sahabat dan para pengikut mereka di dalam kebaikan bahwasanya tidak diterima dari siapa pun yang menentang al-Qur‘an dengan pemikirannya atau perasaannya atau akalnya atau qiyasnya … tidak ada dari salaf yang mengatakan bahwa dia memiliki perasaan atau pembicaraan atau mukasyafah yang menyelisihi al-Qur‘an dan al-Hadits.” (Majmu’ Fatawa 13/28 dan untuk bahasan lebih lanjut di dalam masalah ini silakan merujuk kepada kitab al-Muqoddimatul ’Asyr fi Naqdhi Ushul Shufiyyatil ’Ashr oleh Syaikh Abdul Aziz bin Royyis ar-Royyis)

Adapun Islam maka sumber pengambilannya adalah wahyu yang diturunkan Alloh kepada NabiNya yang berupa al-Qur‘an dan as-Sunnah yang shohihah—dengan pemahaman para sahabat— kemudian Ijma’ yang mu’tabar dan Qiyas yang shohih.

Al-Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata: “Tidak boleh orang yang memiliki kemampuan sebagai hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dari arah kabar yang lazim yaitu al-Kitab kemudian as-Sunnah, atau yang disepakati oleh ahli ilmu (ijma’) atau qiyas (analogi) atas sebagian hal ini.” (al-Umm 7/298)

Metode Rasionalis Penulis
Buku ini secara global adalah kesimpulan-kesimpulan “olah akal” penulis di dalam menafsirkan dalil-dalil agama. Demikian juga, penulis begitu gandrung dengan teori-teori ilmu pengetahuan masa kini sehingga dia seret ayat-ayat al-Qur‘an untuk bisa berjalan di belakang teori-teori ilmu pengetahuan tersebut. Dari awal sampai akhir buku ini pembaca akan banyak dikejutkan dengan tafsir-tafsir nyeleneh (ganjil) dari penulis yang menyelisihi al-Qur‘an, Sunnah, dan Ijma’.

Maka penulis telah terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal di dalam metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an. Sungguh, merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu tafsir bahwa metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah al-Qur‘an ditafsirkan dengan al-Qur‘an, karena yang global di suatu ayat diperinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas dalam suatu ayat maka dijabarkan di ayat yang lainnya. Jika hal itu menyulitkan maka wajib dicari di dalam sunnah Rosululloh sholallahhu ‘alahi wassallam, karena Sunnah adalah syarah (penjelas) bagi al-Qur‘andan penjelas dalam al-Qur‘an. Dan jika kita tidak menjumpai tafsir di dalam Kitab dan Sunnah maka kita kembalikan hal itu kepada perkataan para sahabat f karena mereka lebih tahu tentang hal itu. (Lihat Muqoddimah fi Ushuli Tafsir hlm. 93)

Adapun tafsir dengan sekadar akal manusia— apalagi dengan teori-teori orang-orang kafir— maka hukumnya adalah haram sebagaimana dalam atsar yang shohih dari Ibnu Abbas rodliyallohu anhuma: “Barang siapa yang berkata tentang al-Qur‘an dengan akalnya atau dengan tanpa ilmu maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/10 cet. Darul Fikr)

Di antara contoh-contoh penafsiran rasionalistik yang dilakukan penulis adalah :

1. Di dalam hlm. 10 dia menafsirkan ayat 9 dari Surat as-Sajdah:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya.

Penulis berkata:
Artinya sifat-sifat mulia itu juga ditiupkan ke dalam jiwa manusia. Maksud contoh-contoh yang dikemukakan di atas adalah bahwa manusia sebenarnya memiliki suara hati yang sama. Itulah yang disebut God Spot atau fitrah.

2. Di dalam hlm. 11 penulis membawakan ayat 172 dari Surat al-A’rof:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”

Penulis berkata:
Kita sering mengangguk-angguk sebagai tanda pengakuan, disadari atau tanpa disadari. Itulah makna dan bukti dari pengakuan manusia, sesuai dengan perjanjian jiwa antara manusia dan Tuhan, sebelum manusia dilahirkan. Ketika itu jiwa manusia menjawab dan mengaku, “Betul Engkau Tuhan kami.” Jiwa manusia mengangguk. Inilah sebuah anggukan universal.

3. Penulis berkata di dalam hlm. 46 :
Ucapan Subhanallah, Maha Suci Allah, harus diterapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power” yang akan menghilangkan pengaruh pikiran-pikiran buruk, paradigma, dan ketujuh belenggu di atas, yang membuat manusia menjadi buta hati, tidak peka, atau memiliki kecerdasan hati yang minim. Repetitive Magic Power adalah dzikir, dan bertasbih.

Mengingkari Mukjizat Nabi

Penulis berkata di dalam hlm. 100 :
Menurut ahli sejarah, Muhammad Husein Haikal bahwa: “Perikehidupan Muhammad sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.” Itulah tanda bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup, atau yang terakhir, yang begitu mengandalkan logika dan suara hati, bukan mukjizat-mukjizat ajaib semata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini.

Kami katakan: Penulis telah mengingkari mukjizat dan menganggapnya tidak dapat diterima oleh akal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini. Mengingkari mukjizat adalah kufur dengan ijma’ para ulama, karena berarti mengingkari nash-nash al-Qur‘an dan Hadits Mutawatir yang menetapkan mukjizat bagi para Nabi ’alaihimushsholatu wassalam. Begitu banyak ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits shohih yang menjelaskan mukjizat para nabi seperti air bah yang diturunkan pada masa Nabi Nuh alahi salam, unta pada Tsamud kaum Nabi Sholih alahi salam, tongkat Nabi Musa alahi salam, Nabi Isa alahi salam yang menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam yang membelah bulan, dan banyak lagi kejadian-kejadian luar biasa yang ditampakkan oleh Alloh sebagai bukti-bukti kebenaran para nabi dan risalah yang mereka bawa.

Alloh subhanahu wata’ala telah mengancam siapa saja yang mengingkari ayat-ayat-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS. an-Nisa‘: 56].

Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang beriman kepada Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya dan semua yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, dan dia ragu di dalam tauhid atau di dalam kenabian atau pada Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam satu huruf dari apa yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, maka sesungguhnya barang siapa yang mengingkari sesuatu dari yang telah kami sebutkan atau ragu di dalam sesuatu darinya dan mati atas hal itu maka dia kafir musyrik kekal di neraka selamanya.” (Marotibul Ijma’ hlm. 177)

Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian di atas maka kami simpulkan bahwa:

1. Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir.
2. Penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam, padahal sebenarnya ini adalah metode agama Sufi yang sesat.
3. Penulis memakai metode tafsir rasionalis.
4. Penulis mengingkari mukjizat para nabi.

Inilah yang bisa kami sampaikan dari telaah ringkas terhadap buku ini dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua agar bisa selalu menempuh jalan yang lurus di dalam semua segi kehidupan. Amiin.
Wallohu A’lamu bishshowab


Oleh : Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

4 KAEDAH PENTING MENGENAL KESYIRIKAN

Berikut adalah terjemahan dari kitab Al-Qawaidul Arba’ karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab -rahimahullah-. Kitab ini -sebagaimana judulnya- menyebutkan empat kaidah yang bisa membantu seseorang untuk membedakan antara kesyirikan dan tauhid. Dan kalau mau ditinjau lebih dalam, sebenarnya setiap dari kaidah merupakan bantahan dari satu atau lebih syubhat kaum musyrikin dalam menghalalkan kesyirikan mereka, yang mana rincian kitab ini bisa dilihat dalam kitab beliau yang lain yang berjudul Kasyf Asy-Syubuhat. Berikut terjemahannya:

TERJEMAHAN MATAN AL-QAWA’IDUL ARBA’

Pendahuluan
Saya meminta kepada Allah Yang Maha Pemurah, Rabbnya arsy yang besar, agar Dia selalu menolongmu di dunia dan akhirat, menjadikanmu sebagai orang yang diberkahi dimanapun kamu berada, serta menjadikanmu ke dalam golongan orang-orang yang jika dia diberi nikmat maka dia bersyukur, jika diuji dengan musibah maka dia bersabar, dan jika dia berdosa maka segera beristighfar, karena ketiga sifat ini merupakan tanda kebahagiaan hidup.
Ketahuilah –semoga Allah menuntunmu untuk selalu taat kepada-Nya-, sesunguhnya al-hanifiah yang merupakan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah beribadah kepada Allah secara ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Allah berfirman :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyaat : 56).

Jika kamu telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah disebut shalat kecuali dengan adanya thaharah. Bila ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah tersebut, sebagaimana (rusaknya shalat) tatkala hadats menghinggapi thaharah.

Allah berfirman :
”Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka”. (QS. At-Taubah : 17)

Jika kamu telah mengetahui bahwa tatkala kesyirikan masuk ke dalam sebuah ibadah maka akan merusak ibadah tersebut, bisa menghapuskan amalan tersebut, sehingga pelakunya menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka, jika kamu mengetahui semua itu maka kamu pasti mengetahui bahwa kewajibanmu yang terpenting adalah mengetahui kesyirikan tersebut. Semoga Allah berkenan untuk membebaskan kamu kerusakan ini, yaitu kesyirikan kepada Allah yang Allah telah berfirman tentangnya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’ : 48)

Dan pengetahuan tentang kesyirikan ini bisa kamu dapatkan dengan mengetahui empat kaidah yang Allah Ta’ala telah nyatakan dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama
Kamu harus mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi manfa’at, Yang memberi mudarat, Yang mengatur segala urusan (tauhid rububiyah). Akan tetapi semua keyakinan mereka tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam Islam.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Siapa yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab:’Allah’. Maka katakanlah:’Mengapa kamu tidak bertakwa [kepada-Nya]”. (QS. Yunus : 31).

Kaidah Kedua
Mereka (musyrikin) berkata: Kami tidak berdo’a kepada mereka (Nabi, orang-orang shalih, dan selainnya) dan mengharap kepada mereka kecuali agar kami bisa dekat dengan Allah dan agar mereka bisa memberikan syafa’at kepada kami. Maksud kami kepada Allah, bukan kepada mereka, namun hal tersebut dilakukan dengan cara melalui syafaat dan mendekatkan diri kepada mereka.

Dalil tentang pendekatkan diri adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):”Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (QS. Az-Zumar : 3).

Dalil tentang syafa’at adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata:”Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (QS. Yunus : 18).

Syafa’at itu ada 2 macam:
1. Syafa’at manfiyah (yang ditiadakan/ditolak).
2. Syafa’at mutsbatah (yang ditetapka adanya/diterima).

Syafa’at manfiyah adalah syafa’at yang diminta dari selain Allah pada hal-hal yang tidak ada yang bisa memberikannya kecuali Allah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah [di jalan Allah] sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah : 254).

Syafa’at mutsbatah adalah syafa’at yang diminta dari Allah. Pemberi syafa’at itu dimuliakan dengan syafa’at, sedangkan orang yang akan diberikan syafa’at adalah orang yang diridhai ucapan dan perbuatannya oleh Allah, setelah memperoleh izin-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Siapakah yang mampu memberi syafa’at disamping Allah tanpa izin-Nya?”. (QS. Al-Baqarah : 255).

Kaidah Ketiga
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada kaum yang mempunyai sembahan yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang menyembah para malaikat, di antara mereka ada yang menyembah para nabi orang-orang shaleh, di antara mereka ada yang menyembah pepohonan dan bebatuan, dan di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan.
Akan tetapi mereka semua diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak membedakan di antara mereka.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan dien ini menjadi milik Allah semuanya”. (QS. Al-Baqarah : 193).

Dalil adanya penyembahan kepada matahari dan bulan adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah [pula] kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. (QS. Fushilat : 37).

Dalil adanya penyembahan kepada para malaikat adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan [ingatlah] hari [yang di waktu itu] Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab:”Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.Maka pada hari ini sebahagian kamu tidak berkuasa [untuk memberikan] kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan kepada sebahagian yang lain.Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim:”Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”. (QS. Saba’ : 40-42).

Dalil adanya penyembahan kepada para Nabi adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan [ingatlah] ketika Allah berfirman:”Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:”Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Ilah selain Allah”. ‘Isa menjawab:”Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku [mengatakannya]. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib.” (QS. Al-Maidah : 116).

Dalil akan adanya penyembahan kepada orang-orang saleh adalah firman Allah Ta’ala:
“Mereka yang mereka menyembah kepada mereka, sembahan mereka tersebut senantiasa mencari wasilah kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang paling dekat, mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan khawatir akan siksaan-Nya, sesungguhnya siksaan Rabbmu adalah suatu hal yang harus ditakuti.” (QS. Al-Isra`: 57)

Dalil akan adanya penyembahan kepada pepohonan dan bebatuan adalah firman Allah Ta’ala:
“Bagaimana pendapat kalian tentang Al-Lata dan Uzza, serta Manat (sebagai sembahan) yang ketiga.” (QS. An-Najm: 19-20)

Dan juga hadits Abi Waqid Al-Laitsi, dia berkata:
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju (perang) Hunain, dan ketika itu kami baru saja lepas dari kesyirikan. Sementara itu, kaum musyrikin mempunyai sebuah pohon bidara yang mereka biasa berdiam di sisinya dan mereka menggantungkan pedang-pedang mereka di situ. Pohon tersebut bernama Dzatu Anwath. Lalu kami melalui pohon bidara tersebut dan sebagian kami mengatakan: “Wahai Rasulullah, buatlah bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka (musyrikin) miliki ….” sampai akhir hadits.

Kaidah Keempat
Sesungguhnya kaum musyrikin di zaman kita lebih parah kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin zaman dahulu. Hal itu karena kaum musyrikin dahulu, mereka mengikhlaskan ibadah kepada Allah ketika mereka ditimpa kesusahan, akan tetapi mereka berbuat syirik ketika mereka dalam keadaan lapang. Sedangkan kaum musyrikin di zaman kita, mereka perbuatan syirik mereka berlangsung terus-menerus, baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesusahan.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]“. (QS. Al-Ankabut : 65-66).
Wallahu a'lam.



Sumber : http://al-atsariyyah.com/empat-kaidah-penting-mengenal-kesyirikan.html#more-207

BERINTERAKSI DENGAN JIN

Berinteraksi dengan Jin

Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.
Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika mereka banyak disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam ghaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistik yang menyesatkan dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib, jin, dan sebagainya merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.

Membahas topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Bila ada seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”

Keagamaan Kaum Jin

Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang shalih dan ada pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menghikayatkan mereka:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Di antara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada yang sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.

Diriwayatkan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka kubawakan nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku tidak melihat siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’ Dia menjawab: ‘Ya.’
‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad riwayat ini shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 4/451)

Mendakwahi Jin

Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di mana mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan para ulama untuk menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Sehingga keterangan itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dakwah yang diemban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin mendengarkan Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah menyuruh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberitahukan yang demikian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat Al-Qur`an surat Al-Jin: 1)

Tujuan dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada segenap manusia dan jin. Di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang wajib bagi mereka yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan hari akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari melakukan kesyirikan dengan jin.
Jika jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan larangan, maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus kepada mereka, maka wajib atas seorang muslim untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti apa yang berlaku di tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah seperti yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Juga seperti yang telah diserukan dan dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas mereka. Bila mereka menyakiti, maka hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya. Karena semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis ta’lim dan kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah manusia berarti juga telah mendakwahi mereka.

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan.
Maka kita katakan:
وَقُلْ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ. وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنِ
“Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin]

Adakah Rasul dari Kalangan Jin?

Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِيْنَ
“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?” Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman, namun keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125) Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Dan pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya. Adapun atsar yang datang dari Adh-Dhahhak, telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak membicarakannya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya: “Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).” Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah mungkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul A’lam An-Nubala`, 11 / 530). Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemungkinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)

Menikah dengan Jin

Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkannya untuk segenap hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana manusia berketurunan dan anak keturunannya beranak-pinak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan, sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلاَ جَانٌّ
“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah Ibnul Mundzir rahimahullahu berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka pun menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Termasuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Bani Adam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri dari jenis mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan manusia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Pernikahan antara manusia dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun kebanyakan para ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu Ad-Dilalah hal. 16) 1
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik rahimahullahu tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Meminta Bantuan Jin

Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba kecukupan.
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya. Jin tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يُؤْمِنُ بِاْلآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ وَرَبُّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ. قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيْرٍ
“Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu. Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`: 21-22)
Gangguan Jin
Secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun ijma’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِي فَشَدَّ عَلَيَّ لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِي اللهُ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَهُ إِلَى سَارِيَةٍ حَتَّى تُصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَم: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي. فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِيًا
“Sesungguhnya setan menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman ‘alaihissalam: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR. Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mendirikan shalat, lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda:
حَتَّى إِنِّي لأَجِدُ بَرْدَ لِسَانِهِ فِي يَدَيَّ
“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلاَتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku serta bacaanku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.” Aku pun melakukannya dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang diistilahkan orang sekarang dengan kesurupan atau kerasukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)
Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba panca indra.
b. Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan jin. Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
d. Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan menganggap hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu)
e. Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H, menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
f. Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 September 2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu Ad-Dilalah, atau lihat Majmu’ul Fatawa, 19/10)
Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
-Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan: “Yakni bahwa orang-orang yang menjalankan praktek riba ketika di dunia, maka pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
-Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menegaskan: “Ayat ini adalah argumen yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin dan menganggap yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia serta bahwa setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
-Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni mereka tidak akan bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)
Penyebab Kesurupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan bahwa masuknya jin pada tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa cinta kepada manusia, sebagaimana yang terjadi antara manusia satu sama lainnya. Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan kemarahan atas apa yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, serta membunuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya.
Kalangan jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh, sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke tubuh manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan tindakan jahat yang dilakukannya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 16)
Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu?
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan: “Adapun orang yang melawan permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan, maka dia tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terdzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang syar’i dan tidak mengandung syirik serta tidak mengandung kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan yang sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah. Untuk yang seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca ayat Kursi, Al-Falaq, An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed), shalat, berdoa, dan semacam itu yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa…” (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 138)
Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal’ilmu ’indallah.
1 Di antara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Akamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama Hanafiyah.
Sumber: http://Asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

MALAM JUM'AT, ANTARA MITOS, KERAMAT DAN SYARIAT

Bismillah,
Malam Jum’at tidak seperti malam-malam lainnya. Malam Jum’at –terkhusus malam Jum’at Kliwon- adalah malam yang disakralkan oleh sebagian orang yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat dan keyakinan-keyakinan tertentu. Bahkan telah terbentuk semacam aksioma bahwa malam Jum’at –khususnya kliwon- adalah malam yang penuh kengerian, mencekam dan membuat bulu kuduk merinding. Berbagai mitos dan keyakinan marak tersebar sehingga menghasilkan bermacam tradisi yang biasa dihadirkan di malam ini.

Malam Jum’at bagi sebagian orang adalah malam misteri. Oleh karena itu, jika kita menilik kembali berbagai acara yang digelar di malam Jum’at sarat akan muatan misteri atau mistik. Sebut saja berbagai tayangan di televisi yang ditayangkan setiap malam Jum’at, maka kita akan dengan mudahnya mendapati berbagai acara yang berbau mistik dan dunia ghaib. Inilah salah satu sebab kenapa malam Jum’at identik dengan berbagai kengerian, misteri, seram, angker dan yang semacamnya.

Tidak kalah hebohnya dengan berbagai tayangan televisi, di dunia nyata pun sama seperti itu. Berbagai acara, upacara, ritual dan keyakinan mistik merebak dan marak dilakukan pada tiap malam Jum’at –terkhusus malam Jum’at Kliwon-. Ada beragam fenomena yang bisa kita tangkap berkenaan dengan malam Jum’at, mulai dari peristiwa, upacara, ritual, even serta kegiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Munculnya berbagai mitos dan keyakinan yang ditularkan dari mulut ke mulut yang pada ujungnya akan menimbulkan berbagai hal, terutama kegiatan-kegiatan mistik.

Tempat-Tempat yang Dianggap Angker dan Keramat di Malam Jum’at
Kengerian. Itulah opini yang muncul pertama kali dalam benak kita ketika kita melewati tempat-tempat yang dianggap angker dan keramat. Terlebih lagi jika hal itu kita lakukan di malam Jum’at. Dulu ketika saya masih kecil, akan selalu muncul rasa takut ketika saya melewati sebuah pekuburan. Dapat dipastikan jika saya melewati area pekuburan, maka saya akan mempercepat lajunya jalan kaki atau ayunan sepeda saya. Bahkan bisa jadi saya akan berlari ketika melewati area pekuburan dengan harapan saya bisa melalui kuburan itu secepatnya. Itu terjadi di malam-malam selain malam Jum’at. Adapun ketika malam Jum’at, maka kengerian semakin menyeruak ketika saya melewati pekuburan, meskipun saya melaluinya dengan teman-teman sebaya yang sama-sama kecil. Bisa dipastikan, saya dan teman-teman akan berpacu lari demi terjauhkan dari pekuburan.

Itulah fenomena yang terjadi kepada saya di saat saya masih kecil dan itu adalah pekuburan biasa. Berbeda dan bahkan lebih dahsyat lagi fenomena yang terjadi di pekuburan-pekuburan yang dikeramatkan oleh manusia semisal kuburan orang-orang yang dianggap shaleh dan diwalikan. Jika pada malam-malam biasa selain malam Jum’at kuburan-kuburan semacam itu ramai dikunjungi orang, maka keadaannya menjadi semakin ramai jika memasuki malam Jum’at. Banyak orang yang melakukan berbagai ritual dan upacara di pekuburan orang-orang yang dianggap shaleh itu.

Bukan hanya kuburan saja yang lebih dikeramatkan pada malam Jum’at. Ada beberapa tempat lainnya yang dikeramatkan pada malam Jum’at. Sebagai misal:

Pantai Parangtritis
Pantai Parangtritis adalah sebuah pantai yang terletak di pesisir selatan Jogjakarta. Pantai Parangtritis menempati tempat pertama yang menjadi tempat tujuan kunjungan wisata. Bukan hanya wisata alam saja, tetapi juga mencakup “wisata mistik”, khususnya pada malam Jum’at. Pada malam Jum’at –khususnya malam Jum’at Kliwon- berbagai upacara dan ritual mistik dilaksanakan di pantai ini. Ritual dan upacara ini berkaitan erat dengan keyakinan Nyi Roro Kidul, yang diyakini sebagai penguasa laut selatan pulau Jawa. Pada ritual di malam Jum’at Kliwon ini, berbagai sesajen dan kembang yang berwarna-warni dilarung ke laut. Ritual semacam ini bertujuan untuk meminta keselamatan dari penguasa laut selatan.

Nyi Roro Kidul dan kisahnya sudah sedemikian melegenda di masyarakat kita. Tidak hanya di masyarakat pantai selatan, bahkan masyarakat di tempat lainpun umumnya mengenal mitos tentang Nyi Roro Kidul. Dan sekali lagi, malam Jum’at Kliwon tidak lepas dari mitos ini. Di antara ritual lain yang dilakukan pada malam Jum’at Kliwong oleh masyarakat selain masyarakat pantai selatan adalah ritual pertemuan ghaib yang dilakukan di sebuah kamar atau ruangan yang dikosongkan khusus untuk ritual ini. Sebagaimana ruangan khusus yang disediakan oleh sebuah hotel untuk Nyi Roro Kidul.

Taman Wisata Guci
Tegal, selain terkenal dengan teh pocinya yang khas, juga dikenal dengan taman wisata guci. Teh poci adalah teh hangat kental dan manis yang dimasukkan ke dalam poci (penuang air yang terbuat dari tanah liat). Dengan perpaduan inilah, teh menjadi sebuah sajian yang unik dan khas. Sebagaimana teh poci, taman wisata guci adalah sebuah tempat wisata yang mengalirkan air hangat, ibarat sebuah poci yang mengalirkan air hangat, terus menerus tanpa henti.

Konon ceritanya, air panas Guci adalah air yang diberikan walisongo kepada orang-orang yang mereka utus untuk menyiarkan agama Islam ke Jawa Tengah, khususnya Tegal. Karena air itu ditempatkan di sebuah guci, dan berkhasiat mendatangkan berkah, masyarakat menyebut lokasi pemberian air itu dengan nama Guci. Tapi karena air pemberian wali itu sangat terbatas, pada malam Jum’at Kliwon salah seorang sunan menancapkan tongkat saktinya ke tanah. Maka mengalirlah air hangat tanpa belerang.

Objek wisata ini banyak dikunjungi wisatawan pada malam Jum’at Kliwon. Banyak orang yang ngalap berkah dengan mandi di pemandian air panas ini. Konon, kalau mandinya pada jam dua belas malam dengan memohon sesuatu, maka permohonan apapun akan dikabulkan. Kepercayaan ini sudah menjadi kepercayaan yang turun menurun.

Itu dua contoh dari tempat-tempat yang dikeramatkan dan bertambah keramat ketika malam Jum’at.

Ritual Ghaib pada Malam Jum’at
Banyak sekali ritual ghaib yang dilakukan pada malam Jum’at –khususnya malam Jum’at Kliwon-. Selain sesajen, masih banyak lagi ragam ritual yang dilakukan di malam ini, salah satunya adalah memandikan benda-benda pusaka

Diantara keyakinan yang menyeruak di malam Jum’at, bahwa malam Jum’at diyakini mengandung nilai magis yang kuat sehingga menjadi waktu yang favorit untuk melakukan ritual-ritual ghaib, diantaranya adalah memandikan benda-benda pusaka, semisal keris dan lainnya.

Salah satu contoh ritual ini adalah ritual “Ngalungsur” di daerah Garut. Ngalungsur atau turun jimat atau pajang jimat adalah sebuah upacara tradisional yang dilakukan antara tanggal 12-14 Maulid. Inti dari tradisi ini adalah penghormatan terhadap Sunan Godog atas jasanya menyebarkan Islam di daerah Garut. Ungkapan hormat ini direalisasikan dengan cara merawat, menjaga dan melestarikan benda-benda pusaka seperti berbagai bentuk dan jenis keris, kitab Al-Qur’an, Cis, dan sebagainya yang dianggap sebagai peninggalan sunan Godog.

Kemuliaan Malam Jum’at, Antara Mitos dan Islam
Itu tadi sekilas contoh dari realita masyarakat dalam memuliakan malam Jum’at dengan berbagai ritual dan upacara. Kalau kita mau mengupasnya lebih banyak lagi tentu tidak akan cukup terkupas dalam catatan singkat ini berkenaan dengan berbagai pengeramatan malam Jum’at di masyarakat Indonesia.

Bicara soal kemuliaan dan pemuliaan terhadap sesuatu, sebagai seorang muslim kita harus tetap berpatokan kepada agama kita ini, bukan berpatokan kepada tradisi dan kepercayaan yang bersifat kedaerahan. Mungkin saja kita bisa bisa bersepakat tentang satu hal, bahwa antara Islam dan tradisi masyarakat memiliki kesamaan dalam keyakinan bahwa malam Jum’at adalah malam yang mulia. Akan tetapi ketika kita berbicara tentang tatacara pemuliaannya, maka Islam dan tradisi masyarakat memiliki perbedaan yang amat jauh.

Malam Jum’at, jika kita meniliknya dari syari’at Islam, adalah malam permulaan hari Jum’at. Perlu kita ketahui bersama, bahwa permulaan hari dalam Islam dihitung mulai dari terbenamnya matahari. Kita ambil contoh hari Jum’at. Jika kita mengembalikannya kepada penghitungan hari dalam Islam, maka hari Jum’at dimulai ketika matahari terbenam di ufuk barat. Kamis malam atau malam Jum’at itulah permulaan hari Jum’at. Perhitungan ini sangat berbeda dengan perhitungan masehi/syamsiyah yang memulai hari ketika telah lewat pukul 00.00.

Satu hal yang wajib kita yakini, bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ini adalah kepunyaan Allah. Hanya Allah lah yang berhak mengatur segala sesuatu. Termasuk dalam menentukan dan menetapkan kemuliaan hari Jum’at. Kemuliaan hari Jum’at tidak ditentukan serta tidak ditetapkan berdasarkan tradisi, mitos dan keyakinan masyarakat tertentu. Manusia tidak memiliki hak untuk menentukan dan menetapkan kemuliaan atau keistimewaan sebuah hari. Jika manusia yang menetapkannya, maka sungguh akan terlalu banyak campur tangan akal, perasaan, latar belakang budaya, sosial dan tradisi seseorang sehingga penetapan itu didasari pada subyektivitas dengan berbagai kekurangannya sebagai manusia. Ini tidak bisa kita terima.

Jika kita melihat realita masyarakat kita, alangkah banyaknya campur tangan masyarakat kita dalam menentukan dan menetapkan kemuliaan terhadap sesuatu. Berapa banyak kuburan-kuburan yang dikeramatkan sebagai akibat dari campur tangan manusia dalam menentukan dan menetapkan kemuliaan sesuatu. Berapa banyak tempat-tempat keramat, pohon-pohon keramat, batu-batu keramat seperti batu Ponari, benda-benda keramat dan lain sebagainya sebagai akibat dari campur tangan manusia dalam menentukan dan menetapkan kemuliaan sesuatu. Sehingga hal-hal tersebut menjadi sebuah nilai kebenaran dalam masyarakat kita. Maka, ketika ada dai yang menyeru mereka untuk meninggalkan hal-hal yang dikeramatkan tersebut, mereka marah. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang mendakwahkan kepada mereka agar mereka meninggalkan hal-hal tersebut, mereka anggap orang-orang yang berdakwah tersebut sebagai orang-orang yang sesat, orang-orang yang jumud, tidak taat adat dan tradisi ajaran nenek moyang. Ketika mereka diseru agar mereka meninggalkan hal-hal tersebut, mereka tidak mengindahkannya dan tetap bersikeras untuk mengikuti ajaran nenek moyang mereka itu. Bahkan di sebagian daerah, tempat-tempat semacam itu dijadikan sebagai cagar budaya dan tempat wisata religi.

Hari Jum’at sebagaimana hari-hari lainnya. Hari Jum’at pada hakikatnya tidak memiliki kemuliaan jika Allah tidak menyari’atkan berbagai macam ibadah di dalamnya. Jadi, kemuliaan hari Jum’at tidak terletak pada hari Jum’at itu sendiri, tetapi kemuliaan itu berasal dari berbagai ibadah yang disyari’atkan oleh Allah pada hari itu. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mendapatkan kemuliaan di hari Jum’at, maka hendaknya ia melakukan berbagai ibadah yang disyari’atkan secara maksimal sesuai dengan kemampuannya pada hari Jum’at. Jika tidak demikian, maka Jum’at baginya adalah sama seperti hari-hari lainnya. Jadi, kemuliaan hari Jum’at ditentukan oleh dalil syar’i.

Permasalahan yang terjadi dalam masyarakat kita adalah ragam tradisi dan keyakinan yang mengakar yang menempatkan hari Jum’at pada tingkat kemuliaan yang bersifat mistis. Semua itu tidak terlepas dari akar budaya Hindu yang masih melekat pada sebagian masyarakat kita. Bisa kita katakan, sisa atau ampas dari tradisi Hindu masih ada pada masyarakat kita yang tertuang dalam berbagai tradisi kemasyarakatan. Meskipun mereka poles dengan polesan Islam, akan tetapi masih ada sisa-sisa tradisi Hindu di dalamnya.

Kita ambil contoh tradisi hari kematian yang meliputi tujuh hari, hari keempat puluh, keseratus, dan seribu hari. Maka demikian jugalah apa yang ada dalam agama Hindu, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang pendeta Hindu yang bernama Romo Sulinggih Winarno. Alhamdulillah beliau telah masuk Islam dan berganti nama dengan nama Abdul Aziz. Makan-makan di keluarga mayat yang kita kenal dengan nama “Slametan” dan dianggap sebagai sedekah itu ternyata pada mulanya dulu dimaksudkan sebagai sesaji dalam agama Hindu.

Kemuliaan malam Jum’at (hari Jum’at) hanya Allah yang berhak menetapkannya Oleh karena itu, jika kita ingin mendapatkan kemuliaan malam Jum’at (hari Jum’at), maka dapatkanlah dengan cara melakukan berbagai ibadah yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya semampu kita, bukan dengan melakukan berbagai tradisi yang tidak memiliki landasan hukum dalam Islam. Terlebih lagi jika tradisi itu terdapat unsur kesyirikan kepada Allah.
Allahu a’lam bish shawab.

[Referensi Tulisan: Misteri Malam Jum’at oleh Ust. Abu Umar Basyier dan Buku Putih Kyai NU oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni.]

Ditulis oleh Abu Shofiyah Aqil Azizi
Sumber : http://www.facebook.com/notes/aqil-azizi/malam-jumat-antara-keramat-dan-syariat/10150266678010530
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/malam-jumat-antara-mitos-keramat-dan.html